Revolusi Mesir yang usai 11 februari silam, di samping menciptakan euphoria huriyah/kebebasan juga menyisakan segudang permasalahan esensial dalam Negara. Dalam masalah tatanan Negara, system pemerintahan, perpolitikan, sosial, ekonomi dan hukum. Revolusi merupakan gejala perubahan besar-besaran dalam sosial, politik dan ekonomi yang disebabkan satu sebab tertentu yang sudah kompleks. Biasanya sukses dan berhasilnya revolusi diiringi dengan ta’dil dustur/ amandemen UUD dalam suatu Negara tersebut, tentu saja UU yang berkaitan dengan siyasah/politik dan UU yang menyengsarakan dan tidak sesuai dengan cita-cita rakyat.
Saat ini, Mesir sedang mencari jalan terbaik untuk memperbaiki Negara, pemerintahan, hukum, sosial dan ekonominya. Beberapa waktu lalu Mesir mengundang dua tokoh besar Indonesia, Prof.DR Amien Rais (ketua MPR RI 99/01) dan Prof.DR B.J Ing Habibie (Presiden Republik Indonesia 98/99). Dua tokoh besar Indonesia ini adalah aktor penting dalam reformasi Indonesia dan bagaimana menghadapi perubahan ke arah demokrasi yang baik serta menghadapi berbagai permasalahan soaial, politik dan ekonomi pasca reformasi. Pak Amien dan Eyang Habibie yang menjadi penggerak roda pemeritahan Indonesia pasca reformasi 98 tentu tahu seluk beluk yang ada, apa saja kelebihan dan kekurangan yang telah mereka lakukan dalam masa transisi Negara kearah demokrasi yang ideal. Karena itu mereka berdua diundang untuk berbagi cerita, pengalaman, pandangan dan ilmu apa yang harus dilakukan Mesir pasca revolusi, apa saja hal-hal yang mesti diprioritaskan, apa saja hambatan-hambatan atau masalah besar yang biasanya hadir pasca revolusi, serta bagaimana solusi menangkal hal itu semua, bagaimana menjalankan demokrasi yang baik.
Walau pun Mesir mengundang beberapa tokoh dari berbagai negara untuk memberikan pandangan tentang demokrasi yang berjalan baik dari Negara tersebut, tapi semua keputusan bagaimana bentuk demokrasi yang pas dan ideal di Mesir ada di pundak rakyat Mesir. Dan inilah yang akan saya kemukakan, karena permasalahan ini sedang mengemuka di Mesir dan hangat untuk diperbincangkan.
Setidaknya ada 3 kubu dalam pertarungan perumusan system pemerintahan Mesir, 1. Kubu yang ingin demokrasi islami, 2. Kubu yang menginginkan demokrasi sekuler, 3. Kubu yang ingin Negara Islam dengan pemahaman yang sempit tentang daulah atau Negara dalam Islam. Namun, kemudian mengerucut hanya menjadi dua kubu besar menjadi pendukung demokrasi Islami dan demokrasi sekuler, ini setelah dikeluarkannya Piagam Azhar dalam menanggapi isu-isu muslim Mesir yang ingin menjadikan Mesir seperti Iran ketika dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dan militer tidak menginginkan adanya Ayatullah Khomeini baru di Mesir.
Demokrasi Sekuler VS demokrasi Islami
Sebelumnya kita harus tahu apa yang dimaksud dengan demokrasi sekuler dan demokrasi islami. Demokrasi adalah pemerintahan yang mana kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat (apakah itu mubasyir/langsung, syibhu mubasyir/semi langsung;yaitu gabungan langsung dan parlemen, atau niyabi/parlemen). Sedangkan sekuler atau ‘almaniyah (dalam bahasa arab) sebagimana yang dikatakan oleh tokoh pemikir Islam Prof. Dr. Imarah, al’maniyah terambil dari kata ‘alam yang berarti dunia dan disnisbahkan dengan ya nisbah (baca:sifat) sehingga diterjemahkan menjadi keduniaan. Maksudnya adalah menjadikan akal, percobaan, realita, dunia sebagai sumber segalanya, menjadikan manusia, dunia dan masyarakat merdeka dengan zatnya tanpa ada intervensi syariat perintah Tuhan. Dari sini secara mantiqi (baca:logika) manusia bebas sesuai dengan akalnya, bebas dalam beragama sesuai akalnya dan memungkinkan untuk mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang diharamkan Tuhan.
Dari sini dapat didefinisikan bahwa Demokrasi Sekuler adalah pemerintahan yang bersumber dari rakyat atau rakyat sebagai pemilik kekuasaan (as-Shahib as-Sulthat) dengat zatnya murni tanpa ada campur tangan Tuhan, yang berorientasikan keduniaan tanpa mempedulikan akhirat. Sedangkan Demokrasi Islami adalah pemerintahan yang bersumber dari rakyat atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang berlandaskan syari’at Islam atau dalam bingkai Islam yang orientasinya mencakup dunia dan akhirat. Maksudnya adalah walau pun rakyat diberi kebebasan dan kekuasaan dalam menjalankan dan membentuk pemerintahan tetapi dalam koridor Islam, tidak boleh bertentangan dengan syari’at dan nilai-nilai Islam. Sehingga pemerintahan demokrasi Islami tidak dapat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena dalam Islam manusia di ciptakan dan diturunkan ke bumi sebagai khalifah atau wakil Allah SWT untuk mengatur bumi ini, namun kekuasaan manusia dalam batasan aturan Allah, manusia tidak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, seperti membolehkan berzina, pernikahan sesama jenis, membolehkan jual beli minuman keras dan narkoba, jual beli rahim, mebolehkan penipuan dan lain sebagainya atau melarang wanita menggunakan jilbab, melarang orang beribadah, menyuruh orang berbuat yang diharamkan dan lainnya.
Manusia dibolehkan dalam meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya akan tetapi tidak boleh sampai memudharatkan bumi, seperti kasus lapindo, atau membangun reactor nuklir tanpa melihat aspek keselamatan lingkungan sekitar. Dalam demokrasi Islami manusia juga boleh membentuk pemerintahannya dengan model apa pun tapi dengan syarat syari’at tetap jadi sumber rujukan dari dustur (baca:undang-undang) Negara tersebut, karena hukum Islam itu sempurna yang datang dari Sang Pencipta yang lebih tahu maslahat hamba-Nya, karena hukum Islam yang juga fleksibel dan relevan atau dapat dipakai di setiap zaman dan tempat, karena hukum Islam juga memberikan kebebasan bagi agama lain dalam beribadah dan mengamalkan ajarannya dalam hubungan ahwal syakhsiyah (karena dalam agama lain hanya mengatur masalah ibadah dan ahwal syakhsiyah) dengan syarat tidak mengusik Islam. Dan rasanya tidak cukup menuliskan bagimana kesempurnaan Islam dengan hukum-hukumnya, serta hikmah-hikmahnya di sini. Cukuplah jika kita melihat bagaimana makmur dan sejahteranya kehidupan bernegara di zaman Rasulullah SAW dan sahabat, begitu juga pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz. Betapa harmonisnya hubungan Muslim, Yahudi dan Nasrani dalam naungan Negara Madinah. Betapa makmurnya Muslim dalam naungan pemerintahan Umar bin Abdu Aziz. Betapa majunya keilmuan Islam dan Muslim dalam naungan Daulah Abbasiyah, Dinasti Muwahhidun dan Murabithun (di Spanyol) yang menjadi pusat peradaban dan sumber majunya peradaban barat saat ini.
Tentu bukan saatnya kita membanggakan kejayaan masa silam, tugas Muslim sekarang adalah berusaha kembali ke Islam yang sudah terlupakan yang hanya dipakai untuk beribadah. Dan usaha ke arah yang lebih baik sudah mulai sedikit demi sedikit terbit, system ekonomi Islam kini mulai menjadi pusat perhatian dunia, begitu juga system perdata dalam Islam banyak dipakai di beberapa Negara, tinggal system pidana yang masih banyak orang alergi terhadapnya bahkan Muslim sendiri, padahal pidana Islam tidak sekejam yang dibayangkan.
Kebanyakan orang yang alergi dengan Islam dan hukumnya disebabkan dangkalnya ilmu mereka tentang Islam, atau doktrin dari orang lain yang membenci Islam, dan kebanyakan orang yang menjalankan Islam tidak sesuai dengan pemahaman yang benar, katakanlah bom bunuh diri di daerah yang bukan wilayah perang atau di wilayah yang aman, praktek poligami yang kebablasan yang hanya menuruti nafsu dan satu pihak, atau orang yang mengaku meniru ulama salaf shalih (ulama pendahulu yang shalih) tapi sesungguhnya sangat jauh dari nilai-nilai keteladanan dan metode mereka, memandang Islam dengan pandangan sempit tanpa ilmu, atau orang-orang yang beragama Islam namun menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan selera dan hawanya seperti aktivis liberal dan plural bahkan menasakh dalil-dalil yang Qath’I/mapan. Dan masih banyak daerah atau Negara yang memakai syariat Islam namun tebang pilih hanya untuk rakyat kelas bawah, seperti yang terjadi di Saudi.
Dilema Mesir antara Demokrasi Sekuler dan Demokrasi Islami
Sungguh menjadi sebuah dilema, karena perumusan ini sangat menentukan masa depan Mesir ke depan, peremusan ini jika tidak diputuskan dengan bijak dan matang dapat menyebabkan perang saudara yang berakhir disentegrasi Negara. Pemuda Revolusi Mesir mayoritas menginginkan Demokrasi Islami, sedangkan minoritasnya memilih demokrasi sekuler. Pemuda Revolusi Mesir yang menginginkan Demokrasi Islami adalah mereka yang dari awal-awal tergabung dalam gerakan revolusi ini dengan cita-cita luhur menghapus kezaliman pemerintah, sedangkan Pemuda Revolusi Mesir yang menginginkan demokrasi Sekuler mayoritas mereka adalah yang baru bergabung di pertengahan dan di akhir-akhir bahwa revolusi akan berhasil. Menurut penulis seperti ada agenda terselubung dari mereka yang baru bergabung di akhir-akhir ini, mereka takut kalau nanti tsauroh atau revolusi ini sukses maka Mesir akan dikuasai orang-orang Muslim yang taat, mereka takut Mesir akan menjadi Negara Islam padahal selama ini mereka aman dan tentram dengan beberapa hukum Islam yang diterapkan. Bahkan ada salah satu kelompok muslim yang tadinya mengharamkan aksi revolusi kemudian masuk dalam kancah tersebut. Orang-orang seperti inilah yang sekarang sedang berusaha mengacaukan stabilitas keamanan, ketentraman di Mesir, para hipokrit dan oportunis. Dimana ada kebaikan di sana ada kejahatan, ini menjadi tantangan Mesir, bagaimana mengatasi hal seperti ini.
Hal ini tak ubahnya dengan Indonesia ketika awal-awal kemerdekaan, tokoh-tokoh dan pahlawan Muslim yang berjuang mati-matian melawan penjajah berates-ratus tahun lamanya, mengorbankan seluruh jiwa dan raganya demi tegaknya Negara Indonesia, akan tetapi di akhir-akhir akan terjadinya kemerdakaan atau hari-hari menjelang proklamasi, orang-orang yang hanya duduk diam di rumah, menjilat para penjajah, takut mati berjuang demi Indonesia bermunculan dan mengacaukan cita-cita luhur pahlawan dan pejuang Indonesia. Dan anehnya sudah di kasih hati mereka minta jantung. Para perumus undang-undang sudah bermurah hati menghapus dan mengganti sila pertama dengan bijak, mereka tetap saja meraung-raung dan ingin berpisah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua kemelut dan pertentangan yang ada sebenarnya hanya diakibatkan ilmu yang dangkal, rasa iri dan dengki, kebencian, egoisme yang tinggi dan tidak adanya rasa toleransi yang baik. Satu sisi ada oknum muslim yang membawa-bawa Islam namun dengan cara dan pemahaman yang tidak benar kalau benar tapi tidak dengan hikmah, di sisi lain ada juga oknum non muslim beraliran keras yang sangat membenci apa saja yang berbau Islam. Sungguh ironis, padahal semua bisa dijalankan dengan baik jika ada sikap toleransi dan saling menghargai, agama yang seharusnya membawa kedamaian bagi semesta alam justru ternodai oleh orang-orang atau penganutnya yang tidak bertanggung jawab, karena agama tidak pernah salah, yang salah adalah penganutnya.
Nah, hal seperti di atas harus bisa dilesaikan dengan bijak dan penuh keadilan oleh Mesir jika Mesir ingin maju. Toleransi agama di Mesir yang selama ini berjalan harmonis dan baik harus tetap dipelihara, jangan sampai ada pihak-pihak asing yang mencampuri urusan mereka. Karena itulah Al-Azhar sebagai otoritas keagamaan yang sudah mendunia dan terkenal dengan kemoderatannya, menawarkan konsep dalam piagam Azhar, bahwa Mesir tetap menjalankan demokrasi dengan adanya fashl baina sulthaat/the separation of power/pemisahan kekuasaan, namun syari’at Islam menjadi dasar hukum utama dalam setiap pembuatan UU, pembuatan hukum atau undang-undang tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, karena syariat Islam mampu menjawab berbagai permasalahan yang ada dari hal kecil hingga hal besar dengan adil, tidak ada satu pun dalam hukum islam yang memudharatkan manusia, yang ada hanya pikiran dan hawa nafsu manusia yang mengatakan hukum Islam tidak relevan.
Jika Mesir menggunakan demokrasi Islam yang fleksibel tidak kaku, serta dengan pengawasan dan prosedur yang benar dan tepat tanpa ada kepentingan-kepentingan oknum tertentu, bisa jadi Mesir akan menjadi Negara yang maju dari segi sosial, politik dan ekonominya. Keadilan, kedamaian akan tercipta, Mesir akan menjadi contoh pertama dalam system demokrasi Islam modern dan bisa jadi akan banyak Negara-negara lain yang mayoritasnya Muslim atau bahkan non Muslim menggunakannya. Sistem ekonomi Islami yang kini tumbuh subur di seluruh penjuru dunia adalah bagian dari syari’at Islam. Lalu, kenapa tidak mencoba menggunakan syariat Islam secara keseluruhan? Toh, Islam memberikan kebebasan hanya saja tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam. Wallahu a’lam
**
Muhammad Rakhmat Alam, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Syari’ah dan Hukum, anggota senat FSQ ( Forum Studi Syari’ah wal Qonun).