Analisis Terhadap Polemik RUU KDIY dalam Kacamata Gerakan Zionisme
"Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi," kata Presiden SBY.
Ternyata ucapan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu yang membuat rakyat Yogyakarta meradang. Hal ini memicu konflik karena Yogyakarta dikenal sebagai daerah istimewa dimana gubernur sudah ditetapkan melaui garis kesultanan, bukan pemilihan langsung.
Namun Rancangan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU KDIY) ingin menutup ruang itu dimana Yogya nantinya tidak sepenuhnya terikat dengan demokrasi Indonesia yang memberi porsi untuk pemilihan umum secara langsung.
Warga DIY sudang kadung geram. Mereka menilai presiden RI mengancam kedaulatan Yogya. Pidato SBY kamis malam tidak jua menyurutkan niat mereka. Kalimatnya yang meminta rakyat tenang dan jangan terpancing polemik, dibalas warga Yogyakarta dengan satu tuntunan: Referendum!
Sejarah Gerakan Kemasonan di Yogyakarta
Sampai sekarang penulis suka bertanya-tanya apa sebenarya makna kata istimewa di tengah nama provinsi pertama yang menyatakan bergabung dengan Indonesia ini.
Sebab, kata itu mesti penulis hafal betul kala duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Entah kenapa pertanyaan itu selalu muncul dalam pelajaran PSPB, Sejarah, sampai Geografi.
Sampai sekarang, pelajaran IPS di sekolah ternyata belum jua memberikan jawaban sebenarnya. Masih suka menutup-nutupi. Atau mungkin tidak tahu. Dan penulis baru menemukan jawaban itu ketika keluar dari sekolah.
Fakta itu muncul satu per satu hingga tersingkaplah apa arti “istimewa” selama ini yang menjadi doktrin begitu saja bagi kita.
Tak dapat kita pungkiri, bahwa salah satu keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pusat tirani dari gerakan Kemasonan. Yogyakarta adalah andil. Ia misteri. Sejarah kelam dari basis lalu-lalang kekuatan Masonik untuk disebarkan ke seluruh Nusantara.
Gerakan Kemasonan sendiri pada masyarakat Jawa dikenal sebagai sebuah nama lain dari gerakan Freemasonry. Gerakan Kemasonan memiliki ciri khas berupa kultur spiritual yang ketat dalam studi ilmu kebatinan. Menariknya, sekalipun Gerakan Kemasonan memiliki domain kajian pada wilayah spiritualitas, itu tidak menutupi gerak mereka dalam menguasai sendi-sendi kekuasaan Jawa tempo dulu.
Gerakan Kemasonan terkenal sangat deras menyusup ke lingkaran elit-elit Jawa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Semarang dan Solo acapkali disebut sebagai pusat gerakan Kemasonan pada basis tengah Jawa. Ini dilakukan semata-mata karena mereka tidak mau bersusah payah untuk meniti jalan dari bawah. Ya persis dengan orang Yahudi pada umumnya: pemalas dan pragmatis. Dua sifat yang juga kadang menghinggapi sebagian umat muslim. Potong jalur demi kuasa. Tabrak sana, tabrak sini demi kursi dunia.
Artawijaya, dalam buku terbarunya “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara: Dari Zaman Hindia Belanda Hingga Pasca Kemerdekaan RI” mengungkap dengan baik betapa Gerakan Kemasonan memiliki dua wajah dari satu tubuh yang sama: Yahudi. Satu sisi ia adalah kultus mistisisme Kaballah yang pasti paganis. Sedang di sisi lain, cita-cita mereka tidak sepele, yakni memasonkan Nusantara.
Menurut Artawijaya, masih dalam buku terbitan oktober 2010 tersebut, Gerakan Kemasonan dalam rekam jejaknya terlibat aktif dalam membantu pemerintahan elit setempat, baik bupati, residen, wedana, bahkan elit-elit tingkat keraton. Mereka yang masuk dalam lingkaran Gerakan Kemasonan tidak bisa orang sembarangan. Sebab catatan sejarah mengemukakan bahwa back up dari Gerakan Kemasonan berasal pada sedimentasi warga yang terbilang golongan priyayi. Elit kuasa di Jawa yang secara intens terlibat relasi dengan pemerintah kolonial.
Dengan hubungan tersebut, terjadilah simbiosa mutualisme antara para elit keraton dengan Pemerintah Belanda yang memang memiliki tujuan memasonkan rakyat Yogyakarta. Para keturunan elit keraton kemudian mendapatkan banyak keistimewaan berupa peluang besar untuk mendapatkan pendidikan di Belanda. Menariknya salah satu diantara elit-elit itu tersimpan nama keluarga seperti Pakualaman. Sebuah kadipaten yang merupakan satu wilayah dari kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Paku Alam.
Sejarah pembentukan Paku Alaman sendiri berawal pada tanggal 13 Februari 1755. Melalui perjanjian Gianti, Belanda kemudian memecah Kesultanan Mataram menjadi dua wilayah, yakni Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kesultanan Surakarta sendiri kemudian dipecah kembali menjadi dua, yaitu pertama berada dibawah Kesultanan Kasunanan Surakarta dan dipimpin Pakubuwono. Dan kedua, Kadipaten Mangkunegara, dibawah kedudukan mandataris Mangkunegara. Sedang polarisasi dalam Kesultanan Yogyakarta terbagi dalam dua otorita, yakni satu milik Kesultanan Yogyakarta dan kedua menjadi hak milik Kadipaten Pakualaman.
Dengan begini kita memahami bagaimana Yogyakarta memang sudah disetting cukup lama oleh pemerintahan Kolonialis Belanda yang notabene adalah penampuk awal lahirnya Gerakan Kemasonan di Nusantara.
Th Stevens, seorang sejarawan Belanda, dalam bukunya ”Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda 1764-1962” menulis bahwa Kedudukan khusus yang ditempati kota Yogyakarta dan loge-nya dalam Gerakan Kemasonan digarisbawahi oleh suatu keputusan dari Majelis Tahunan Provinsial tahun 1930, di mana diputuskan bahwa pertemuan-pertemuan tahunan dari Majelis Tahunan dilangsungkan di Yogyakarta, di terima dengan suara banyak.
Pada kesempatan itu diingatkan bahwa usul seperti itu telah disampaikan pada tahun 1908, namun waktu itu usul tersebut belum diterima. Di latar belakang keputusan tahun 1930 terletak kebutuhan untuk lebih menekankan unsur Indonesia dalam Tarekat Mason Bebas Hindia, dan tidak sulit untuk mengerti mengapa peran ini diberikan kepada “Mataram”. Sebuah kerajaan yang menguasai Jawa dari hulu hingga hilir.
Penulis melihat bahwa strategi Mataram untuk dijadikan pusat Gerakan Kemasonan relatif berada pada tiga hal. Pertama Mataram adalah sebuah representasi dari kekuatan politik Nusantara. Kedua, Mataram adalah representasi Budaya Nusantara. Dan ketiga Mataram lah yang relatif lebih cocok dengan spiritualitas ajaran Kebatinan Gerakan Kemasonan yang sama-sama paganis.
Hal ini kemudian diperkuat oleh pernyataan Wakil Suhu Agung Ir. Wouter Cool dalam pidato pembukaannya yang menyebut Yogyakarta sebagai “sebuah sel yang dalam perjalanan waktu akan matang dan akan berkembang biak menjadi kamar dan kompleks rumah pemujaan dengan jumlah terbesar anggota dari kebangsaan pribumi”.
Alhasil tak heran jika kita menyebut Yogyakarta sebagai pemain inti dalam lapangan gerakan Kemasonan di Jawa khususnya, dan Nusantara pada umumnya. Oleh karenanya pula, tak berlebihan bahwa Loge di Yogyakarta kemudian diberikan nama Mataram. Sebuah kerajaan besar yang meliputi hampir seluruh Pulau Jawa dan memainkan sejarah penting dalam perpolitikan Jawa.
Bola kemudian menjadi terus bergulir dan semakin penting. Sebab pada perjalanannya, Gerakan Kemasonan dari waktu ke waktu berhasil mewarisi elit-elit keraton. Tercatat Paku Alam V, VI, dan VII adalah bagian penting dari anggota Gerakan Kemasonan. Bahkan Paku Alam VII menulis buku, “Apa yang Kutemukan Sebagai Orang Jawa untuk Roh dan Jiwa dalam Tarekat Mason Bebas.” Buku ini ditulis oleh Porbo Hadiningrat, Bupati Semarang-Salatiga, disebarkan di kalangan elit Jawa agar menjadi pendukung Gerakan Kemasonan.
Sedangkan Sultan Hamengkubuwono IX sendiri adalah pemain dalam pergerakan dari basis dukungan Kemasonan pada area politik kekeratonannya. Dan penerusnya, Sultan Hamengkubuwono X, walau secara formil tidak terkesan terlibat aktif pada daftar nama Gerakan Kemasonan, namun secara pemikiran ia tercatat cukup kuat menyebarkan ajaran-ajaran mistisme Jawa sebagai penerus dari Gerakan Kemasonan. Termasuk otoritas dirinya dalam memberi mandat terhadap Juru Kunci Merapi.
Terjebak Pada Perdebatan Tidak Penting
Tentu penulis kemudian menjadi khawatir melihat betapa mati-matiannya masyarakat Yogyakarta mempertahankan Sistem Kesultanan. Jangan-jangan Yogyakarta akan digiring untuk membangkitkan kembali ke permukaan Gerakan Kemasonan yang sekarang terus menyelinap. Dan juga alangkah tidak kurang lucunya jika umat muslim justru terlibat secara serius dalam silang pendapat RUU DIY antara yang mendukung opini SBY maupun yang kontra.
Karena kita telah berkutat membicarakan isu yang sama sekali tidak penting. Karena baik sistem monarki Kesultanan (lengkap dengan budaya Kemasonannya) dan demokrasi (lengkap dengan penafikan Allah sebagai otoritas tunggal pembuat Hukum) adalah produk buatan manusia, yang sama sekali tidak akan mampu membuat Islam tegak.
Seharusnya umat Islam tidak perlu menghabiskan waktu, energi, pikiran, apalagi sampai membuat survey tentang apakah masyarakat Yogyakarta mendukung Sistem Kesultanan atau Demokrasi. Karena dua-duanya pilihan pahit dan tidak perlu dipersoalkan apakah itu bertentangan dengan konstitusi Indonesia atau tidak. Justru yang mesti jadi konsen kita semua bagaimana kita terhindar dari pembicaraan itu dan kita tetap dalam keteguhan Iman ketika diberi dua pilihan: Sistem Thoghut atau Sistem Islam.
Disinilah sejatinya Gerakan Zionisme menabuh asap kabut hingga pandangan kita memburam. Kita lupa, kita ini masih dikelilingi mereka. Kita lupa bahwa mereka memang bertugas membuat makar-makar agar kita tertipu tapi tidak mengetahui siapa yang menipu. Bayangkan kita dijebak, di depan iman kita sendiri untuk selalu mempopulerkan perdebatan tentang manakah sistem buatan manusia yang terbaik? Manakah diantara sistem buatan manusia yang satu dan sistem buatan manusia lainnya yang mesti kita pilih. Ini konyol namanya.
Promosi Kejayaan Kearifan Lokal
Keimanan kita akhirnya tidak hanya diuji disitu. Karena isu DIY ini kemudian dijadikan ajang promosi gagasan-gagasan Kearifan Lokal. Kita ketahui bersama bahwa dibalik cantiknya gagasan kembali kepada tradisi ini, ada virus yang sebenarnya diselipkan. Kita mesti tahu bahwa istilah kearifan lokal amat dekat dengan istilah mistisisme kuno, seperti Kejawen, Ajaran Nenek Moyang dan Sesembahan luhur.
Sultan HB X seperti dikutip Kompas pada 2 desember lalu, menyatakan bahwa soal keistimewaan ini merupakan identitas etnik yang menunjukkan kearifan lokal dalam proses berbangsa. ”Jadi Republik ada bukan berarti pemerintah maunya kertas putih, terus dicoret-coret semaunya. Isinya sudah ada. Dan ini sebetulnya peradaban bagian dari Republik. Nyatanya Republik ada itu malah ra diopeni (baca: dirawat)”
Ucapan Sultan kemudian diamini oleh Ketua Dewan Kesepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda, Eka Santosa di Bandung setelah bersilaturahim dengan Sultan. Eka menyatakan bahwa Pernyataan SBY amat membahayakan kearifan Lokal di Yogyakarta. Mantan Ketua Komisi III DPR periode lalu ini mengatakan, Yogyakarta merupakan contoh satu kearifan lokal, warisan sejarah yang harus dijaga. ”Kami dari kelompok masyarakat adat punya kekhawatiran kalau ini bisa terganggu, artinya keutuhan NKRI terganggu, lebih dari itu, kesultanan yang punya dokumen bisa diobok-obok, bisa diganggu tadi ini berbahaya,” katanya seperti dikutip Kompas.
Pertanyaannya apakah Kearifan Lokal Yogyakarta? Kemana mengacu periode sejarahnya? Apakah Kearifan Lokal itu adalah Syariat Islam? Sebuah pertanyaan yang ganjil selain tidak ketemui bahwa Kearifan Lokal yang dimaksud adalah Sistem Kesultanan yang banyak mengandung kesyirikan berupa mistisisme dan penghambaan antara manusia sesama manusia.
Padahal dalam sejarahnya, Islam sudah membuktikan bahwa tidak ada istilah Kearifan Lokal. Rasulullah tidak pernah mengenalkan apalagi mengajarkan Kearifan Lokal Madinah, Kearifan lokal Mekkah, bahkan Kearifan Lokal Syam kepada umatnya.
Islam hanya mengenal kata Tauhid dimana segala tindak tanduk budaya dan kreasi manusia tidak boleh terlepas pada aturan-aturan Allah. Dimana bumi dipijak disitulah syariat Islam berlaku sama dan tidak boleh dikalahkan atas nama budaya.
Artawijaya dalam bukunya Jaringan Yahudi di Nusantara, sudah mengendus kuat bagaimana gagasan Kearifan Lokal adalah sisipan dari Mason Melayu yang mengacu kepada kebijaksanaan peninggalan Kuno atau biasa disebut Ancient Wisdom.
Oleh sebab itu, jamak kita temui bahwa aliansi Gerakan Kemasonan Eropa yang membumi di Nusantara begitu gigih meneliti, mempelajari, dan menguasai budaya serta tradisi Jawa Kuno. Salah satunya dilakukan oleh Dirk Van Hinloopen Labberton, sosok yang acap disebut Boedi Oetmo sebagai bapaknya Kebatinan.
Inilah yang pernah disinyalir Muhammad Quthb tentang orang-orang kafir yang menggali tanah-tanah Mesir. Mereka (baca: orientalisme) menggali bukan demi tujuan keilmuan, tapi untuk membangkitkan kembali warisan paganisme Mesir untuk kemudian ditempel sebgai Kebudayaan luhur Mesir yang mesti dilestarikan.
Tentu mendengar hal itu, kita akan teringat bagaimana kelompok-kelompok Gerakan Kemasonan Modern seperti Jaringan Orang Liberal (untuk tidak menyebutkan Islam Liberal), Freedom Institute, Komunitas Salihara, Wahid Institute selalu mengkampanyekan isu kearifan Lokal dengan misi penafikan hukum-hukum Islam.
Sebab bagi mereka, Hukum Islam bertentangan dengan kearifan Lokal. “Kami butuh hukum asli Indonesia, bukan hukum impor”, begitu menurut mereka menyinggung bahwa Islam adalah agama Timur Tengah, tidak match dengan komposisi budaya rakyat Indonesia.
Naudzubillah. Semoga kita tidak menjadi ikut latah menjadi “Istimewa” di mata manusia. Sebab, sebaik-baiknya keistimewaan ada pada Allah.
Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi. Aktif di Kajian Zionisme Internasional