Majelis Ulama Indonesia, melalui sidang pleno Ijtima ulama se-Indonesia III di Padangpanjang, Ahad (25/1), mengeluarkan beberapa fatwa. Diantaranya, aturan tentang golongan putih (golput), rokok, aborsi, dan yoga.
Dari sejumlah fatwa yang dikeluarkan, fatwa haram bagi masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilih atau golput, menjadi bahan diskusi hangat di masyarakat. Fatwa ini turut mengundang kontroversi. Banyak kalangan dan pakar ikut menilai, fatwa haram cenderung tidak memiliki relevansi untuk menekan angka golput di Tanah Air. Alasannya beragam.
Isi fatwa MUI mengenai golput adalah wajib memilih wakil rakyat yang ideal dan haram memilih pemimpin yang tidak ideal. Tentu, penilaian ideal ini masih berada pada titik relatif. Artinya, satu sosok yang dinilai ideal oleh satu kelompok, belum tentu ideal bagi kelompok lain, dan seterusnya.
Dari sumber di sejumlah media massa cenderung menilai fatwa MUI tentang diharamkannya golput tidak tepat. Telaah ini muncul karena golput lebih berkaitan dengan demokrasi. Sedangkan urusan memilih atau tidak adalah urusan manusia dengan Sang Khalik.
Sebaliknya, tidak digunakannya hak untuk memilih bukan berarti masyarakat tidak menyepakati peraturan pemerintah. Saat ini ada kecenderungan degradasi kepercayaan terhadap partai peserta pemilu. Sebagian besar masyarakat sudah apatis karena jenuh dengan janji-janji partai politik yang minim realisasi. Ini pula yang menjadi faktor pemicu angka golput tetap saja tinggi.
Mari simak prediksi angka golput pada pemilu mendatang. Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latif, pernah memperkirakan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu tahun ini akan meningkat hingga 40 persen. Sedangkan pada pemilu 2004 lalu, jumlah golput tidak lebih dari 25 persen.
Survei yang memiliki prosentase responden sebanyak 55 persen di pedesaan dan 45 persen di perkotaan, tersebar di 33 provinsi. Hampir setiap ajang pemilihan, jumlah, sikap, dan perilaku golput selalu menarik diperbincangkan. Termasuk, alasan, penyebab, dan cara untuk menekan angka golput.
Alasan golput lebih bersumber pada kekecewaan kolektif atau masyarakat tertentu terhadap partai politik yang tidak menunaikan amanahnya. Dari survei yang ada, menunjukkan masyarakat tidak lagi peduli pada persoalan politik, termasuk memenuhi kewajibannya untuk memberikan suara. Sementara pendidikan politik bagi masyarakat dinilai masih lemah.
Situasi ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang kian tidak mempercayai kinerja pemerintah. Kongkritnya, masih belum ada perbaikan yang cukup signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Implikasinya, calon pemilih enggan untuk aktif dan berpartisipasi dalam pemilu.
Apalagi banyak bukti menunjukkan janji yang digelontarkan saat kampanye, hanya berlaku di panggung. Setelah partai atau kandidat itu terpilih, selalu ada alasan yang dipakai untuk menepis kedustaannya. Pada waktu bersamaan, ketika satu janji sudah terealisasi, ada yang mengklaim keberhasilannya dengan cara hiperbola.
Klaim keberhasilan [semu] diiklakan di sejumlah media hingga menghamburkan anggaran yang sejatinya dapat digunakan untuk merealisasikan janji-janji lainnya. Ironinya, program yang diklaim sebagai janji yang terealisir, masih jauh dari harapan masyarakat. Fakta ini bisa disaksikan melalui tayangan pariwara di televisi maupun media cetak, dan media promosi lainnya.
Sementara pencitraan positif terhadap salah satu partai atau kandidat tertentu, ikut-ikut hiperbolis. Lucunya, ada program dan janji yang diusung justru kurang menggambarkan dengan konteks kekinian dan substansi yang dibutuhkan masyarakat.
Faktor-faktor non teknis seperti disebutkan di atas, dapat berpotensi menjadi bumerang bagi partai maupun para kandidat. Alih-alih menekan angka golput, untuk mendengar janji yang disampaikan saja, masyarakat sudah tutup mata dan telinga.
Kalau kita runut, penyebab angka golput tinggi bisa bersumber dari faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis itu sedikitnya disebabkan empat hal. Misalnya, seseorang yang terdaftar sebagai pemilih namun tidak bersedia memilih dengan alasan apatis. Bisa juga karena minimnya sosialisasi.
Kedua, adanya kesalahan dalam pendataan daftar pemilih tetap. Kesalahan DPT ini sering ditemui. Contoh, banyaknya jumlah pemilih ganda. Terkesan masyarakat benar-benar apatis, namun bisa saja lantaran terganjal masalah administrasi mengakibatkan hilangnya hak pilih seseorang yang ingin memberikan suaranya.
Hal ketiga yang menyebabkan golput tinggi, bisa jadi karena adanya kecurangan penghitungan suara yang dilakukan oknum petugas penyelenggara pemilu. Kasus ini pun, mudah ditemui. Modusnya bisa ancaman, hadiah menggiurkan dari salah satu kandidat, dan lain sebagainya. Keempat, ada pemilih yang terhapus dari daftar DPT.
Sedangkan penyebab angka golput tinggi yang dipengaruhi faktor non teknis, lebih disebabkan karena apatisme masyarakat yang telah kecewa dan belum adanya program partai yang dinilai kreatif. Untuk menekan angka golput, empat hal teknis ini selaiknya dapat menjadi catatan pihak terkait. Terutama bagi para panitia penyelenggara pemilu.
Jika dikomparasikan antara faktor teknis atau non teknis, secara empirik faktor non teknislah yang memberi pengaruh besar dan menyebabkan tingginya angka golput. Pada saat yang sama, untuk mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat [pemilih] tidak mudah dilakukan. Hal ini juga dibutuhkan waktu yang cukup panjang.
Laiknya simalakama. Ada paradoks yang muncul menjelang masa pemilihan berlangsung. Kepercayaan masyarakat benar-benar menurun drastis, sementara janji-janji manis partai kerap dilontarkan hingga pada titik tertentu kembali menyebabkan kepercayaan calon pemilih anjlok. Saat partai turun ke bawah dan menyerap aspirasi masyarakat, langkah ini hanya dilakukan insidentil, tidak terencana dengan matang.
Terlepas dari itu, kita tidak boleh bersikap pesimistis. Kendati fatwa MUI dinilai kurang memiliki relevansi, namun cara ini harus diapreasiasi. Lebih dari itu, partai peserta pemilu wajib melakukan manuver-manuver efektif, dinamis, dan lompatan tinggi agar mampu mengembalikan animo pemilih.
Misalnya, menentukan grand design program kekinian yang dilakukan secara periodik. Penguatan perekonomian dan pasar domestik, salah satunya. Resesi global yang mendera sebagian besar negara Eropa, tentu akan berdampak bagi Indonesia. Antisipasi, prediksi, serta evaluasi harus mampu dilakukan secara tepat dan berkala.
Bukan mengedepankan program temporary tanpa arah dan tanpa target yang jelas. Jangan menghamburkan anggaran demi membuai masyarakat sesaat. Pelaksanaan dan pengawalan grand design ini pun, harus jelas. Kalau perlu melibatkan faktor eksternal partai dengan komitmen segala risiko. Sebut saja risiko mengundurkan diri secara berani.
Faktanya, kendati banyak lembaran kontrak politik telah dibuat, keberanian mengundurkan diri ketika gagal merealisasikan janji belum menjadi budaya elit politik kita. Mungkin, tidak berlebihan jika keberanian secara sportif dan jantan ini harus mulai digalakkan hingga menjadi salah satu kultur politik di negeri ini.
Manuver lain yang bisa dilakukan, misalnya, dengan menawarkan langkah alternatif bagi kemajuan peradaban modern. Selama ini bangsa kita hampir kehilangan arah. Elit politik lebih mementingkan kepentingan individu atau kelompoknya. Lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban. Lagi-lagi survei memprediksikan golput masih tinggi.
Atau mungkin manuver lain dengan menghentikan aliran APBN yang selama ini digunakan untuk membantu partai. Kita mafhum, suntikan APBN ke dalam tubuh partai secara tidak langsung berpotensi meningkatkan ghirah kelompok tertentu untuk membuat partai. Mendirikan partai baru seperti mengganyang proyek besar dengan keuntungan berlipat.
Seandainya subsidi itu distop dan kebesaran sebuah partai wajib melalui anggaran kas iternal dari anggotanya, tentu oknum penggeliat partai akan berpikir seribu kali saat ingin mendirikan dan membesarkan partai. Sebaliknya, para anggota partai yang mendirikan dengan dana internal rutin pun, pasti lebih bersungguh-sungguh bekerja. Tidak mengejar ’kue’ politik. Ikhlas, hanya demi kemajuan bangsa.
Tidak ada lagi jual nama atas kesengsaraan rakyat. Tidak ada lagi pembengkakan jumlah partai peserta pemilu. Pada akhirnya partai peserta pemilu mendatang dapat mengerucut sehingga kita lebih mudah menilai kinerja dan kontribusi nyata partai yang ada. Jika hal ini bisa terbukti, penurunan angka golput akan bergerak linier dengan kepercayaan masyarakat terhadap hasil kerja partai yang bersungguh-sungguh.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah mungkin partai mampu membiayai roda organisasinya dengan kas sendiri. Bisakah subsidi APBN untuk partai peserta pemilu dihapus. Sebelum semua ini terjawab, kembali pada pertanyaan mendasar. Yaitu, apakah dengan fatwa MUI tentang golput ini, dapat mendongkrak jumlah pemilih dan menekan golput? Bisa ya dan bisa tidak.
Ya, manakala fatwa itu didukung seluruh masyarakat. Terutama warga Muslim yang menjadi mayoritas. Langkah ini akan lebih mulus lagi dengan adanya sikap parpol peserta pemilu yang memiliki perubahan fundamental. Melakukan manuver efektif, dinamis, dan loncatan tinggi.
Namun, fatwa ini akan tidak bernilai apa-apa jika masyarakat tetap tidak memandang langkah MUI. Apalagi, partai peserta pemilu tak pula menunjukkan tanda-tanda perubahan yang dapat menstimulus kepercayaan calon pemilih. Jika ini yang terjadi, maka teramat sulit mengembalikan kepercayaan calon pemilih. Penurunan angka golput hanya sebuah utopis dan berkamuflase menjadi mimpi-mimpi yang selalu hadir di tengah kehidupan masyarakat.
Sementara keluarnya fatwa ini secara tidak langsung turut menjadi barometer kredibilitas MUI di masa mendatang. Apakah fatwa berikutnya dapat diikuti dan diteladani atau sebaliknya. Wallahu a’lam
————–
Profil Penulis :
R. Rudi Agung P (rap)
Pernah berkecimpung menjadi jurnalis di harian nasional, Jakarta. Saat ini diamanahkan sebagai pimred Buletin Korma, Jakarta dan sedang menekuni dunia bisnis. Saran, kritik, silaturahim, diskusi, bisnis, bisa dialamatkan ke; [email protected]
Atau bisa kunjungi www.klikrudi.blogspot.com