Beberapa waktu lalu, Jepang, negara maju dengan kemampuan teknologi yang tinggi ditimpa musibah besar berupa gempa bumi dan tsunami. Meski pemerintah dan segenap ilmuwannya telah memprediksi bakal terjadinya gempa bahkan telah mempersiapkan kemungkinan terjadinya tsunami besar dengan membangun tembok-tembok besar di sekitar pantai, tetap saja korban yang jatuh sangat besar, diperkirakan mencapai 27 ribu orang.
Gempa dan tsunami yang besar ini disusul dengan rusaknya salah satu sumber energi utama Jepang, yakni reaktor nuklir di Fukushima. Akibatnya, berkurangnya pasokan listrik dan menyebarnya radiasi menjadi hal yang menghantui hingga hari ini.
Tanpa mengurangi rasa simpati dan peduli kita pada masyarakat Jepang yang menjadi korban, ternyata kita dapat mengambil banyak pelajaran dari musibah besar yang terjadi ini. Salah satunya adalah bagaimana rakyat Jepang merespon mushibah ini dan bagaimana mereka bersikap terhadap pemerintahnya.
Salah satu hal yang sangat mengesankan dari rakyat Jepang yang saya amati adalah tingkat kepatuhan mereka kepada pimpinan dan pemerintahnya. Profesor Yamamoto Nobuto, dari Keio University, mengatakan:“pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh. Mereka yakin bahwa bantuan pemerintah akan segera datang dan mereka tidak perlu melakukan protes-protes justru sebaliknya mereka sangat mematuhi kepala-kepala di camp-camp pengungsian”.
Pernyataan Yamamoto tersebut dibenarkan oleh teman-teman yang datang langsung ke lokasi pengungsian untuk memberikan bantuan. Sampai-sampai teman saya yang datang ke tempat-tempat pengungsian mengatakan, “lebih enak jadi pengungsi di Indonesia, waktu saya membantu pengungsi di Jogja, pengungsi protes karena setiap hari dikasih makanan yang sama, sementara di jepang, pengungsi menerima dengan senang hati apapun yang diberikan oleh kepala pengungsian, meski yang diberikan adalah makanan yang sama setiap hari”.
Kepatuhan masyarakat Jepang tidak hanya ditunjukkan di tenda-tenda pengungsian, tapi juga oleh masyarakat yang relatif jauh dari pusat bencana seperti di Tokyo. Saat pasokan energi berkurang akibat rusaknya reaktor nuklir, pemerintah menghimbau masyarakat Tokyo untuk melakukan penghematan listrik. Himbauan ini langsung berefek. Misalnya di kampus-kampus yang biasanya terang benderang bahkan nyaris 24 jam, saat ini tampak redup tanpa mengurangi aktivitas sama sekali.
Di stasiun, di gedung-gendung pemerintah, dan di pusat-pusat perbelanjaan elevator berhenti berjalan. Bahkan toko-toko, yang notabe adalah entitas bisnis yang biasanya hanya mementingkan keuntungan sendiri, dengan patuh melaksanakan himbauan tersebut, malah sebagian besar mini-market menutup toko mereka setelah jam 6 sore demi penghematan listrik nasional.
Mengapa masyarakat Jepang bisa begitu patuh kepada pemerintahnya? Sebaliknya, mengapa masyarakat di negara-negara muslim seperti Indonesia cenderung kurang patuh pada pemerintahnya? Padahal Allah swt telah memerintahkan ummat Islam untuk patuh pada pemimpin-pemimpin mereka.
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasul (As-Sunnah) jika kalian benar-benar orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”. (QS. An Nisa’: 59)
Jika kita melihat kepatuhan masyarakat Jepang saat ini, sesungguhnya hal tersebut bukanlah hasil dari proses satu hari dua hari. Struktur kepatuhan di Jepang dibangun atas dasar trust atas dasar kepercayaan kepada otoritas. Pada kenyataannya memang pemegang otoritas mampu membangun kepercayaan itu dimata publik dengan baik.
Pemerintah Jepang membangun struktur kepatuhan berdasarkan kefahaman dan kepercayaan. Mereka mendidik warganya, membangun kefahaman dan membangkitkan kepercayaan warganya dengan menunjukkan prilaku keseharian yang sangat meyakinkan.
Contoh sederhana misalnya, setiap pagi ada ramalan cuaca dan itu sangat dipercaya oleh warga karena tingkat akurasinya. Kalau kita melihat orang-orang Jepang membawa payung padahal hari terlihat cerah, jangan heran, karena pada hari itu pasti akan terjadi hujan. Dan terbukti memang benar, meski paginya tampak cerah, siangnya turun hujan.
Contoh lain, pada pelayanan transportasi seperti kereta atau bis misalnya. Pengelola mampu meyakinkan penumpang bahwa mereka kredibel dan layak dipercaya. Jika di jadwal kereta tertulis kereta akan datang pukul 12.00, maka bisa dipastikan kereta akan datang tepat pada waktunya dan tidak akan meleset walau satu menitpun, kecuali ada kejadian luar biasa seperti gempa bumi atau ada penumpang yang bunuh diri.
Dalam pelayanan birokrasi, pemerintah jepang juga menunjukkan tingkat akurasi yang layak dipercaya. Jika kita mengurus suatu surat, kemudian petugas bilang, surat akan selesai dalam dua hari dan biayanya 200yen. Maka keesokan harinya saat kita datang surat itu sudah pasti jadi dan kita tinggal membayar sesuai angka yang ditunjukukkan, tidak kurang tidak lebih. Pemerintahan yang kredibel karena dilandasi sikap amanah seperti ini sesungguhnya layak memperoleh ketaatan dan loyalitas dari rakyatnya.
Bandingkan dengan birokrasi kita? Sulit membangun kepatuhan atas dasar kepercayaan, karena rakyat sudah terlanjur kurang trust, sehingga cara terbaik untuk memperoleh kepatuhan adalah dengan ancaman. Hal ini yang terjadi pada Indonesia di era orde baru, dimana struktur kepatuhan dibangun atas dasar ancaman. Rakyat patuh karena mereka takut bukan karena percaya. Demikian pula yang terjadi di timur tengah selama berpuluh-puluh tahun. Para penguasa tiran menjadikan militer dan kepolisian sebagai alat untuk menindas dan menakut-nakuti rakyatnya. Mereka tidak segan menyiksa bahkan membunuh rakyatnya yang tidak patuh. Rakyat benar-benar dibuat ketakutan.
Cara berkuasa seperti ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Alqur`an telah menceritakan kisah tentang firaun dengan kekejamannya. tapi apa yang terjadi dengan cara berkuasa yang seperti ini? sejarah mencatat bahkan hari-hari ini kita menjadi saksi sejarah bahwa pemimpin yang membangun struktur kepatuhan dengan ancaman akan terguling dengan penuh kehinaan. Ketika rakyat memiliki keberanian, ketika rakyat memiliki energi baru untuk melakukan perlawanan, maka kedahsyatannya akan menggilas rezim tiran.
Di Indonesia, meski telah terjadi reformasi, namun sampai hari ini pun kita masih menyaksikan betapa banyak organisasi yang membangun struktur kepatuhan berdasarkan ancaman. Dalam organisasi bisnis misalnya, kita menemukan banyak manajer-manajer yang berusaha menakut-nakuti bawahannya hanya agar perintahnya didengar dan diikuti. Disekolah, kepala sekolah menakut-nakuti gurunya dan guru menakut-nakuti muridnya hanya demi mendapatkan kepatuhan.
Dalam organisasi politik, hal ini juga mudah kita jumpai. Para pemimpin politik seringkali menggunakan ancaman pemecatan kepada kader-kadernya yang tidak patuh pada pimpinan. Kader dipecat bukan karena melakukan kesalahan, tapi karena dianggap tidak memiliki “kepatuhan”, sementara mereka yang “patuh” akan tetap dipertahankan meski memiliki kesalahan fatal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kepartaian yang telah ditetapkan. Dalam koalisi politik nasional, partai berkuasa merasa punya kuasa menentukan segala dimana partai-partai lain yang sesama anggota dipaksa mematuhinya dengan ancaman pemecatan dari koalisi digusurnya kursi menteri.
Membangun struktur kepatuhan dengan model ancaman yang seperti ini sesungguhnya hanya afektif bagi kelompok tertentu yang tidak memiliki cukup pengetahuan atas apa yang terjadi, atau bagi mereka yang tidak memiliki keberanian untuk bersikap mandiri, atau bagi mereka yang merasa tidak memiliki alternatif pilihan organisasi. Tapi bagi pribadi-pribadi yang teguh memegang prinsip diatas pengetahuan yang jelas akan kebenaran yang dipegang, ancaman hanya akan dianggapnya sebagai ujian dalam perjuangan yang tidak akan menggoyahkan sikapnya pada kebenaran yang dipegang.
Stuktur kepatuhan yang berdasarkan kefahaman dan kepercayaan harus dibangun secara timbal balik, dimana rakyat tidak bisa hanya menjadi objek yang wajib patuh pada pimpinan. Adalah kewajiban rakyat untuk mematuhi pemimpin mereka, tapi pada saat yang sama, adalah kewajiban pemimpin untuk mebangun kepercayaan, menyatukan kata dan perbuatan, menyatukan janji dan realisasi, sehingga layak dipercaya, diteladani dan dipatuhi. Allah swt telah menegaskan bahwa seorang pemimpin, selain berhak untuk memperoleh kepatuhan dari rakyatnya, mereka juga memiliki kewajiban untuk berlaku adil dan amanah sehingga rakyat bisa meneladani dan mematuhi mereka.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’: 58).
Mudah-mudahan kita bisa mendidik generasi bangsa ini menjadi generasi baru yang layak untuk dipercaya karena satunya kata dan perbuatan. Amin
Mukhamad Najib, Mahasiswa S3 Universitas Tokyo
[email protected]