Menyampaikan sisi buruk dari perselingkuhan. Demikanlah sisi edukatif dari film “paku kuntilanak” yang menjadi kontroversi saat ini setelah berlalu begitu banyak film yang serupa. ‘Misi mulia’yang hendak ditorehkan sang produser ternyata tidak begitu halnya dengan Majelis Ulama Indonesia.
Sudah menjadi hal yang umum bahwa setiap seni itu sarat dengan nilai artistik dan menarik. Seni selalu diidentikkan dengan keindahan. Paradigma sebagaian masyarakat saat ini bahwasanya nilai seni dengan sisi keindahannya, seolah-olah yang hanya dapat memuaskan, sampai di situ.. Tak ayal lagi, pandangan tentang mitos keindahan atau kecantikan secara khusus menjadi hal yang dieksploitir oleh para kapitalis.
Maka berlomba-lombalah para pencari keuntungan mengeruk pemasukan dengan strateginya masing-masing. Hanya saja kerja seni yang dibungkus lewat tayangan saat ini, tidak saja sekedar menyampaikan sebuah informasi tentang suatu nilai mendidik maupun sisi ekonomi yang mereka kejar, tetapi sisipan hiburan atau entertainment dalam penyampaian pesan tersebut justru lebih menonjol dibanding ‘misi mulia’ yang diinginkan. Hampir semua film dibumbui dengan hal-hal yang mistik maupun bernuansa porno.
Hal yang sangat jauh dan bisa jadi tidak berhubungan dengan masalah perselingkuhan yang katanya menjadi nilai yang mendidik tersebut. Nilai itu seolah dipaksakan lebih pada penonjolan tayangan-tayangan yang merusak moral terlebih lagi penggerogotan aqidah penduduk negeri.
Persoalan menjadi semakin rumit manakala sejumlah pendapat yang mengasumsikan bahwa seni saat ini tidak boleh dipandang dengan menggunakan kaca mata agama, agama adalah agama, seni adalah seni, masing-masing memiliki wilayah tersendiri.
Seni tidak boleh berada di ketiak kaum agamis atau diinjak oleh produk budaya maupun agama yang secara sengaja melumatkan harga keindahan, dan sejumlah pendapat ini mengasumsikan bahwa nilai agama berhasil mengukuhkan posisi kaum konservatif membabat daya kreativitas dalam persaingan hidup. Karenanya sejumlah pendapat ini bergeliat mencari status untuk kemudian mendapatkan tempat dalam melunturkan budaya ketimuran.
Pergulatan tersebut hampir dipastikan berkembang seiring dengan pergeseran ideologi yang mewarnai kehidupan umat manusia saat ini. Sudah menjadi rahasia umum jika kehidupan kapitalis nan sekularistik saat ini mendorong umat manusia berpikir tentang pengaturan hidup ada ditangan manusia. Ukuran kebahagiaan ada pada ukuran manusia, diantaranya ukuran tentang kebudayaan itu sendiri.
Sejumlah pendapat yang mengatakan jika kebudayaan terbentur, maka penghalang-penghalang yang ada harus disingkirkan sekalipun itu bernuansa agama. Pergerakan masalah ini menjadi semakin runyam manakala diakomodir oleh sistem kapitalis-sekuler. Paradoks perjuangan mencapai kebebasan berseni. Sementara hampir dalam setiap upaya tersebut justru mengeksploitir perempuan. Mulai dari tayangan yang eksplotiasi sensualitas dan kebertubuhan perempuan sampai legalitas hak-hak berekspresi.
Ada sebuah pesan ulama kita yang mengatakan”al-Ilmu qabla qaul wal ‘amal”. Tidak memahami agama dengan baik justru meruntuhkan segi-segi harmoni bermasyarakat. Semangat seni kita,ukuran dan barometer menilai itu semua bukan berasal dari manusia, sebab jika ukuran itu diserahkan pada manusia maka berpotensi untuk salah, serba lemah, dan dipengaruhi oleh lingkungan dia hidup.
Mengukur kedudukan seni haruslah diletakkan pada yang membuat adanya seniman, dalam hal ini tentu Sang Pencipta dengan produk hukum yang sudah pasti kebenarannya melalui al-Qur’an dan As-Sunnah.Islam memiliki penghargaan terhadap keindahan. Innallaha Jamil yuhibbul jamal,sesunnguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Sekali lagi keindahan yang tidak kebablasan.
Mengenai aktivitas seni, telah ada sebuah buku yang berbicara tentang hal tersebut. Buku yang berjudul Manhaj al-Fanni al-Islami karangan Muhammad Quthb. Bahwa kegiatan seni secara umum, yaitu ekspresi kemanusiaan mengenai gambaran-gambaran manusia, pengalaman dan jawaban-jawabannya, juga tentang gambaran eksistensi dan kehidupan di dalam jiwa manusia.
Semua ini, di dalam jiwa muslim, dihukumi –bahkan juga ditumbuhkembangkan- oleh pandangan Islami dengan cakupan segala dimensinya, alam semesta, jiwa, dan kehidupan, serta hubungannya dengan Pencipta alam semesta,jiwa, dan kehidupan ini. Dengan pandangan khas akan hakikat manusia ini, posisinya terhadap alan semesta, tujuan keberadaaannya, tugas dan nilai kehidupannya, semuanya terkandung di dalam pandangan Islam, yang bukan sekadar pandang pemikiran, tetapi pandangan keyakinan yang hidup, menghidupkan, dan mempengaruhi secara efektif, mendorong dan meliputi segala pancaran di dalam hakikat manusia.
Bukan malah penjajahan atas nama seni yang merangsek keseluruh dunia dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan tatanan masyarakat. Walhasil dalam ranah ini perempuan muncullah berbagai persoalan kemudian. Pelecehan seksual, prostitusi, sampai pada perselingkuhan yang katanya mejadi ‘misi mulia’. Akibat kehidupan sekuler, atas nama kebebasan kebertubuhan perempuan eksploitasi dan eksplorasi menjadi hal yang wajar demi mencapai nilai kebahagiaan yang notabene bersifat materi belaka. Tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi diperjuangkan untuk dilegalkan. Ironi, sangat ironi.
Marzuki Umar, Mahasiswa Ma’had ‘Aly al-Wahdah, Makassar; E-mail : [email protected]