Pagi ini saya antar anak saya ke sekolahnya. Tepat jam 08.45 kami tiba disekolah, guru-guru dan kepala sekolah sudah berdiri di depan menyapa ramah setiap orang tua yang datang mengantar anaknya, termasuk saya. Ketika saya akan meninggalkan sekolah, guru anak saya bilang `tolong nanti Haidar dijemput jam 12 saja`. Lalu saya tanya `mengapa, bukankah seharusnya saya jemput jam 15 atau 17?`. Kemudian dia menyampaikan kalau anak saya masih belum mau makan siang sejak tiga hari lalu, takut terjadi apa-apa, jadi lebih baik dijemput saat makan siang.
Guru ini memang tidak tau kalau sebenarnya anak saya susah sekali kalau disuruh makan. Lalu saya coba menjelaskan, bahwa tidak masalah anak saya tidak makan siang yang penting dia minum susunya, biar sekalian belajar puasa. Saat saya bilang biar sekalian belajar puasa, gurunya langsung merespon”..oh tidak-tidak..anak-anak tidak boleh puasa, itu akan membuatnya menderita..”
Saya lalu sadar kalau ini di Jepang, dimana mereka tidak mengenal puasa sebagaimana yang saya kenal. Tentu guru anak saya memiliki persepsi yang berbeda dengan saya, karena memang kita memiliki sistem nilai yang berbeda. Bagi mereka puasa adalah menyiksa diri, tapi bagi kita puasa adalah cara melatih diri. Bagi kita anting di telinga adalah penanda bahwa dia wanita.
Di Jepang, anak perempuan tidak boleh ditindik kupingnya sampai mereka dewasa. Karena membuat lubang pada telinga anak dianggap sebagai kekerasan pada anak. Menyadari perbedaan ini lalu saya mengiyakan akan menjemput anak saya jam 12. Karena memang tidak pada tempatnya berdebat tentang puasa dengan guru anak saya itu.
Sistem nilai yang berbeda seringkali melahirkan persepsi yang berbeda untuk suatu fenomena yang sama, hal ini tidak jarang juga diikuti dengan respon, sikap bahkan perilaku yang berbeda. Saya teringat Habibie mantan presiden kita yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang paling pintar di Indonesia. Tidak sedikit orang tua yang menginginkan anaknya bisa seperti Habibie kalau sudah dewasa.
Di sekolah-sekolah jurusan A1 atau IPA lebih favorit dibanding IPS. Banyak yang mempersepsikan bahwa orang pintar adalah mereka yang pandai dalam ilmu-ilmu eksakta, karena persepsi tentang orang pintar pada waktu itu tergambar dalam sosok Habibie yang ahli teknik. Jadilah IPS kelas buangan, kelas sisa bagi mereka yang gagal masuk IPA. Dan banyak orang tua yang kecewa kalau anaknya gagal masuk IPA.
Waktu SMP dulu, guru geografi saya menjelaskan bahwa pulau Jawa dan Sumatera dipisahkan oleh selat sunda. Lalu ada seorang siswa dengan penuh semangat mengajukan interupsi sambil berkata “salah bu, yang benar keduanya disatukan oleh selat sunda, kitakan Negara kesatuan yang tidak terpisahkan”. Persepsi mengenai dua pulau yang terpisah melahirkan perasaan jauh, tidak heran kalau daerah di seberang lautan jauh tertinggal dari sisi pembangunan. Tapi persepsi dua pulau yang disatukan, tentu akan melahirkan perasaan dekat, dan ini akan mendorong upaya-upaya pemerataan yang lebih serius.
Saya juga teringat pada obrolan kecil dengan pedagang kaki lima di tanah abang. Waktu saya jongkok dan asyik memilih-milih baju, sebuah mobil membunyikan klakson. Dari balik jendela yang terbuka, orang didalam mobil itu berkata “dasar kaki lima, ganggu orang jalan aja”. Lalu saya bilang ke pedagang apa yang disampaikan pengendara mobil tadi. Apa kata pedagang kaki lima? Dia bilang “enak aja, mobil-mobil itu yang ganggu orang jualan”. Tentu kedua persepsi dan perilaku yang nampak bertentangan ini sama-sama benar dalam perspektif masing-masing. Lalu kemana keberpihakan harus diberikan? Tergantung sistem nilai yang dipegang.
Materialisme kapitalistik malahirkan persepsi bahwa akumulasi kapital adalah yang utama oleh karenanya kepentingan pemilik modal harus didahulukan. Maka tidak heran kalau aparat kita lebih mendahulukan membangun jalan-jalan bagus yang lebih banyak dinikmati oleh mereka yang bermobil dari pada harus membangun sistem transportasi publik yang bisa dinikmati oleh rakyat tak bermobil.
Tidak heran juga kalau satpol PP, yang sebenarnya juga orang kecil, tampak seperti tidak punya hati ketika memporak-porandakan asset pedagang kecil dipinggir jalan, hanya karena pedagang kecil itu dianggap merusak pemandangan orang-orang kaya. Tidak heran juga kalau polisi sering berdiri dipihak pemilik modal dalam kasus-kasus sengketa kepemilikan lahan antara rakyat dan perusahaan. Tidak heran kalau birokrat kita bersikap ramah kepada pengusaha besar, yang sesungguhnya juga adalah koruptor besar, dan bersikap bengis kepada pengusaha kecil.
Sampai kapan hal ini harus terjadi? Tentu sampai ada sekelompok orang yang mau serius dan komitmen untuk melakukan perubahan. Sejauh ini reformasi hanya berhasil merubah formasi orang dalam struktur kekuasaan, tapi tidak pada sistem nilai materialistik yang dianutnya. Oleh karenanya perubahan hanya bersifat artifisial. Sesungguhnya kita hanya bisa merubah bangsa ini kalau kita mampu memperbaiki sistem nilai yang dianutnya. Karena sistem nilailah yang melahirkan persepsi, sikap dan perilaku.
Merubah sistem nilai tentu tidak mudah. Dibutuhkan proses panjang untuk bisa melepaskan belenggu sistem nilai yang gelap. Tidak bisa hanya kita lakukan dengan berdiskusi dan berwacana saja. Tidak bisa hanya dengan teriak khilafah kemudian bisa menyelesaikan semua masalah. Rosulullah telah mencontohkan bagaimana beratnya merubah sistem nilai masyarakat mekkah jahiliyah. Begitu beratnya sampai-sampai Rosul harus melakukan “masa jeda” di mekkah dan berhijrah di madinah.
Ya..Jalan ini memang panjang dan berliku, namun kita harus melakukannya jika memang perubahan sejati yang kita inginkan. Bukankan Allah tidak merubah nasib suatu kaum selama kaum itu tidak mau merubah nasibnya? Semoga Allah memberi kita kekuatan dan kesabaran untuk menapaki jalan perubahan yang sulit dan panjang ini.
Mukhamad Najib ([email protected])