Kita semua tentu sudah hafal ayat yang sering dikutip oleh para da’i baik melalui mimbar-mimbar masjid, radio, televisi, koran, internet sertai berbagai medai dakwah lainnya tentang tujuan dari syariat puasa. Yaitu firman Allah Swt di dalam surat Al baqarah ayat 183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu BERTAQWA”
Lantas bagaimana sih sebenarnya output akhlak dari takwa itu? Di dalam tulisan ini, penulis ingin menjelaskan dengan perspektif akhlak sosial politik paradigmatik. Sifat-sifat muttaqin (orang bertaqwa) di dalam surat Al Baqarah ayat 183 tersebut, kemudian dijelaskan oleh Al Qur’an dalam bagian yang lain. Yaitu Surat Ali Imran ayat 134 dan 135 :
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan [134]. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. [135]
Ciri-ciri dari akhlak muttaqin menurut dua ayat dari Surat Ali Imran tersebut adalah sifat dermawan, mampu menahan amarah dan emosi, pemaaf, ahli taubat dan mampu menahan diri dari maksiat baik kepada Sang Pencipta maupun kepada sesama manusia. Jika kita telisik secara cermat, dari ayat tersebut kita jumpai bahwa salah satu dimensi sosial dari ibadah puasa sarana menempa akhlak dalam relasi sosial. Dalam konteks politik, akhlak yang dimaksud adalah akhlak antara pemimpin dan rakyat atau konstituennya.
Jika kita perhatikan di sekitar, dengan cerdas di setiap bulan Ramadhan para politikus tak mau ketinggalan momentum untuk melancarkan program politiknya. Mereka keluar menyapa masyarakat melalui ucapan selamat berpuasa dengan menggunakan seribu satu macam media. Bulan Ramadhan dijadikan momen spesial untuk membawa diri dan bendera partai politik. Secara marathon berbagai agenda digelar dengan penyusunan acara sedetil mungkin.
Di sinilah kita melihat bahwa ternyata di bulan Ramadhan, bukan hanya rakyat jelata yang gembira karena pada bulan ini tiba-tiba banyak orang dermawan, tiba-tiba banyak yang memberi sumbangan, tiba-tiba semua menjadi baik. Bulan Ramadhan juga ternyata menjadi momen spesial bagi politikus.
Bagi politikus, Ramadhan juga harus membawa “berkah”. Yaitu untuk popularitas. Konstruksi pencitraan tentu menjadi mainstream dari semua rangkaian agenda yang ditangani langsung oleh Tim Barisan Serbu (Banser) Ramadhan, Tim Safari Ramadhan, Da’i Ramadhan atau sebentuk terminologi yang tidak jauh-jauh dari kosa kata pencitraan.
Tim khusus ini dibekali dengan amunisi, yang sekali lagi berisi satu atau dua laksa sapa hangat dari sang politikus dan parpolnya. Amunisi berupa stiker, baligho, spanduk, jadwal imsakiyah dan dan ragam kreasi lainnya, kadang lebih menonjolkan foto politikus dan logo parpol ketimbang subtansi pesan-pesan Ramadhan yang harusnya diterima oleh masyarakat.
Nyaris tak ada ruang terbuka yang luput dari “serangan” mereka. Ekskalasi “serangan” ini menasional. Dari televisi hingga selebaran berisi jadwal imsakiyah. Terjadi dari Sabang sampai Merauke. Walaupun pemilihan umum masih tiga tahun lagi, tapi dapat kita tangkap pesan bahwa arah mereka adalah upaya pencitraan menjelang pemilu.
Menjadi lebih panas lagi di daerah dalam waktu dekat akan melangsungkan Pemilihan Kepala Daerah. Slogan slogan moral dan berbau agama dimunculkan sesuai dengan atmosfer Ramadhan. Oleh karena itu, jika program Ramadhan mereka tidak kontributif, maka jadilah egoisme eksploitatif ala politikus tersebut hanya mereduksi nilai-nilai Ramadhan yang transenden.
Fenomena tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di negeri yang selalu ramai dengan politik ini. Mulai marak kita saksikan sejak kran demokratisasi terbuka dan membebaskan berbagai cara mencari simpati rakyat yang dinalar oleh logika politik sebagai pemilih.
Dalam perspektif political marketing, tentunya sah-sah saja karena merupakan bagian dari kreatifitas yang cukup inovatif dalam proses komunikasi politik seorang politikus atau parpol.
Namun jika momentum tersebut hanya sekedar latah-latahan, dalam artian tidak kontributif dalam pendewasaan demorkasi bangsa ini, tentu menjadi sia-sia. Jika kita melihat sakralitas Ramadhan sebagai bulan suci, maka besar harapan bahwa aktifitas politik selama sebulan penuh, menjadi titik balik bagi penataan wajah politik bangsa ini.
Saat ini partai politik dan politikus mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat, akibat nilai akhlak politik yang semakin absurd. Berbagai hasil survey memperlihatkan lemahnya kepercayaan publik pada pemerintah akibat menyeruaknya berbagai skandal yang bermuara pada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dari hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI), secara nasional saat ini tingkat loyalitas pemilih kepada partai politik sangat kecil, yaitu 20 persen. Sebesar 80 persen sisanya merupakan massa mengambang. Ini merupakan isntrumen betapa partai politik dijauhi oleh pemilihnya.
Sementara itu, menurut keterangan Ketua DPR Maszuki Alie saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Negeri Makassar (19/7) lalu, dari hasil survey tingkat kepercayaan publik pada DPR hanya 24 persen, selebihnya 76 persen publik tidak percaya pada lembaga wakil rakyat tersebut.
Idealnya, angka-angka statistik tersebut mengonstruksi awarness (kesadaran) pada politikus dan parpol untuk membenahi akhlak politik. Dalam hubungannya dengan bulan Ramadhan, keterbukaan masyarakat, harus dimanfaatkan secara positif. Diantaranya dengan menjaring sekaligus menampung aspirasi masyarakat untuk diteruskan dan selanjutnya diperjuangkan baik di level legislatif bagi anggota legislatif, mapun di level eksekutif bagi parpol yang memegang kendali pemerintahan.
Kealpaan politikus yang menyandang nama “wakil rakyat”, sedikit banyak turut memengaruhi persepsi politik masyarakat terhadap wakil-wakilnya. Oleh karenanya mereka yang datang di bulan ini harus mampu mengembalikan kepercayaan konstituen agar tak ada lagi sikap apriori generelisir pada politik. Caranya ya dengan memanfaatkan momentum Ramadhan ini sebaik-baiknya. Dalam artian, pasca Ramadhan harus ada hasil yang dilihat oleh rakyat.
Sekali lagi, Ramadhan bagi politikus tidak cukup sekedar memajang foto dan ucapan artifisial yang sangat simbolik. Ramadhan harus mampu menjadi inkubator politik. Pasca Ramadhan, nilai-nilai yang selama ini hilang (prematurisme politik), harusnya mampu dihadirkan kembali. Nilai ketulusan, kejujuran, keikhlasan yang semuanya padu dalam perintah puasa. Tentu harapan besar ini terutama kita tujukan bagi saudara-saudara kita para politisi muslim, agar kedepan menjadi role model perpolitikan nasional di tengah degradasi model yang mengancam ruang keumatan dan kebangsaan kita.
Keterangan tentang penulis :
Jusman Dalle; Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Analis Ekonomi Politik di Society Research and Humanity Development Institute
Bisa berdiskusi di twitter @Jusmandalle atau Facebook Jusman Dalle II