Dalam film “?” (tanda tanya) karya sutradara Hanung Bramantyo, isu pluralisme kembali diangkat (dan dipermalahkan).
Adian Husaini mengomentari bahwa film ini terlalu vulgar dalam menampilkan atau mendakwahkan isu pluralisme.
“Pembelaan” terhadap orang murtad, mereduksi secara ekstrem makna kafir, dan lain sebagainya, merupakan sebuah ide yang meremehkan konsep konsep dasar islam dengan menganggap bahwa hal hal seperti itu sesuatu yang sepele.
Hanung yang sempat menuai protes setelah menyutradarai “Perempuan Berkalung Sorban”, kembali dipermasalahkan oleh beberapa pihak yang tersengat dengan film baru yang disutradainya tersebut.
Dalam memutuskan fatwa mengenai haramnya pluralisme agama, MUI menyatakan bahwa pluralisme agama adalah, “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya setiap agama adalah relative. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surge”.
Jadi, pluralisme agama bukanlah sebua bentuk toleransi dalam beragama. Pluralisme agama mereduksi nilai nilai keagamaan yang telah mapan, menjadi nilai nilai baru yang relative, yang bergantung kepada waktu dan tempat dimana nilai nilai baru itu dibuat.
Salah satu tokoh yang dianggap sebagai seorang nabi bagi kaum pluralis adalah John Hick. Konsep pluralisme yang berkembang saat ini, sebagian besar (jika memang tidak semuanya) dipengaruhi oleh pemikiran Jhon Hick mengenai pluralisme agama, sehingga Anis Malik Toha menyatakan “Kurang lengkap jika membahas mengenai pluralisme agama tanpa membahas pemikiran John Hick”.
Menurut John Hick, pluralisme agama adalah, “ Pandangan bahwa agama agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.”.
John Hick juga menyatakan diantara prinsip pluralisme yaitu bahwa agama agama lain adalah sama sama benar menujur kebenaran yang sama. (Makalah, Muhammad Nurdin Salim, Telaah Kritis Pluralisme Agama)
John Hick mengambil pemisalan seperti matahari dan planet planet, dia menyatakan bahwa Kristen dan agama agama lainnya “mengelilingi” tuhan, seperti planet planet mengelilingi matahari. Dia menyarakan agar berpindah dari sentralitas agama, menjadi sentralitas tuhan dan menegaskan bahwa Kristen bukanlah agama yang paling benar, agama Kristen belum tentu lebih baik dari agama lain, begitu juga, agama dan kepercayaan lain belum tentu lebih buruk dari ke Kristenan.
Mengenai perjalanan intelekual John Hick dalam merumuskan konsep pluralisme agamanya, Adian Husaini menyatakan bahwa “Perjalanan intelektual John Hick, menunjukkan bahwa dengan paham ini ia telah menghancurkan paham paham ideologi Kristen”. Hick mengkritisi nilai nilai esensial pada kekristenan dengan menegaskan bahwa Yesus tidak pernah mengajarkan bahwa dia adalah inkarnasi Tuhan, adalah mustahil melacak perkembangan doktrin inkarnasi dalam bible yang sebenarnya dirumuskan dalam Konsili Nicea dan Chalcedon, bahasa yang digunakan bible dalam “inkarnasi ketuhanan” adalah bersifat metaforis, bukan literal. Hick juga menyatakan bahwa doktrin Trinitas bukanlah bagian dari ajaran Yesus tentang Tuhan. Yesus sendiri, katanya, mengajarkan Tuhan dalam persepsi monoteistikYahudi ketika itu. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hlm 343).
Aspek significant dari argument argument Hick adalah menolak klaim kebenaran absolut atau sikap ekslufis agama Kristen yang menyatakan bahwa walaupun setiap agama mengandung aspek ketuhanan dan kebenaran, namun keselamatan hanya ada pada Yesus kristus. Dan kebenaran absolut Tuhan hanya terdapat pada kekristenan.
Hick-lah orang yang menandaskan bahwa perbedaan paham keagamaan seseorang, terletak kepada perbedaan kondisi historis dan sosiologis dimana seseorang itu tinggal. Dengan kata lain, Hick menyatakan bahwa, ketika pesan pesan ketuhanan diterima oleh Muhammad maka hasil dari penafsiran itu, yang dipengaruhi oleh konteks historis dan sosiologis budaya arab, menghasilkan sebuah agama yang sekarang dikenal sebagai “islam”.
Ini jelas sangat merusak dan bertentangan dengan konsep dasar agama islam. Nabi Muhammad SAW tidak menerima pesan pesan ketuhanan, tapi wahyu yang berupa firman Allah swt secara nyata dan real, yang langsung disampaikannya kepada para sahabat tanpa ada perubahan dan tambahan atau pengurangan sedikit pun pada wahyu tersebut. Selain itu, budaya arab tidak mempengaruhi agama islam, namun islam lah yang mempengaruhi dan memperbaiki budaya arab.
Konsep pluralisme yang digadang gadangkan oleh para beberapa orang merupakan sebuah bentuk perusakan dasar dasar agama islam yang telah final dan lengkap. Perlu diberi catatan bahwa sebelum “mereka” memberikan argument kesamaan agama agama, terlebih dahulu mereka, secara tidak adil, telah menyamakan semua agama sebagai produk budaya. Sebagai contoh, mereka mengatakan islam adalah produk budaya arab dan segala hukum islam harus dikaji dan ditafsirkan berdasarkan budaya arab, jika ada hukum islam yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, misalnya, maka hukum itu harus diperbaiki dan diperbarui agar sesuai dengan budaya Indonesia.
Dasar pemikiran seperti ini telah bertentangan dan tidak bisa digunakan untuk islam. Islam bukanlah produk sebuah budaya, namun islam hadir untuk membentuk sebuah kebudayaan baru yang sarat nilai nilai kemuliaan. Islam adalah agama wahyu yang langsung dari Allah swt dan bukan dari produk budaya.
Konsep dasar dalam islam sangat jelas, “Tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Nya. Umat islam tidak perlu mencari konsep ini dalam naskah naskah atau document document kuno, atau perkataan perkataan tokoh tokoh “kebatinan” yang lain.
Di tengah tengah umat islam telah ada al Qur’an sebagai pedoman dan penunjuk ke jalan yang lurus. Dengan berpedoman kepada al Qur’an dan penafsirannya yang benar, umat islam mampu mengetahui dan mengenal Rabbnya.
Untuk umat islam Indonesia, MUI telah jelas jelas mengharamkan pluralisme agama, sebuah pemikiran yang, jika coba mengambil kesimpulan dari The Lost Symbol-nya Dan Brown, merupakan salah satu dasar perjuangan kaum Freemasonry untuk membentuk tata dunia baru tanpa “sekat sekat” agama.
Mengenai sikap toleransi, dalam mengomentari film “?” tersebut, Adian Husaini menyatakan bahwa, “Umat islam telah diajarkan mengenai toleransi sejak lama, salah satunya melalui piagam madinah”.
Piagam madinah adalah piagam perjanjian antara kaum muslim dan Yahudi serta non Muslim lainnya di Madinah yang menyatakan bahwa antara mereka terikat perjanjian damai dan tidak mengaggu satu sama lain, serta saling membantu jika madinah diserang musuh. Kaum muslim yang pada waktu itu memiliki kekuatan politik dan militer dibandingkan kaum non-Muslim lainnya di Madinah, menaati perjanjian tersebut sampai kaum Yahudi terlebi dahulu mengkhianatinya.
Maka pembelajaran mengenai toleransi beragama telah diajarkan Rasulullah saw, salah satunya melalui Piagam Madinah, dan umat islam tidak perlu lagi belajar toleransi melalui konsep pluralisme agama.
Pluralisme dan ajaran pluralisme agama bukanlah hal sederhana yang bisa dipermainkan seenaknya. Konsekwensi dari paham ini adalah tereduksinya akidah seorang muslim yang bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, al Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkannya kepada Muhamad SAW dan disampaikannya (Muhammad SAW) kepada para sahabat tanpa penambahan ataupun pengurangan sedikitpun. Akidah tauhid merupakan dasar dari keislaman seseorang, jika dasar ini telah terenggut darinya, maka masih bisakah dia dikatakan sebagai seorang muslim? Wallahu’alam bishawab.
Imanuddin Rahman; Penulis lepas, sekarang tinggal di Beji, Depok..
Email:[email protected]