Pemerintahan SBY jilid 2 dalam dua bulan terakhir ini sedang mengalami goncangan dengan issue skandal KPK-Polri yang sering disebut sebagai “cicak versus buaya”. Masyarakat pun terbelah menyikapi krisis ini, pada satu sisi yaitu: institusi kepolisian sendiri, Kejakgung, dan beberapa politisi di Komisi III DPR, sedangkan di sisi lain adalah: KOMPAK, jaringan facebooker, beberapa media, dan gerakan mahasiswa. Perlu dicatat bahwa Komisi III DPR dianggap bagian dari pendukung kepolisian karena sikapnya yang tercantum dalam kesimpulan rapat dengar pendapat antara Polri dan Anggota Komisi III.
Salah satu isi dari kesimpulannya adalah mendukung Kapolri untuk meneruskan kasus Bibit-Candra. Sedangkan Presiden SBY tak jelas pendapatnya karena mungkin kasus ini dianggapnya sebagai kasus sepele dan berbeda dengan kasus insiden monas antara FPI dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), yang mana Presiden langsung esok harinya mengecam tindakan FPI.
Kita tidak tahu akan kemana kasus ini akan bermuara. Saling tuding dengan berbagai bukti antara dua kubu ini telah dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa ada yang salah dengan sistem hukum kita beserta penerapannya. Hal ini mungkin bisa disederhanakan dalam satu kalimat : krisis hukum dan kepemimpinan.
Hukum dalam berbagai pespektif
Banyak definisi tentang hukum, dalam literatur sekuler kita mengenal di antaranya Roscoe Pound mendefiniskan law is a tool for social engineering. Hukum adalah alat untuk merekaya sosial didalam masyarakat. Hukum dibuat untuk mengatur hubungan antara individu, masyarakat dan penguasa beserta para aparaturnya. Biasanya produk hukum sangat bergantung sekali terhadap ideologi, politik, sejarah dan sosial suatu budaya masyarakat dimana hukum itu berlaku.
Namun terkadang bisa saja hal sebaliknya yang terjadi, (seperti dikatakan oleh Pound bahwa hukum adalah alat untuk merekaya masyarakat) yaitu produk hukumlah yang mempengaruhi ideologi, politik dan sosial budaya sebuah masyarakat. Hal inilah yang biasa disebut sebagai pembuatan hukum secara topdown.
Dalam hal ini biasanya penguasalah yang lebih banyak menentukan produk hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Sehingga ideologi dan kepentingan penguasalah yang banyak muncul dalam produk hukum tersebut. Penguasa dan aparaturnyalah yang mampu mengutak-atik hukum sehingga pada akhirnya penguasa itulah sumber segala sumber hukum itu sendiri.
Dalam perspektif Islam, antara hukum dan aqidah sangat berhubungan erat, bahkan penerapan dan keyakinan seseorang terhadap kebenaran hukum Islam menentukan seseorang itu kafir atau muslim.
“… Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS:5:44)
Sayyid Qutb dalam Ma’alim fi Thariq menulis bahwa masyarakat Arab ketika Rasulullah SAW diutus memahami bahwa kalimat Ilah dalam syahadat “LA ILAAHA ILLALLAH” adalah pengakuan kepada kekuasaan menghukum dan memerintah yang tertinggi. Mereka mengerti juga bahwa mengesakan Allah melalui ikrar kalimah syahadat itu berarti mencabut semua kekuasaan yang dirampas oleh para padri dan pendeta, oleh ketua-ketua suku, oleh raja-raja dan penguasa-penguasa, dan menyerahkan kuasa itu hanya kepada Allah saja, kuasa atas hati nurani, atas lambang kebesaran, kuasa atas kenyataan hidup, kuasa dalam mengatur urusan harta benda, kuasa dalam urusan undang-undang dan juga kuasa di dalam urusan yang berkaitan dengan jiwa dan tubuh badan.
Mereka mengerti bahwa LA ILAAHA ILLALLAH itu adalah merupakan cetusan revolusi terhadap kuasa duniawi yang telah merampas suatu sifat khusus Tuhan yang utama, revolusi terhadap kenyataan hidup yang bersandar kepada rampasan atas sifat Tuhan itu dan juga merupakan suatu pukulan maut atas peraturan dan pemerintahan yang menjalankan kuasanya berdasarkan undang-undangnya sendiri, yang tidak diridai oleh Allah. Orang-orang Arab itu paham ke mana arah tujuan perkataan LA ILAAHA IILALLAH itu dalam konteks dengan kenyataan hidup mereka, dengan kuasa dan muslihat mereka. Oleh sebab itulah mereka menentang dakwah atau revolusi itu dengan begitu hebatnya dan memeranginya habis-habisan.
Lebih lanjut dalam tafsir Fil Zilal Qur’an Sayyid Qutb menafsirkan ayat 5:44 diatas bahwa orang atau masyarakat yang tidak berhukum kepada hukum Allah maka sama dengan menolak uluhiyah Allah SWT. Karena salah satu karakteristik uluhiyah itu adalah kedaulatan syariah. Berhukum kepada selain syariat Allah adalah sama saja dengan menyatakan diri memiliki hak uluhiyah atau memiliki sifat ketuhanan dan itu adalah salah satu amal perbuatan yang secara jelas membawa kepada kekafiran.
Hukum di Indonesia
Indonesia ketika memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa ini tidaklah sepenuhnya bebas dari penjajahan. Dari sisi politik kita mungkin sepenuhnya merdeka dari penguasaan politk Belanda, namun dari sisi hukum hal ini tidak berlaku. hal ini dikarenakan sejak merdeka sampai sekarang produk hukum kita terutama KUH Pidana dan KUH Perdata, KUH Dagang masih merupakan warisan kolonial Belanda. Ada sekitar 400 produk hukum warisan Belanda yang masih berlaku di Indonesia yang semuanya dikarenakan bangsa kita belum mampu atau penguasanya belum mau mengubah produk hukum sesuai dengan alam pemikiran bangsa kita (Mahfud MD, Konplikasi Penegakkan Hukum Kita, 2006).
Mungkin dikarenakan aturan hukum itu secara implisit sangat menguntungkan para pemegang kekuasaan. Sehingga pada gilirannya penerapan hukum kolonial itu mempengaruhi perilaku penguasa dalam menghadapi rakyatnya dalam artian penguasa menjadi bersikap layaknya penjajah terhadap rakyatnya. Hal ini bisa dipahami karena menurut Pound hukum itu pada akhirnya akan mempengaruhi idelogi dan sosial budaya suatu masyarakat.
Dalam sejarahnya para penguasa di Indonesia memang tercatat acap kali menindas rakyatnya apalagi yang berseberangan dengan pemikirannya. Ketika Soekarno menjadi presiden, beliau berubah dari seorang pejuang nasionalis demokrat menjadi komunis-diktator. Perilakunya ini mulai terlihat sejak diberlakukannya konsep demokrasi terpimpin. Kebijakannya membubarkan konstituante hasil pemilu 1955, mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, membentuk DPRGR, MPRS berdasarkan pilihannya, membubarkan partai Masyumi dan PSI tanpa alasan yang kuat telah menunjukkan bahwa watak penjajah telah begitu kuat menguasai alam pikiran presiden RI pertama. Bahkan M.Natsir ketua Masyumi dalam siaran radionya dengan tegas menyatakan bahwa Soekarno adalah diktator, “ Selama masih ada kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan, kalau partai dikubur, demokrasipun otomatis akan terkubur, dan di atas kuburan ini hanya diktatorlah yang memerintah.”
Gaya kepemimpinan ala Fir’aun yang menyatakan, “saya adalah rabb kamu yang tertinggi”, telah menimbulkan gejolak dan krisis hukum didalam masyarakat Indonesia. melalui formula Nasakom masyarakat terutama umat Islam terbelah menjadi pro dan kontra Nasakom. NU disatu sisi ikut dalam parade Nasakom, sedangkan Masyumi di sisi lain keluar dari parade Nasakom. NU berpendapat bahwa keikutsertaan dalam Nasakom merupakan penerapan dari kaidah pesantren “apa yang tidak bisa didapatkan 100 %, jangan kau tinggalkan 100%”. Selain itu NU juga tampaknya mengincar kedudukan politik tertentu yaitu pos Departemen Agama.
Demi kedudukan dan kekuasaan NU terkadang melangkah terlalu jauh yaitu pemberian gelar “waliyul amri ad-dharuri bisy syaukah” kepada Soekarno. Dengan pemberian gelar ini NU menempatkan Soekarno sebagai pimpinan yang wajib ditaati karena dia adalah pimpinan yang jujur sekaligus muslim yang taat. Sedangkan yang menentangnya adalah bughat (pemberontak) yang wajib dibasmi.
Tokoh-tokoh Islam banyak yang mengecam tindak-tanduk NU yang sepertinya sudah menjadi stempel politik Soekarno dalam menguatkan arogansi kekuasaan ala Fir’aun dan menumpas politik Islam. Dengan istilah ini pemerintahan Soekarno berhasil memperalat kenaifan ulama NU yang mempunyai banyak massa ini untuk menentukan mana yang bughat (pemberontak), mana yang Islami, dan mendapatkan dukungan masyarakat yang berada dibawah pengaruh NU. Padahal istilah waliyul amri hanya bisa disematkan pada penguasa yang menjalankan hukum dan ideologi Islam. Sedangkan pemerintahan Soekarno jelas jelas menisbatkan dirinya bukan sebagai negara Islam melainkan sebagai pemerintahan sekuler yang terinspirasi dari sekulerisme Kemal Attaturk di Turki.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang lalim. (QS:62:5)
Begitu rezim Soekarno tumbang muncullah rezim yang menamakan dirinya Orde Baru. Namun dalam prakteknya rezim ini juga sama dalam hal menindas rakyat. Dengan jargon kembali ke UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, rezim ini berhasil menipu seluruh rakyat Indonesia terutama umat Islam. Karena dalam kenyataannya bahkan sampai pemerintahan SBY pun gaya para aparatur pemerintah terutama kepolisian dan kejaksaan masih terlihat arogan dan menganggap kritikan masyarakat sebagai upaya permusuhan.
Dalam kasus cicak versus buaya, tampak aparatur negara dengan telanjang telah menunjukkan arogansinya. Mulai dari pemakaian istilah cicak versus buaya yang dilontarkan mantan Kabareskrim Susno Duadji dan istilah godzilla dari kejaksaan. Polisi tetap melakukan penahanan terhadap Bibit-Candra walaupun tim 8 sudah merekomendasikan kasus ditutup karena tak ada bukti. Mereka juga menolak pencabutan BAP pertama dari Ary Muladi dan Wiliardi Wizard, walaupun keduanya sudah menyatakan mencabut BAP mereka.
Polisi juga tak melakukan penahanan terhadap Aggodo padahal telah jelas bahwa dalam rekaman di MK dia berperan sebagai aktor intelektual kasus tersebut. Selain itu terdapat pula pernyataan Jaksa Agung tentang “bukti mutlak dan bukti kuat” dalam kasus Bibit-Candra. Akhirnya masyarakat banyak yang kebingungan dengan polemik ini, di mana semua pihak saling melempar statemen (yang dipenuhi dengan istilah-istilah hukum yang memusingkan), dan ditambah lagi sikap Presiden SBY yang pelit bicara untuk menanggapi kisruh ini. Semua hal di atas menunjukkan bahwa begitu kuatnya produk hukum mempengaruhi perilaku sebuah institusi, sehingga logika sehat pun bisa saja dicampakkan dengan enteng tanpa rasa dosa dan bersalah.
Penutup
Kisruh cicak versus buaya menunjukkan ada persoalan mendasar dari sistem hukum kita dari sekedar perdebatan masalah siap yang benar atau salah. Persoalan tersebut adalah pertama, penerapan hukum warisan kolonial dalam kehidupan bernegara ternyata menjadikan watak aparatur negara kita begitu arogan dan terkungkung dalam legal formal hukum. Mereka cenderung mengabaikan subtansi hukum dan logika rasa keadilan masyarakat serta fanatik buta terhadap korps-nya.
Kedua, bahwa produk hukum kita yang berdasarkan pada warisan kolonial Belanda -yang telah dipakai di negeri ini sekian lama- ternyata gagal dalam mengatasi gejolak di masyarakat. Sehingga sudah seharusnyalah diganti dengan produk hukum yang berdasarkan kesepakatan para founding father yang tergabung dalam Panitia Sembilan yaitu : Piagam Jakarta. Lebih tepatnya penerapan tujuh kata yang dicoret sepihak oleh kalangan nasionalis yaitu kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada pemeluk-pemeluknya”.
Penerapan prinsip ini sebenarnya sangat memungkinkan secara legal formal mengingat Piagam Jakarta melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara hukum ketatanegaraan dinyatakan sebagai bagian integral dari UUD 45 itu sendiri. Ditambah lagi mayoritas bangsa kita adalah kaum muslimin sehingga penerapan hukum Islam adalah suatu keniscayaan di negara kita karena pada prinsipnya hukum adalah produk sosial dari suatu masyarakat.
Penerapan hukum Islam secara parsial seperti yang dilakukan sekarang, yaitu pemberian kekuasaan atas nurani dan keyakinan kepada Allah SWT sedangkan kekuasaan sistem dan syariat diberikan kepada selain Allah adalah pangkal kerusakan. Dualisme itu mengakibatkan jiwa manusia terkoyak antara dua kekuasaan yang berlainan dan bertentangan. Kerusakan itulah yang terjadi di masyarakat kita terutama pada aparatur pemerintahan yang mengidap penyakit split personality. Mereka terlihat sholat, berkurban, bersedekah, pergi haji, namun di sisi lain kehidupannya adalah mafia yang mempermainkan hukum untuk kepentingan penjahat berdasi. Sebagaimana firman Allah SWT, ”sekiranya ada di langit dan bumi Tuhan-Tuhan selain Allah, tentunya keduanya itu telah rudak binasa.” (QS. Al-Anbiya:22).
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada didalamnya.” (QS. Al-Mu’min:71)
Ketiga, sudah waktunya bagi anggota dewan untuk melakukan terobosan pembuatan undang undang KUH Pidana, KUH Perdata dan KUH Perdagangan dengan mengacu pada hukum Islam dan keberpihakan kepada kepentingan nasional. Hal ini sangat krusial mengingat ditengarai banyak produk hukum kita yang yang dibuat untuk kepentingan asing. Dalam video dokumenter “The new rule of the world”, John Pilger menggambarkan bahwa sejak awal Orde Baru pemerintahan kita telah menjadi subordinasi kekuatan neoliberalisme Amerika. Pada tahun 1967 terjadi konferensi di Swiss antara delegasi Indonesia dan pebisnis raksasa dari Amerika seperti: David Rockfeller si raja minyak, General Motors, ICI, Lehman Brothers, American Tobacco, Siemens, dan American Express. Pebisnis raksasa tersebut mendiktekan kepada delegasi Indonesia tentang infrastruktur hukum yang harus dijalankan yang tentunya mengakomodir kelanggengan bisnis mereka. Kini di era reformasi sepertinya undang undang terorisme, undang undang ketenagakerjaan, undang undang penanaman investasi asing dan lain-lain ditengarai adalah pesanan kekuatan kapitalisme global.
Tetapi melihat kondisi anggota dewan hasil pemilu 2009 penulis agak ragu terhadap keseriusan para aleg untuk memperjuangkan kemandirian hukum kita terutama dari partai Islam. Para politisi Islam kini sepertinya lebih memilih menjadi stempel politik pemerintahan SBY dibanding sebagai kekuatan penyeimbang, mirip seperti politisi NU di jaman Soekarno. Bahkan sering juga terlihat mereka menggunakan dalil-dalil agama untuk membenarkan tindakannya. Contoh: kontroversi ucapan mantan presiden PKS Tifatul Sembiring yang di kutip dalam tempointeraktif.com, yang menyatakan jilbab hanyalah selembar kain.
Ucapan ini jelas ditujukan untuk menyenangkan SBY dalam pemilihan presiden 2009 yang kala itu disorot karena istrinya tidak berjilbab sedangkan istri pesaingnya menggunakan jilbab. Kemudian tidak jelasnya sikap politisi tersebut dalam kasus-kasus yang menyudutkan umat Islam: seperti kasus terorisme JI (Jamaah Islamiyah) yang oleh banyak pengamat ditengarai banyak kejanggalan-kejanggalan (untuk tidak mengatakan adanya rekayasa intelegent) dalam berbagai pengeboman di pusat berkumpulnya warga negara asing.
Terakhir adalah lambatnya para politisi Senayan dalam mensikapi kasus Bank Century dan kasus cicak-buaya. Para politisi itu sebelumnya hanya ribut-ribut masalah kenaikan gaji dan penempatan kursi menteri dalam kabinet. Mereka baru bergerak setelah adanya tekanan dari masyarakat seperti : facebooker, LSM, gerakan mahasiswa, dan lain-lain. Sehingga benarlah perkataan Adnan Buyung Nasution, bahwa masyarakatlah sebenarnya yang merupakan agent of change, bukan wakil rakyat di Senayan yang tidak jelas mewakili siapa.
Bahkan sebelumnya Fachri Hamzah politisi muda PKS dan anggota Komisi III telah membuat pernyataan kontroversial yang melawan arus terhadap opini akal sehat yang berkembang di masyarakat. Dalam beberapa wawancaranya dengan televisi swasta beliau jelas jelas menjelek-jelekan KPK dan membela Polri.
Saya berdoa agar muara kasus ini tidaklah berakhir pada people power seperti yang terjadi pada era 65-an dan 98-an. Karena prasyarat kondisinya hampir mendekati sama. Misalnya: saluran politik yang mampet antara wakil rakyat dengan opini masyarakat, krisis kepercayaan kepada kepemimpinan aparatur pemerintah, krisis listrik yang menunjukkan tidak becusnya managemen negara dalam mengelola asset bangsa, liputan-liputan media massa yang begitu intens dan membakar darah, demo mahasiswa dan masyarakat yang mulai bergerak di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Selain itu biasanya tangan-tangan asing kapitalisme global akan ikut bermain dalam kekeruhan ini untuk mengambil keuntungan. Indikasi ini terlihat dari kenyataan bahwa LSM-LSM yang bergerak mendukung KPK umumnya adalah golongan liberal dan pernah tergabung dalam AKKBB pada insiden monas 1 Juni 2008.
People power era 65 dan 98 tidaklah membawa manfaat banyak bagi umat Islam. Sedangkan yang mendapat keuntungan darinya adalah kekuatan kapitalisme global yang sampai sekarang mampu menempatkan agen-agennya di pusat pemerintahan pada posisi vital, seperti perekonomian dan perbankan. Hukum-hukum yang berlaku juga memposisikan kepentingan asing sebagai prioritas utama. Umat Islam jangan lagi menjadi seperti apa yang diistilahkan Nurcholish Majid sebagai “pendorong mobil mogok”. Sudah saatnya para politisi Islam bergabung untuk menyatukan issue tunggal penerapan syariah Islam daripada ikut terseret dalam permainan politik yang hanya menguntungkan pihak asing. Karena kisruh KPK-Polri adalah akibat logis dari penerapan hukum yang bertentangan dengan ideologi mayoritas masyarakat Indonesia, yaitu ideologi Islam.
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya.” (QS. Al-Mu’min:71)
Wallahu a’lam bisshawab
Muhamad Herry; Profesi Penulis adalah karyawan swasta, mantan Pimred Bulletin Robbani yang terbit di Universitas Andalas.