Pemuda keturunan Arab itu kemudian melilitkan bom di dadanya, ia lantas menggunakan kostum bell-boy berwarna merah sebagaimana para bell-boy lainnya yang bekerja di hotel itu. Sebelum beraksi, ia membuka locker lemarinya yang tertempel foto orangtuanya seraya meratap sedih seolah akan berpisah, hingga merasa sudah puas ia kemudian menuju lobby hotel. Sesaat sebelum ia menekan pemicu bom, ia mendapat pesan singkat dari bosnya: “make us proud” begitu kata sang “dalang”. Sambil komat-kamit mengucap doa hingga ia merasa yakin, lalu pemicu bom pun ia tekan dan seketika; “Bumm!!” hotel tempat ia bekerja itu luluh-lantak meledak seiring tubuhnya yang juga carut-marut karena bom bunuh diri yang ia lakukan.
Itulah salah satu adegan film Vantage Point yang menggambarkan bahwa orang Arab yang nota-benenya adalah Islam merupakan pelaku tindak teror yang selama ini kerap terjadi. Film The Traitor, Golden Eye, bahkan Iron Man pun tak luput turut menyudutkan Islam sebagai The Only Terrorist. Media massa barat yang diback-up oleh koalisi Yahudi-Nasrani memang kompak dalam membentuk paradigma Islam Teroris seperti ini, maka tak ayal jika setiap kali ada bom meledak seluruh jari serempak menuding Islam sebagai kambing-hitam di balik bombing tersebut.
Kasus pengeboman rakyat sipil, turis mancanegara dan kerumunan masa di tempat umum seperti di JW. Marriot bukanlah hal baru. Teror bom tersebut layaknya sebuah ‘trend’ abad 21 yang diawali dengan insiden 11 September delapan tahun silam. Entah siapa dan maunya apa, apa pun dan siapa pun pelakunya, perbuatan arogan itu jelas tidak dapat dibenarkan baik secara undang-undang maupun syariat. Jelas-jelas itu merupakan sebuah tindakan barbarisme yang tidak dapat ditoleransi.
Namun naifnya, kenapa selalu saja kasus teror tersebut disangkut-pautkan dengan Jihad, yang mana Jihad sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk ibadah tertinggi dalam Islam, sedangkan teror merupakan kejahatan terkejam yang dilarang Islam. Di sana terdapat pencampur-adukan istilah dalam memaknai arti Jihad yang berdampak kepada pembentukan opini dunia bahwa Islam adalah ajaran holiganisme yang memiliki doktrin-doktrin ekstrim, kejam nan biadab.
Terlepas dari propaganda dunia, terlepas dari kilah paman Bush dengan War on Terror-nya, terlepas dari siapa dalang dan wayang di balik seluruh kejadian teror bom yang digandrungi para teroris abad ini, lebih arif jika kita memahami kembali ajaran ‘murni’ agama kita yang telah termaktub jelas dalam Al-Qur’an tentang hubungan seorang muslim dengan pemeluk agama lainnya berikut konsep ‘al-Jihad’ yang selama ini disalahartikan.
Dijelaskan dalam surat al-Mumtahanah ayat 8 bahwa, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Secara jelas Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja hingga orang kafir sekalipun, selama mereka tidak mengadakan permusuhan kepada umat Islam. Tentu perbuatan baik dan perlakuan adil yang dimaksud adalah dalam interaksi sosial (mu’amalah dunyawiyyah) antara umat manusia sebagai sebuah kesatuan masyarakat sosial.
Lalu pada ayat selanjutnya ditegaskan, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” Singkat kata, Allah melarang seluruh umat muslim untuk merajut loyalitas dengan kaum kafir ketika mereka memerangi umat Islam, baik itu dalam bentuk perang senjata (fisik), perang budaya, pemikiran, life-style maupun dalam segala bentuk perang yang digulirkan kaum kafir dan munafik untuk merobohkan bangunan Islam.
Dari dua ayat di atas, Islam ingin mengajarkan kepada pemeluknya tentang entitas Islam sebagai sebuah kesatuan nilai yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Penciptanya dan dengan manusia sesamanya. Memahami status manusia sebagai makhluk sosial merupakan landasan utama kenapa umat Islam diperbolehkan berinteraksi dengan kaum kafir, bahkan ketika Rasulullah Saw. meninggal, perisai perang beliau masih tergadaikan di tangan seorang Yahudi.
Oleh karena itu, tiada yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya di hadapan Allah kecuali “iman”, sehingga kepercayaan seseorang terhadap Allah adalah urusan dia pribadi yang akan diganjar langsung oleh Sang Pencipta di akhirat kelak, bukan manusia yang mengganjarnya di dunia. Sedangkan dalam interaksi sosial, nyawa seseorang dengan yang lainnya adalah sama, tiada diskriminasi golongan, ras, warna kulit maupun agama. Hal tersebut karena seluruh manusia adalah ciptaan Allah, dan Dia tidak mengizinkan ciptaan-Nya tersebut dibunuh kecuali karena beberapa sebab.
Dr. Abdul Fatah al-Barsyumi dalam bukunya “al-Jinayat ‘ala an-Nafs wa Ma Dunaha fi al-Fiqh al-Islamy”, memaparkan beberapa sebab yang memperbolehkan seseorang untuk dibunuh. Antara lain adalah; seseorang yang telah memiliki pasangan yang sah (suami atau istri) namun dia masih melakukan zina (selingkuh), kedua adalah orang murtad –yang menyerukan kemurtadannya dan memusuhi Islam– dan ia tidak bertaubat setelah diminta untuk taubat, ketiga adalah orang yang mendapat hukuman qishas –lantaran melakukan pembunuhan dengan sengaja,– keempat adalah orang kafir yang memerangi Islam (kafir harbiy). Dan kelima adalah penyamun maupun perompak yang menentang ketentuan pemimpin adil serta menyebabkan kerusakan di wilayah kekuasaan Islam dengan meneror, membunuh dan merampok.
Namun bentuk pembunuhan yang dilegalkan dalam Islam di atas (qatlu-l-haq) tidak serta-merta semua orang bisa melakukannya, di sana terdapat beberapa aturan dan prosedur yang harus dipenuhi sebelum melakukan eksekusi tersebut, dan pemimpin tertinggi (imam/presiden) adalah orang yang memiliki otoritas terhadap keputusan hukuman tersebut, bukan pimpinan Ormas maupun ketua Partai tertentu.
Dengan demikian tidak ada sama sekali landasan dalil yang membolehkan seseorang untuk meneror dan membunuh manusia seenaknya. Tidak pernah ditemukan dalam kamus besar syariat Islam istilah “Delusion of Grandeur” di mana seseorang seolah mendapat ‘titah Tuhan’ lalu semaunya menghukum manusia. Hanya orang yang belum pernah membaca surat at-Taubah yang mengatakan bahwa bom bunuh diri seperti di atas adalah ‘Jihad fi sabilillah’.
Maka perlu kita pahami kembali bahwa Jihad sebenarnya upaya defensif yang ditujukan untuk melindungi agama dari segala serangan musuh. Dan menjaga kelanggengan agama Islam (hifdzu al-din) merupakan salah satu landasan terpenting dari tujuan syariat (maqashid syariah) itu sendiri. Pun Jihad tidak serta-merta main “tebas-liar”, artinya; di sana terdapat larangan yang tidak boleh dilanggar oleh para mujahid ketika berperang; seperti membunuh anak kecil, wanita, orang tua atau rahib. Oleh karenanya, Jihad menjadi wajib tatkala musuh telah memasuki wilayah umat Islam dan melakukan segala bentuk serangan serta perusakan, persis apa yang tengah terjadi sekarang di Palestina.
Sebagaimana telah maklum, bahwa Palestina adalah tanah para Nabi, tanah suci umat Islam yang di dalamnya terdapat Masjid al-Aqsha kiblat pertama umat Islam. Bahkan dalam perjalanan Isra’-Mi’raj Rasulullah Saw. sempat menjadi imam shalat para utusan Allah di masjid ini. Namun kini al-Aqsha tengah digenggam Zionis, dan jelas ini merupakan bentuk serangan terhadap Islam yang nyata. Pembebasan al-Quds Inilah lahan Jihad yang seharusnya menjadi sasaran bagi para pendakwa Jihad, bukan malah di stasiun kereta maupun di tempat pariwisata.
Mungkin para teroris itu perlu banyak baca koran agar up-date berita bahwa lahan Jihad ternyata masih luas dan Palestina masih butuh bantuan, mungkin para bomber itu juga perlu bergabung dengan Hamas agar hobi mereka dalam merakit dan meledakkan bom itu dapat tersalurkan dengan benar; setidaknya dapat meledakkan kamp-kamp pertahanan Israel saja mereka sudah layak dibilang sebagai Jagoan. Namun sayangnya, mereka malah lebih memilih JW. Marriot dan Ritz-Carlton. Entah mereka tidak paham arti Jihad, entah mereka hanya boneka yang diperalat oleh sebuah sindikat rahasia, atau mereka tidak punya ongkos untuk pergi ke Palestina, Wallahu A’lam bi-s-Shawab. Yang jelas, tindakan seperti itu bukanlah ajaran Islam, melainkan ajaran Ya’juj-Ma’juj yang penuh kebencian dan kekerasan.
Oleh:
MS. Yusuf al-Amien
Mahasiswa Tingkat Akhir Program Licence Universitas Al-Azhar Cairo
YM, FB, FS : [email protected]