Pada masa itu peradaban dunia sangatlah kacau, baik di Barat maupun Timur keadaan umat manusia sungguh memprihatinkan. Di Barat, orang sudah tidak lagi percaya akan Sang Pencipta, mereka hanya memiliki filsafat untuk menyembah akal. Di Timur, kebodohan menyeret mereka untuk menuhankan patung, berhala, bintang api dan mentari. Di jazirah Arab, mereka membunuh bayi perempuan, menganggap wanita bukanlah “manusia”, menjadikan yang lemah sebagai hamba sahaya untuk dijual-belikan dalam komoditi perbudakan.
Itulah gambaran ‘ashru-l-fatrah saat itu. Yaitu masa kealpaan seorang Rasul dari peradaban manusia semenjak terakhir kali Allah menurunkan Nabi Isa ‘alaihissalam. Masa itu adalah saat di mana umat manusia kering akan wahyu Ilahi yang dapat membimbing mereka kepada ajaran yang benar (lih: Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Maidah: 19).
Oleh karena itu, Allah kemudian mengutus seorang Rasul terakhir, Rasul yang membawa risalah akhir zaman untuk seluruh umat manusia, menunjukkan kepada mereka akan hakekat alam semesta. Dialah Muhammad bin Abdullah utusan terakhir yang membawa misi agung untuk mengubah keadaan manusia dari keterpurukan multi-dimensi menuju sebuah kejayaan duniawi-ukhrawi.
Misi Perubahan
Tugas utama Rasulullah Muhammad saw. adalah membawa perubahan global. Mengubah berati memperbaiki, memutihkan yang hitam, menerangi yang gelap, menjadikan yang jahil menjadi mengerti, memberantas yang bathil dan menegakkan yang haq. Persis dengan misi yang dibawa oleh para Rasul sebelumnya. Hanya saja, Muhammad saw. adalah Rasul Universal (rahmah li-l-‘alamin) dan bukan parsial, itu artinya tugas yang ia bawa lebih besar dan sangat berat.
Oleh karena itu dalam mengemban misinya, Rasulullah selalu dibimbing wahyu dari langit tentang di mana, kapan dan bagaimana caranya perubahan itu dibumikan.
Aspek Realitas
Dalam membawa perubahan di zaman yang serba amburadul itu, Rasulullah dituntut untuk dapat membaca kondisi sosio-kultural umatnya, sehingga ia dapat menyusun strategi jitu agar perubahan tersebut berhasil diterapkan.
Contoh kecilnya adalah ketika Rasul membawa misi bahwa minuman keras itu dapat merusak akal, itu berarti miras (khamr) adalah hal yang terlarang (haram), namun realita mengatakan bahwa minuman keras merupakan hal yang telah mendarah-daging bagi bangsa Arab saat itu, maka sebuah hal yang sangat amat susah sekali untuk mengubah adat mereka dari yang alkoholik hingga tiba-tiba insyaf dan meninggalkan miras.
Dari observasi realita di lapangan ini, maka siasat tercerdas untuk mengharamkan khamr adalah dengan melalui proses yang bertahap. Maka turunlah pada tahap pertama ayat an-Nahl: 67 yang mengatakan bahwa khamr itu berasal dari sari-pati buah Anggur dan Kurma yang dapat diambil darinya kebaikan dan dapat diambil juga madharat (karena dapat memabukkan), lalu selanjutnya turun ayat al-Baqarah: 219 yang mengatakan bahwa khamr itu ada manfaatnya, akan tetapi madharat-nya lebih banyak. Selanjutnya Allah menurunkan ayat an-Nisa: 43 yang melarang seseorang untuk shalat dalam keadaan mabuk. hingga pada akhirnya secara eksplisit dan tegas Allah mengharamkan khamr yang dapat merusak akal pikiran dan merupakan pekerjaan setan yang terkutuk (al-Maidah: 90-91).
Pengharaman khamr adalah salah satu dari sekian banyak pensyariatan yang dilakukan secara gradual dan melalui transmisi bertahap. Bahkan Al-Qur’an sebagai pedoman dan kumpulan risalah Islam juga turun secara berangsur dalam masa 23 tahun (lih: Tafsir Ibnu Katsir: al-Isra’ 106) . Ayat-ayat Al-Qur’an juga turun sesuai dengan konteks kejadian (asbab nuzul) agar lebih “terasa membekas” dan dapat diterapkan secara istiqamah (QS. al-Furqan: 32).
Aspek Prioritas
Sudah barang pasti, Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. adalah sebuah risalah perubahan yang terhimpun dari norma-norma yang dapat mengentas manusia dari kebobrokan menuju perbaikan. Menyembah berhala adalah sebuah ‘kebobrokan’. Dengan demikian hal tersebut harus dihilangkan sehingga menuju ‘perbaikan’ yaitu menyembah Dzat Yang Maha Pencipta.
Ajaran Tauhid inilah yang paling fundamental dan lebih prioritas dibanding kewajiban ibadah lainnya. Oleh karenanya, selama 13 tahun Rasulullah berada di Makkah, hanya Tauhid-lah yang terus menerus didakwahkan kepada masyarakat Arab yang saat itu masih menyembah laata dan ‘uzza –tanpa satu pun menghancurkan berhala mereka.– Sedangkan konsep muamalat, hudud, qishas, jihad dan syariat lainnya –yang juga merupakan ajaran Islam– datang di kemudian hari pasca Hijrah ke Madinah.
Telaah Prioritas muncul ketika adanya suhu pertentangan dalam sebuah kasus, yaitu ketika situasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya dua hal secara bersamaan, atau ketika sesuatu belum dapat diterapkan secara sempurna. Oleh karenanya, akidah Tauhid lebih dikedepankan karena tidak mungkin saat itu juga masyarakat diwajibkan untuk shalat, puasa, zakat maupun haji –meskipun syariat tersebut telah terdapat dalam millah Ibrahim.– Lebih baik mereka cukup bertauhid kepada Allah dulu daripada menyembah ‘uzair, lebih baik mereka bersyahadat dulu daripada tidak sama sekali. Singkat kata, “better one than zero”.
Tangga-Tangga Perubahan
Perubahan memang harus melalui fase-fase bertingkat, fase yang dilalui tersebut tentu tidak bisa lepas dari analisa lapangan untuk memahami aspek Realitas dan Priorotas. Jika kita pikir, adakah yang menghalangi Allah dengan Kemahakuasaan-Nya untuk menurunkan Al-Qur’an sekali tempo lengkap dengan segala syariat yang kontan harus ditunaikan oleh hamba-Nya? Kenapa pula Allah menciptakan alam semesta dalam 6 masa padahal Ia mampu menciptakannya hanya dengan sekali “Kun!”? Jawabannya adalah; bahwa itu semua merupakan Sunatullah yang harus kita ambil i’tibar dalam hidup kita.
Oleh karenanya, manusia diberikan karunia termulia berupa akal tidak lain agar manusia dapat berpikir, menganalisa, mentadaburi, hingga kemudian menghasilkan pemikiran yang sehat lalu barulah berbuat.
Penulis jadi teringat kembali akan fatwa MUI tentang haramnya Golput. Pertama kali mendengar, penulis sempat terhenyak kaget; kenapa haram? Darimana kesimpulan ini dapat dihasilkan? Akan tetapi di sisi lain, secara nalar sehat para ulama itu adalah fakih yang jauh lebih mengenal dan faham betul tentang apa itu syariat islam, konsep sebuah daulah, sistem demokrasi, hingga kriteria ideal seorang pemimpin. Jadi, fatwa MUI-nya yang salah atau saya-nya yang belum tahu?
Namun belakangan hari penulis mulai mengerti, bahwa MUI ternyata memiliki pandangan futuristik dengan melakukan tinjauan Aspek Realitas dan Prioritas masyarakat Indonesia.
Penulis mensinyalir bahwa MUI tengah membuat skenario Misi Perubahan yang besar dan Fatwa itu hanyalah sebuah episode pertama dari rentetan episode bersambung lainnya yang mungkin belum ditayangkan.
Realitanya, Indonesia adalah negara republik yang menganut sistem demokrasi dengan pemilu sebagai cara untuk memilih pemimpin. Persis dengan bangsa Arab jahiliyah yang saat itu terlanjur kecanduan khamr. Prioritasnya, lebih baik negeri ini memiliki pemimpin daripada harus menganut sistem anarki (tanpa pemimpin) yang mafsadat (kerusakannya) jauh lebih parah. Lebih baik mengangkat pemimpin yang adil daripada yang kurang adil, atau lebih baik yang agak baik daripada yang tidak baik sama sekali. Singkat kata, “tiada rotan akar pun jadi”.
Dengan demikian “Haram Golput” sebenarnya memiliki arti “Wajib Memilih”. Memilih siapa? Tentu memilih lebih yang baik, bertakwa dan memperjuangkan syariat, atau setidaknya menuju titik ideal tersebut. Karena tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia semuanya orang fasik. Walaupun minimal, tentu di sana masih terdapat orang-orang yang memegang teguh kebenaran dan mereka wajib dijadikan pemimpin.
Atau jika saja secara subyektif kita menilai semua orang adalah fasik, tiada calon pemimpin yang adil, maka saat itu pula kita harus berani bertanggungjawab atas tuduhan tersebut dengan menawarkan alternatif dan mengajukan seorang pemimpin yang tidak fasik. Karena kalau hanya dapat menyalahkan tanpa dapat memberi perbaikan tentu bukanlah sebuah solusi. Hanya dapat berteori tapi tidak mampu beraksi sama juga bohong. Maka tidak perlu mendakwa perubahan jika harus melangkahi Sunatullah apalagi sampai menyalah-nyalahkan Ulama’, na’udzubillah.
Dalam hal ini pula MUI sebenarnya telah berusaha untuk memberikan sebuah solusi dengan menciptakan Episode-episode perubahan yang berawal dari “Wajib Memilih” pemimpin ideal. Episode selanjutnya mungkin DPR akan didominasi oleh para wakil rakyat yang faham agama –lantaran hasil pemilihan sebelumnya,– hingga secara lambat-laun syariat Islam dapat diterjemahkan dalam Undang-undang, demokrasi kian terkikis, dan ending-nya Daulah Islamiyyah pun akan kembali terlahir sebagaimana dulu pada masa Khulafa Rasyidin. Agak bermimpi memang, namun inilah harapan logis.
Tapi terkadang kita sebagai “penonton” kurang sabaran dan maunya langsung menuju episode terakhir, maunya langsung menuju lantai sepuluh tanpa meniti dari lantai satu, maunya instant dan simsalabim! semuanya berubah. Sehingga ketika stasiun televisi baru menayangkan episode pertama, kita buru-buru menyalahkan sutradara akan alur-ceritanya yang terkesan janggal itu.
Di lain sisi, terkadang kita juga merasa pesimis, dengan keadaan yang sedemikian rupa, apakah episode terakhir itu hanya akan datang kelak ketika munculnya Imam Mahdi? Ataukah happy-ending itu baru akan tiba nanti ketika turunnya Nabi Isa? Wallahu a’lam, sebagai manusia kita hanya diperintahkan untuk berpikir dan berbuat, Allah jua-lah yang menentukan.
Profil Penulis :
MS. Yusuf al-Amien; Alumnus KMI Gontor, kini aktif di Misr Mahrousa Foundation di samping statusnya sebagai mahasiswa yang tengah menyelesaikan program Licence konsentrasi Hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo. YM, FB, FS : [email protected]