Terenyuh hati ini ketika melihat saudara-saudara kita di Sumatera Barat menangis merasakan kepedihan dan kesusahan yang tak terkira pasca-gempa dahsyat yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2009 dengan kekuatan 7,6 SR itu telah meluluh lantakkan ribuan tempat tinggal dan gedung, menewaskan lebih dari 700 orang serta melukai ribuan penduduk lainnya.
Kami yang berdomisili jauh di luar negeri dengan sangat jelas menyaksikan kondisi korban-korban gempa bahkan saat-saat kejadian gempa melalui berbagai stasiun televisi timur tengah yang rata-rata meliput musibah yang menimpa salah satu kota dimana di tempat itu telah banyak melahirkan ulama-ulama kelas dunia seperti Syaikh Ahmad Yassin Al Fadani rahimahullah yang menjadi guru hampir sebagian besar ulama-ulama besar saat ini dan juga seorang sufi yang menjadi tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia Buya Hamka rahimahullah.
Kami menyaksikan proses evakuasi mayat yang berlangsung cukup rumit karena medan yang susah, kurangnya peralatan dan hujan lebat yang seakan ingin ikut meramaikan kesedihan masal ini.
Belum lagi kepedihan yang dirasakan oleh korban-korban yang masih hidup. Rumah-rumah mereka telah hancur, tidak punya tempat untuk menginap, tidur beratapkan langit ditambah lagi hujan lebat yang walaupun mereka mendapatkan tempat untuk berteduh di sisi-sisi bangunan yang masih tersisa, tetap tidak akan menghalangi tetesan-tetesan dingin air hujan mengenai tubuh-tubuh lapar mereka.
Perut-perut mereka dalam kelaparan yang luar biasa sebab tidak adanya makanan dan katanya mereka makan hanya dengan kerak nasi. Anak-anak bayi tidak mendapatkan susu. Sementara bantuan makanan terlambat dan tidak merata. Air bersih susah dan sedikit hingga untuk mandi dan buang air pun susah dan tidak ada tempat. Apalagi buat wudhu dan sholat, sudah tidak menentu jadinya. Makanya siapa-siapa korban sebuah bencana yang mampu mempertahankan shalatnya, patut untuk diancungi jenpol.
Tidur-tidur mereka tidak akan pernah tenang dan nyenyak sebab takut akan terjadi gempa susulan Semuanya berada dalam rasa ketakutan dan kegelisahan akan nasib anak, istri, suami, ayah, ibu dan semua sanak saudara serta teman-temannya apakah mereka masih hidup atau ikut terkubur dalam reruntuhan gempa.Yah begitulah memang susah dan repotnya jika kita berada dalam sebuah kondisi bencana alam.
و لنبلونكم بشىء من الخوف والجوع و نقص من الأموال و الأنفس و الثمرات و بشر الصابرين (البقرة: 155)
“Dan sungguh kami akan menguji engkau dengan sesuatu daripada ketakutan, kelaparan, berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan dan gembirakanlah orang-orang yang sabar.”
Sepertinya tidak ada yang menolong para korban itu, seolah-olah tidak ada yang mendengar dan melihat jeritan serta kesusahan mereka. Allah benar-benar menciptakan sebuah kondisi dimana mereka hanya bisa mengeluh, menangis, merengek dan mengadu kepadanya. Seolah-olah Allah ingin mengatakan di depan mereka, “Sekarang tidak ada siapapun di sini yang dapat menolongmu selain Aku yang Maha Kuasa.“
و إن يمسسك الله بضر فلا كاشف له إلا هو… (الأنعام: 17)
"Dan jika Allah menyentuhmu dengan marabahaya maka tidak ada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia (Allah)…”
Namun dibalik kerugian fisik ini semua, ada banyak keuntungan batin. Orang-orang arif dan bijak sangat memahami bahwa seharusnya musibah ini tidak perlu disesalkan tetapi sepatutnya disyukuri,
وعسى أن تكرهوا شيئا و هو خير لكم…(البقرة: 216)
“…dan boleh jadi kamu membenci sesuatu sementara ia baik bagimu…”
Di balik tangisan hamba atas kesusahan yang menimpanya, tersimpan keridhoan dan ampunan sebab Allah sangat menyukai tangisan dan rengekan dari makhluk yang dibuat dengan tangan-Nya sendiri yang bernama manusia ini.
إذا اشتكى المؤمن أخلصه الله من ذنوبه كما يخلص الكير خبث الحديد (رواه البخاري)
“Jika seorang mukmin merintih (karena kesusahan dan kesakitan) Allah membersihkannya dari dosa-dosanya sebagaiamana ubupan membersihkan karat-karat besi.”
Mari kita sedikit menggali rahasia di balik musibah ini:
1) Pertama, seharusnya orang yang tertimpa musibah patut berterima kasih kepada Allah sebab tak ubahnya orang yang tertimpa musibah dengan Allah adalah seperti pasien dengan dokter. Dokter mengamputasi salah satu organ tubuh orang yang sakit agar ia memperoleh kesembuhan. Begitu pula Allah, telah mengambil harta dan sebagian sanak keluarga kita karena di situ ada kesembuhan untuk kita dari penyakit yang bernama ghaflah (lalai daripada Allah).
Harta, anak-anak dan keluarga mungkin selama ini memang telah membuat kita lalai dari mengingat Allah. Kita mungkin telah banyak meninggalkan shalat dan dzikir karena sibuk mengejar dunia untuk mengenyangkan perut anak-anak kita dan memuaskan nafsu dunia istri-istri kita. Allah Swt berfirman:
و اعلموا أنما أموالكم و أولادكم فتنة…(الأنفال: 28)
“…dan ketahuilah bahwasanya harta-harta dan anak-anak kamu adalah fitnah…”
Di sini Allah ingin menegur kita dengan berbagai marabahaya itu, bukan ingin menindih kita. Persis seperti ketika anda berjalan bersama wanita kekasih anda dan anda melihat kepada wanita lain selain dia maka dia akan mencubit anda agar anda menoleh kembali kepadanya. Seperti itu pulalah Allah kepada kita agar kita kembali kepadanya.
Coba deh buka Alqur’an, lihatlah ayat-ayat yang menceritakan tentang marabahaya atau bala’ yang menimpa kaum muslimin! Allah membahasakannya dengan “مس“ (menyentuh), bukan semata-mata “عذب” (mengadzab).
و إن يمسسك الله بضر فلا كاشف له إلا هو… (الأنعام: 17)
“Dan jika Allah menyentuhmu dengan marabahaya maka tidak ada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia (Allah)…”
و إذا مس الإنسان ضر دعا ربه منيبا إليه… (سورة الزمر:8)
“Dan jika marabahaya menyentuh manusia iapun berdoa dan kembali kepada Tuhannya.”
و إذا مس الإنسان ضر دعانا لجنبه أو قاعدا أو قائما (سورة يونس:12)
“Dan jika marabahaya menyentuh manusia dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri…”
Kembali kepada-Nya, itulah maksud Allah ketika menurunkan musibah kepada hamba-hambanya.
الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله و إنا إليه راجعون (البقرة:156)
“Yaitu orang-orang yang jika tertimpa musibah mereka mengatakan sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali.”
2) Kedua, bukan hanya mengembalikan perhatian kita kepada-Nya, tetapi juga Allah pasti ingin menghapus dosa-dosa kita dengan bala’ atau musibah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من مصيبة يصاب بها المسلم إلا كفر بها عنه حتى الشوكة يشاكها (رواه مسلم)
“Tidaklah daripada musibah yang menimpa seorang muslim melainkan dibersihkan dosa-dosanya dengan musibah itu bahkan sampai sebab duri yang menusuknya sekalipun.”
Apa bedanya adzab yang akan dirasakan seorang hamba di akhirat kelak, atau di dunia, kedua-duanya seorang hamba akan merasakan sakit. Hanya saja Allah sangat suka untuk menyegerakan kaffarat dosa-dosa hambanya kaum muslimin di dunia daripada mereka harus menanggungnya di akhirat dengan rasa sakit yang jauh berlipat ganda.
أمتي هذه أمة مرحومة ليس عليها عذاب في الأخرة إنما عذابها في الدنيا الفتن و الزلزال و القتل و البلايا (رواه أبو داود و أحمد و أبو يعلى)
“Umatku ini adalah umat yang dirahmati, adzabnya bukan di akhirat melainkan adzabnya di dunia berupa fitnah, gempa, pembunuhan dan bala’.”
Lalu bagaimana dengan anak-anak kecil?! Bukankah mereka tidak memiliki dosa?! Mengapa mereka ikut menjadi korban juga?! Jawabnya adalah dengan musibah itu, bukan untuk mengampuni dosa-dosa anak kecil itu, tetapi untuk mengampuni dosa-dosa kedua orang tuanya. Inilah yang ditafsirkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah atas ayat ke 155 surat Al Baqarah di atas bahwa الثمرات di atas tafsirnya adalah buah hati yaitu anak-anak. Imam Syafi’i menafsirkan demikian berdasarkan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذا مات ولد العبد قال الله للملائكة: أقبضتم ولد عبدي؟ فيقولون نعم. فيقول الله تعالى: أقبضتم ثمرة قلبه؟ فيقولون نعم. فيقول الله تعالى: ماذا قال؟ فيقولون: حمدك و استرجع, فيقول الله: ابنوا لعبدي بيتا في الجنة و سموه بيت الحمد ( البحر المديد في تفسير القرأن لإبن عجيبة ص: 152 ج: 1 )
“Jika mati seorang anak hamba maka Allah berfirman kepada para malaikat: Apakah kalian sudah mengambil nyawa anak hambaku? Malaikat menjawab ya. Allah berfirman lagi (untuk menguatkannya): Apakah kalian sudah mengambil nyawa buah hati hambaku? Malaikat menjawab: ya. Allah berfirman: Apa yang dikatakan hambaku itu? Malaikat menjawab: Ia malah memuji Engkau dan kembali (kepada-Mu). Maka Allah berfirman: Kalian bangunkanlah untuk hambaku itu sebuah rumah di surga dan namakanlah ia dengan rumah al-hamd.”
Lalu bagaimana dengan orang-orang shaleh yang sudah diampuni dosanya?! Mengapa mereka tertimpa musibah juga?! Jawabnya adalah jika seseorang tidak memiliki dosa, maka musibah itu akan mengangkat derajat bagi seorang hamba yang shaleh itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما يصيب المؤمن من شوكة فما فوقها إلا رفعه الله درجة أو حط عنه بها خطيئة (رواه مسلم)
“Tidaklah menimpa seorang mukmin sesuatu daripada duri dan yang lebih besar daripadanya melainkan Allah mengangkatnya satu derajat atau dihapuskan daripadanya kesalahan.”
Ada pertanyaan lagi jika memang musibah atau adzab itu berfungsi untuk membersihkan dosa-dosa para hamba, lalu kenapa justru musibah itu tidak di turunkan saja di Jakarta, Bandung, Surabaya atau kota-kota lainnya yang lebih hebat kemaksiatannya?! Bukankah mereka lebih perlu untuk diturunkan adzab agar bersih dosa-dosanya?!
Jawabnya adalah firman Allah Swt:
فيغفر لمن يشاء و يعذب من يشاء و الله على كل شيء قدير (البقرة:284)
“Dan Allah mengampuni siapa-siapa yang dikehendaki-Nya dan mengadzab siapa-siapa yang dikehendakinya dan Allah meha kuasa atas segala sesuatu.”
Kuasa kita hanya terbatas pada ilmu dan pengetahuan kita yang sempit ini. Apa hak kita mengatur dan mempertanyakan Allah, kenapa bala’ tidak turun di sini saja, kenapa bala’ tidak turun di sana saja?! Sementara Allah maha kuasa dan ikmunya yang tak terbatas itu melingkupi segala sesuatu.lebih tahu daripada kita, mana-mana negeri yang pantas untuk diturunkannya adzab, mana-mana negeri yang pantas untuk diampuninya, dan mana-mana negeri yang pantas untuk dibiarkannya. Bisa jadi kota-kota yang belum diturunkan Allah adzab itu hanya bersifat penundaan saja, mungkin besok, lusa, bulan depan atau bebarapa tahun yang akan datang, giliran kota kita yang akan ditimpakan Allah bencana-bencana ini. Atau bisa jadi penundaan itu karena istidraj dari Allah ke atas kita. Kita di biarkan Allah berbuat semaunya hingga sampai batas waktu yang telah ditentukan, apakah di akhirat ataupun di dunia, Allah langsung mengadzab kita sekuat-kuatnya dengan balasan yang justru jauh berlipat ganda.
Bersyukurlah kaum muslimin yang disegerakan Allah adzabnya di dunia. Sebab akan terhindar dari adzab di akhirat yang lebih keras lagi siksanya. Maka saya menyimpulkan bahwa penduduk Padang dan Aceh lebih dicintai dan diridhoi Allah daripada penduduk kota-kota lainnya, sebab dengan menyegerakan adzabnya, itu berarti Allah telah meringankan balasannya atau bahkan telah mengampuni dosa mereka semua. Subhanallah…Amin…Allahumma amin…
إن عظم الجزاء مع عظم البلاء, و إن الله إذا أحب قوما ابتلاهم, فمن رضي فله الرضا, و من سخط فله السخط (أخرجه الترمذي و ابن ماجة)
“Sesungguhnya besarnya pahala berdasarkan besarnya bala’ (ujian), dan sesungguhnya Allah jika mencintai suatu kaum maka diturunkannya bala’ atas mereka. Siapa yang ridha maka baginya ridha (Allah) dan siapa yang marah maka baginya kemarahan (Allah).”
Pertanyaan terakhir, kalaulah memang mushibah atau adzab itu untuk membersihkan dosa-dosa, kenapa toh ternyata juga diturunkan di negara-negara kafir seperti gempa di Jepang dan Badai Katrina di Amerika Serikat?
Jawabannya adalah karena hakekat musibah itu bukan hanya untuk mengingatkan dan membersihkan dosa-dosa para hamba sebagaimana yang berlaku atas kaum muslimin di atas, tetapi juga untuk menghukum makhluk-makhluk durhaka yang sudah kelewat batas yang tidak bisa diampuni lagi dosa-dosanya. Itulah mereka orang-orang kafir. Sudah melakukan kezaliman kepada Allah dengan menyekutukan-Nya, malah suka melakukan kemaksiatan dan menzhalimi makhluk Allah pula.
و أما من تولى و كفر فيعذبه الله العذاب الأكبر (الغاشية: 24)
"Dan adapun yang berpaling lagi kafir, maka Allah mengadzabnya dengan adzab yang paling besar”
Dan adzab yang paling besar itu dapat dipastikan bukan pembersihan, melainkan itu benar-benar hukuman, sebab apanya lagi yang mau dibersihkan dan diampuni dari orang-orang kafir?!
Tuhannya saja sudah dia zalimi dengan kesyirikannya, apalagi makhluk-makhluk Tuhannya.
إن الله لا يغفر أن يشرك به و يغفر ما دون ذالك…(النساء:48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa-dosa orang) yang menyekutukannya dan mengampuni (dosa-dosa) yang selain itu…”
Toh kalaupun mereka melakukan amal dan ditimpa ujian, tetap tidak dapat menutupi dan menebus dosa-dosa penyekutuan mereka terhadap Tuhannya. Sebab dosa menyekutukan Tuhan dari seorang makhluk itu sangat besar dan tidak terampuni jika belum bertaubat. Pahala, ampunan dan kebaikan itu terhalangi oleh kesyirikan. Jadi tujuan penurunan bala’ sebagai pembersihan dosa (الكفرات) tidak dapat terealisasi selama mereka masih dalam kekafiran. Maka dapat dipastikan bahwa bala’ yang ditimpakan kepada mereka adalah benar-benar hukuman (العقاب).
Mari kita renungkan beberapa ayat di bawah ini:
إنه من يشرك بالله فقد حرمه الله عليه الجنة و مأواه النار وما للظالمين من أنصار (المائدة:72)
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya adalah di neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun." (Al-Ma-idah: 72)
و قدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا (الفرقان: 23)
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan…" (Al-Furqaan: 23)
و الذين كذبوا بأيتنا و لقاء الأخرة حبطت أعمالهم (الأعراف: 147)
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka…” (Al-A’raaf : 147)
Subhanallah…itulah yang terjadi pada kaum Saba’, kaum Sodom, kaum Madyan, kaum Fir’aun, kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, kaum Nabi Shaleh ‘alaihissalam. dan kaum-kaum para nabi lainnya sebelum kaum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . Adzab itu benar-benar ditimpakan ke atas mereka dengan makna hukuman yang sebenar-benarnya. Sampai-sampai Alquran telah mencap mereka sebagai kaum yang fasiq, kufur, zhalim dan sebagainya seolah-olah tidak ada ampunan lagi bagi mereka.
Adapun umat Sayyidina Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat dirahmati dan disayangi Allah Ta’ala. Adzab-adzab yang ditimpakan kepada mereka tidak sedahsya t adzab-adzab yang ditimpakan kepada umat-umat nabi-nabi terdahulu. Adzab yang diturunkan kepada kaum muslimin umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ini hanya setitik saja. Sampai-sampai Allah membahasakannya dengan sentuhan (المس)
Coba deh kita lihat gempa yang yang menimpa kota Padang, ternyata tidak semua orang Islam tewas di sana, hanya sebahagian kecil saja. Tidak semuanya terluka, hanya beberapa ribu saja. Sungguh menakjubkan. Seolah-olah memang Allah benar-benar ingin menyapa dan menegur kita. Kalaulah Allah benar-benar ingin menghukum dan membalas kita, pastilah kita semua akan dimusnahkan-Nya.
Atau coba deh lihat tsunami di Aceh kemaren, juga tidak semuanya penduduk Aceh ditimpakan bala’ oleh Allah. Dan lihatlah jauh ke belakang dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan hingga sekarang. Belum pernah Allah menimpakan adzab yang begitu besar hingga menewaskan lebih dari 50 persen umatnya ini. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi para umat-umat para nabi sebelum Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, biasanya hampir 90 persen atau sebahagian besar umat-umat para nabi terdahulu itu dimusnahkan oleh Allah Ta’ala, hingga yang tersisa hanya beberapa persen atau beberapa puluh atau ratus orang saja yang masih dibiarkan hidup.
Sungguh-sungguh Allah memang bukan hendak mengadzab kita dengan adzab yang sebenar-benarnya, tetapi Allah hanya ingin menegur kita. Mungkin sebab karena masih ada jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah kita hingga Allah tidak pernah berkenan untuk mengadzab Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
وما كان الله ليعذبهم و أنت فيهم…(الأنفال:33)
“Dan Allah tidak hendak akan menyiksa mereka (umatmu Wahai Muhammad) sementara engkau berada di tengah-tengah mereka.”
Subhanallah walhamdulillah, kita harus bersyukur telah dijadikan Allah menjadi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita harus berterima kasih kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab berkat keberadaan beliau kita menjadi hamba yang senantiasa amal dan mushibah yang menimpa kita menjadi kaffarat atas dosa-dosa kita.
Saudara-saudaraku yang senantiasa diampuni Allah…
Ada sebahagian orang egois yang menafikan hikmah ini semua. Mereka berkata bahwa tidak layak bagi kita untuk mengaitkan bencana alam ini dengan dosa-dosa para penduduknya terlebih dalam suasana duka seperti ini, hanya akan menyinggung perasaan para korban gempa saja, sebab mereka merasa telah disudutkan.
Sungguh kalam ini sangat naïf dan picik. Justru kalau kita tidak mengaitkan peristiwa bencana ini dengan dosa-dosa kita malah akan membuat tujuan Allah menurunkan musibah ini menjadi tidak terealisasi, yaitu mengingatkan para hambanya untuk tidak mengulangi dosa-dosanya lagi dan yang belum melakukannya untuk tidak melakukannya. Para Rasul dan Anbiya’ yang arif dan bijak saja dahulu senantiasa mengingatkan umatnya bahwa bala’ yang menimpa adalah akibat dari kemarahan Allah atas perbuatan dosa dan maksiat.
Begitu pula Alquran tak ketinggalan untuk mengkaitkan antara kehancuran negeri-negeri umat terdahulu dengan perbuatan para penghuninya. Dan sebaliknya mengkait-kaitkan bahwa ketentraman dan kesejahteraan suatu negeri itu adalah karena ketaatan dan ketundukan para penduduknya.
Dengan tidak mengurangi simpati dan empati kepada para korban gempa di Sumatera Barat, di sini bukan maksud saya untuk menjelek-jelekkan mereka. Tetapi ini adalah kesempatan emas bagi kita untuk melakukan muhasabah atas dosa-dosa yang telah kita lakukan. Bagaimana kita bisa bermuhasabah kalau tidak ada dosa-dosa yang kita sadari, dan bagaiamana kita bisa menyadari, kalau tidak ada yang mengingatkan. Nah…izinkanlah saya untuk hanya sekedar mengingatkan Saudara-saudaraku sekalian, baik yang tertimpa musibah maupun yang belum tertimpa musibah di kota-kota lainnya.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa memang alam Indonesia sudah tidak lagi bersahabat dengan penduduknya. Berkali-kali sudah alam ini membantai kita, tetapi terus saja Allah menurunkan bala’nya, dan menurunkan lagi dan terus demikian. Tidak tahu hingga sampai kapan berakhirnya bencana-bencana ini. Mungkin ini disebabkan karena tidak ada perubahan dalam diri kita. Mungkin itu akibat kita hanya menganggap bencana-bencana itu hanya fenomena alam biasa yang tidak membawa pesan apa-apa.
Atau memang kita menganggap dan sadar bahwa itu teguran Tuhan, kita menangis menyesali dosa-dosa kita, tetapi air mata yang jatuh dari mata kita hanya berlangsung selama beberapa hari saja. Kesedihan kita hanya bersifat sementara. Setelah itu kita kembali melakukan kemaksiatan, kita kembali memakan riba dan harta haram, kita kembali menzalimi orang, kita kembali berzina, kita kembali tidak melakukan shalat, kita kembali melupakan Allah. Apalah artinya kesedihan ini, jika sifatnya hanya sementara. Jika ia tidak membawa perubahan. Buayapun ketika bersedih, matanya akan mengeluarkan air mata. Apa bedanya kita dengan buaya. Sungguh-sungguh kita telah tertipu dan terbuai dengan kesedihan kita.
Benar sekali kata Ibnu Atha’illah As-Sakandari ulama shufi abad ketujuh Hijriyah yang berkata, ”Sering bersedih karena perbuatan dosa tanpa ada upaya untuk meninggalkannya sungguh kamu tertipu dan terbuai dengan kesedihanmu dan sering bersedih karena tidak melakukakan perbuatan ta’at tanpa ada upaya untuk melakukannya, sungguh lagi-lagi kamu tertipu dan terbuai dengan kesedihanmu.” (Baca Hikam Ibnu Atha’)
Seharusnya bencana tsunami di Aceh kemaren sudah cukup untuk mengingatkan kaum muslimin Indonesia di tempat-tempat lainnya. Bahwa perbuatan dosa akan mendatangkan bala’ dan bencana. Tetapi ternyata tidak demikian, kita pandainya hanya bersimpati dan berempati, menyampaikan bela sungkawa dan mengirimkan rangkaian bunga. Semua itu hanya seremonial belaka. Di belakang itu kita tetap tertawa terbahak-bahak, tetap menikmati harta riba, tetap menikmati tubuh-tubuh molek para wanita, tetap menikmati musik-musik yang diharamkan Allah, tetap menikmati tidur nyenyak kita di waktu-waktu akhir sepertiga malam ketika Tuhan menunggu hamba-Nya memohon ampunan.
Maka jangan heran, pasca-tsunami Aceh kemaren, Allah tetap saja menurunkan bencana terus-menerus di setiap kota di Indoensia. Di mulai dari Nias, Yogya, Porong, Situ Gintung, Tasik Malaya, Mandailing Natal, Jambi dan terakhir Padang serta masih banyak lagi yang belum saya sebutkan seperti musibah-musibah kebakaran hutan, kerusakan alam bawah laut, banjir, kekeringan, kecelakaan dan sebagainya. Sebab kita membeo atas peringatan-perinagatan Allah. Maka jangan terkejut jika suatu saat nanti bencana alam akan menimpa kota atau kampung kita, jika kita terus berdiam diri tanpa ada melakukan usaha perubahan. Wa na’udzubillah.
Terakhir…penulis ingin mengajak para pembaca sekalian untuk merenungi beberapa hadits di bawah ini. Sebelum gempa mendatangi kota-kota kita, alangkah baiknya jika kita mencegah sebabnya terlebih dahulu sebab mencegah itu lebih baik daripada mengobati.
“Bila perzinahan dan riba (penyelewengan) telah terang-terangan dilakukan oleh penduduk suatu negeri maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan bagi diri mereka untuk terkena azab Allah.” (Hadits Riwayat Bukhari)
“Dan menuturkan Ibnu Abi Ad-Dunya dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau bertanya kepada A’isyah, Wahai Ummul Mu’minin: Katakan kepada kami tentang gempa, maka A’isyah berkata: Ketika para manusia telah membolehkan zina, meminum khamar dan menabuh alat-alat musik. Maka Allah berkata kepada bumi: Bergoncanglah hingga mereka bertaubat dan meninggalkan (kemaksiatan) mereka. Dan apabila tidak, maka binasakan mereka!”
Kami teringat kalam guru kami, Al Ustadz Al Fadhil Rohimuddin Nawawi Al Bantani ‘athalallahu ‘umrahu, “Seorang hamba yang cerdas adalah hamba yang segera membersihkan dosa-dosanya dengan taubat, bukan menunggu Allah yang akan membersihkan dosa-dosanya dengan mushibat.”
Wallahu a’lam…
Al-faqir ila maghfirati Rabbih
Muhammad Haris F. Lubis
Pelajar Universitas Al Azhar Fak. Syariah wal Qanun Kairo
Penulis aktif di Darul Hasani Centre for Islamic Tasawuf Studies Cairo
Email: [email protected]