Fenomena kemenangan gerakan Islam (Islamic movement) di pentas politik kerap menjadi sorotan para pengamat Barat dan pengamat muslim sekuler. Salah satu alasan yang sengaja mereka hembuskan adalah bahwa gerakan Islam mempunyai hidden agenda yaitu mendirikan Negara Islam yang berlandaskan ideology Islam. Sehingga meskipun kemenangan gerakan Islam lewat proses demokrasi kerap kali tudingan itu tertuju kepada gerakan Islam sehingga dikalangan para pengamat Barat, sebagaimana dikutip oleh John L. Esposito ada kecurigaan dan kekhawatiran akan terjadinya hijack democracy (pembajakan demokrasi) oleh gerakan Islam yang tampil di kancah politik.
Kemenangan HAMAS dalam proses pemilu, – sebelumnya George W.Bush menyambut positif pemilu tersebut dan menyatakan sebagai pemilu paling demokratis di Timur Tengah – , namun setelah hasil pemilu dimenangkan oleh HAMAS degan serta merta Amerika dan Uni Eropa dan komplotannya ramai-ramai melumpuhkan pemerintahan Haniya dengan cara mengembargo secara ekonomi. Sebelumnya kemenagan FIS di Aljazair juga tidak luput dari penolakan Gedung Putih. Kemenangan partai Refah di Turki di bawah pimpinan Najmudin Erbakan juga hanya seumur jagung. Kemengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki juga tidak luput dari tudingan stigma negative meskipun partai tersebut secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai partai sekuler.
Ketika partai Islam seperti PKS mendapatkan suara yang cukup signfikan, pertanyaan tentang Negara Islampun bertubi-tubi ditujukan kepada para petinggi partai berasaskan Islam tersebut. Kini setelah partai tersebut memutuskan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat dan mengajukan Cawapres kepada presiden SBY, kekhawatiran itupun kembali mencuat ke permukaan khususnya dari kalangan yang sejak awal memang telah mencurigai kemunculan PKS (sebelumnya bernama PK) di ranah politik nasional.
Gerakan Islam dan Demokrasi
Sebagai sistem impor dan produk Barat Western product , Demokrasi memang menuai kontrofersial dikalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam (di sini bukan tempatnya untuk membawakan argumen masing-asing pihak). Kita dihadapkan kepada sebuah fakta bahwa pasca kemerdekaan Negara-negara mayoritas muslim dari imperialisme Barat, sistem demokrasi menjadi yang berlaku di hampir seluruh negara-negara tersebut.
Kaum musliminin dihadapkan kepada pranata-prananata demokrasi seperti pemilihan umum, sistem presidensial dan sitem parlementerial. Sebagian kaum muslimin yang tidak puas dengan sistem ini memilih jalur konfrontasi dan angkat senjata sebagai pilihan untuk mendirikan Negara Islam, sehingga di Indonesia lahirlah NII (Negara Islam Indonesia), DI (Darul Islam) Korto Suwiryo dan gerakan Kahar Muzakkar di Sulawesi. Natsir dengan Masyuminya menempuh jalur yang ‘lebih cerdas’ dalam memahami demokrasi sebagi sarana untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam. Bahkan keberhasilan Natsir sebagai perdana mentri pertama di Indonesia adalah sebuah eksperimen pertama di dunia Islam dimana seorang tokoh yang memperjuangkan cita-cita politik Islam berhasil masuk ke jantung kekuasaan.
Dalam sejarah perjalan sejarah perjuangan kaum muslimin di Indonesia, dua jalan yang berbeda antara aliran yang menempuh jalan ‘demokrasi‘dan jalan ‘jihad‘ sama-sama mempunyai penerus dan pengikut. Sehingga ada kelompok yang mengharamkan ikut serta dalam proses demokrasi dan menempuh jalur ‘jihad.’ Dengan mengusung slogan penegakan Syar’at Islam di bumi Indonesia. Sedangkan mereka yang ikut berpartisipasi dalam proses demokrasi lebih banyak diilhami oleh cita-cita politik yang diperjuangkn oleh M.Natsir dengan Masyuminya dan Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya. Dan ada kelompok lain yang menjadi bagian dari gerakan internasional yaitu Hizbu Tahrir mengusung penegakan kembali Khilafah Islamiyah.
Dalam pandangan tokoh-tokoh gerakan Islam, demokrasi adalah sistem yang bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin meskipun memang diakui sistem ini tidak luput dari kekurangan. Namun membiarkan sistem ini berjalan tanpa keikut sertaan gerakan Islam justru akan melahirkan mudharat yang lebih besar terhadap kepentingan umat. Disamping itu, sistem demokrasi yang berlandaskan segala keputusan kepada suara terbanyak ada kesamaanya dengan sistem Syura dalam Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun yang membedakan ‘suara terbanyak’ dalam Islam dan ‘suara terbanyak’ dalam sistem demokrasi, bahwa dalam Islam ranah Syura adalah ranah Ijtihadiyah; sesuatu yang telah jelas keharamannya seperti zina tidak bisa dihalalkan lewat jalur demokrasi, sebagaimana yang ditegskan oleh para ulama ushul fiqih " la ijtihada ma’an nash." Tidak ada Ijtihad terhadap nash yang sudah qat’i. Dalam masyarakat yang mayoritas muslim, kata Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, mereka tidak akan menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan, dan inilah yang membedakan demokrasi di dunia Islam dengan demokrasi di Barat. Menurut Abul A’la Almawdudi, pendiri Jama’at Islami di Pakistan, tidak ada jalan lain untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam kecuali kaum muslimin harus tampil dengan memanfaatkan proses demokrasi, seperti pemilihan umum. ‘ There is no other way in a democratic system except to participate in the battle of elections, that is by educating the public opinion in the country and changing the people’s standard in electing their representative … by doing so, we would be in a position to hand power to righteous men, who are eager to develop the country in the pure basis of Islam.’ .
Syeikh Abdul Aziz bin Baz ulama kharismatik di Saudi Arabia yang semasa hidupnya pernah menjadi mufti Saudi Arabia dalam sebuah wawancara dengan majalah Al-Jusur yang terbit di Saudi Arabia edisi 6 Dzul Qa’dah 1424 H. : membolehkan kaum muslimin ikut berpartisipasi dalam pemerintahan yang tidak berlandaskan Islam selama niat mereka untuk memperbaiki Negara dan menyampaikan messege atau dakwah Islamiyah. Syeikh Al-‘Usaimin yang juga salah seorang ulama dari Saudi Arabia dengan tegas lagi mengatakan bahwa tidak boleh membiarkan parlemen diisi oleh orang-orang fasik dan sekuler.
Kaum sekuler selalu berusaha agar gerakan Islam tidak memasuki ranah pemerintahan dan kekuasaan karena dengan demikian mereka akan lebih leluasa menyuarakan cita-cita sekuler mereka. Sehingga dihembuskanlah pandangan-pandangan yang menyesatkan umat seperti bahwa Islam hanya agama yang tidak ada kaitannya dengan politik dan Negara. Mereka ingin ‘memenjarakan’ Islam hanya sebatas dinding masjid yang tidak bisa keluar. Dan ironisnya tidak sedikit kaum muslimin yang terbawa arus menyesatkan ini ikut menuding partai yang mengusung cita-cita dakwah dan politik Islam hanya sekedar memburu kekuasaan. Padahal dalam Islam meraih kekuasaan bukanlah tindakan yang menyalahi syari’at yang penting jalannya adalah dengan jalan terhormat.
Bentuk Negara Yang Dicita-citakan
Setelah gerakan Islam tampil di kancah politik dan mendapat popularitas signifikan dari masyarakat maka muncullah pertanyaan-pertanyaan yang bernada curiga dari mereka yang tidak menghendaki tampilnya gerakan Islam. Pertanyaan yang kerap muncul adalah Negara bagaimanakah yang dikehendaki oleh gerakan Islam? Agenda mendirikan Negara Islam kerap dianggap sebagai ‘hiden agenda’ dari gerakan Islam. Kurangnya pemahaman tentang agenda-agenda politik Islam melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang salah kaprah terhadap agenda politik gerakan Islam. Wajah thaliban di Afghanistan kerap dijadikan oleh media Barat sebagai wajah gerakan Islam jika bekuasa. Padahal tokoh-tokoh dan inspirator gerakan Islam mengkritik tindakan thaliban yang justru banyak mencoreng citra Islam.
Menela’ah platform dan agenda-agenda politik gerakan Islam di dunia Islam serta pernyataan dan tulisan-tulisan tokoh dan inspirator gerakan Islam termasuk di Indonesia, kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa mendirikan Negara Islam sama sekali bukan agenda utama mereka. Tema utama mereka adalah Al-Islam huwal hal atau Islam is the solution. Solusi Islam terhadap segala permasalahan bangsa yang mencangkup politik, sosial dan ekonomi. Bagi gerakan Islam mewujudkan pemerintahan yang bersih jauh dari korupsi, mensejahterakan rakyat (prosperity), mempertahankan integritas bangsa dan Negara, menegakkan supermasi hukum, proesional, mendukung segala proses demokratisasi di dunia Islam adalah agenda-agenda yang mendesak untuk diwujudkan. Agenda-agenda tersebut adalah sebuah nilai-nilai universal yang diterima oleh seluruh komponen bangsa.
Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, salah seorang tokoh yang karya-karya ikut mengilhami gerakan Islam kontemporer dalam karyanya Fiqhud Dawlah mengatakan bahwa Negara yang dikehendaki oleh Islam adalah Negara yang belandaskan sipil bukan "Negara teokrasi" atau "Negara kaum agamawan" yang selama ini dituduhkan oleh media-media Barat. Hal senada ditegaskan oleh Abdul Mun’im Abdul Fatuh, salah seorang tokoh dan anggota Maktab Irsyad Ikhwanul Muslimin di Mesir, dalam wawancara dengan islamonline (14/12/2005) beliau menegaskan bahwa definisi kontemporer tentang Negara Islam adalah Negara yang dihuni oleh mayoritas kaum muslimin. Negara sipil (madani) yang dikelola oleh orang-orang yang profesonal, bukan Negara teokrasi yang dikelola oleh kaum agamawan.
Lebih lanjut, beliau mengutip ungkapan Muhammad Mahdi ‘Akif, mursyid ‘am (pimpinan) Ikhwanul Muslimin bahwa negara yang dicita-citakan adalah negara sipil yang berlandaskan kepada kebebasan (hurriyah) dan demokrasi, memberikan hak kepada warga negara untuk membentuk partai poltik. Negara Islam, lanjut Abdul Mun’im Abdul Fatuh adalah Negara yang menerapkan pembagian kekuasaan (check and balance) antara eksekutif, legilatif dan yudikatif. Bahkan sistem pembagian kekuasaan ini, menurut beliau telah diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab.
Negara yang dikehendaki oleh Islam, menurut Syeikh Qaradhawi adalah Negara yang berlandaskan kepada mufakat dan musyawarah bukan Negara kerajaan. Negara yang dibangun berdasarkan berbagai prinsip demokrasi yang baik, tetapi berbeda dengan demokrasi Barat , persamaan antara keduanya adalah keharusan rakyat memilih kepala Negara, rakyat tidak boleh dipaksa untuk memilih pemimpin mereka, seorang kepala Negara bertanggung jawab di hadapan wakil-wakil rakyat. Bahkan para wakil rakyat tersebut, menurut Syeikh Qaradhawi berhak memecat (impeachment) bila sang pemimpin melakukan hal-halyang inskonstitusional.
Dalam menegakkan cita-cita tersebut gerakan Islam harus bersama-sama dengan pihak lain yang bisa saja berbeda secara ideology partai, dalam membangun Negara. Maka koalisi setrategis (at-Tahâluf as-Siyasi) dalam membangun bangsa dan Negara adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Dan perlu digaris bawahi bahwa tidak ada nash syari’at yang melarang kaum muslimin untuk bersama-sama golongan lain yang berbeda agama dalam membangun Negara.
Bahkan menurut Dr.’Isham al-Basyir, salah seorang tokoh gerakan Islam di Sudan dan sekjen Markaza al-‘Alami lil washatiyah, mengatakan bahwa ulama sepakat bolehnya non muslim menjabat kementrian, kecuali tiga pos penting seperti Presiden, karena tugas presiden dalam Negara Islam adalah hurasatud din waddunya, Mahkamah agung dan Pimpinan militer ( Pangab) karena adanya kewajiban jihad yang hanya dibebankan kepada kaum muslimin dalam Negara Islam (Koran harian Al-Harakah, Kuwait 8/01/2007).
Tampilnya gerakan Islam di pentas politik dan ketelibatan mereka dalam proses demokrasi seharusnya disambut positif. Pemerintahan yang otoriter yang menyumbat proses demokratisasi di dunia Islam menurut John L. Espsito, justru hanya akan memicu dan memelihara lahirnya oposisi militan, tindakan-tindakan radikal, instabilitas politik dan munculnya terorisme global, "Autocratic governments may be able to derail or stifle the process of change; however they will merely delay the inevitable. The realities of most Muslim societies and the aspirations of many citizens require greater political liberalization. Failure to do so will continue to contribute to the conditions that foster militant opposition, radicalization, political instability and Global terrorism".
Wallahu A’lam bis Shawab
Profil Penulis :
Mabni Darsi,MA, Alumnus Department of Politics and International Relations, International Islamic University-Islamabad, Pakistan