Dibalik berbagai cercaan, tudingan dan ancaman atas sejumlah kasus yang menimpanya, rakyat Indonesia seharusnya tetap berterima kasih kepada Nazaruddin. Setidaknya, nyanyian-nyanyian Nazaruddin dari balik persembunyiannya meghentak kesadaran kita tentang realitas politik tanah air. Kesadaran yang selama ini hilang akibat aksi kamuflase politik penguasa melalu performance artifisial di media massa.
Tabir-tabir gelap perselingkuhan elit negeri ini yang dulu hanya dapat kita raba-raba, kini tersingkap seketika. Nazaruddin membuka semua itu. Nyanyiannya memang kadang false, dan sayup-sayup, akan tetapi reaksi berlebihan dari mereka yang disebut-sebut menampakkan kesan betapa nyanyian Nazaruddin memiliki daya ledak dan daya hancur luar biasa.
Instruksi Absurd SBY
Pasca penetapan Nazaruddin sebagai tersangka (30/6/2011), Presiden SBY memang telah menginstruksikan kepada aparat penegak hukum untuk menangkap Nazaruddin. Bahkan Nazaruddin menjadi buruan Interpol yang berjaringan ke 180 negara. Namun hal tersebut tidak mampu mereduksi skeptisme publik.
Apa lagi pasca rilis resmi pemerintah Singapura yang mengatakan bahwa jauh hari sebelum Nazaruddin dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK , sebenarnya pemerintah Indonesia sudah diberitahu perihal ketiadaan Nazaruddin di negeri Singa itu. Maka wajar jika membenih kecurigaan adanya tendensi politik pencitraan dari instruksi Presiden SBY yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini.
Tak syak lagi, nyanyian Nazaruddin dengan terus menyebut elit Demokrat terlibat dalam kasusnya menyebabkan distrust (ketidakpercayaan) publik atas janji-janji manis Ketua Dewan Pembina Demokrat untuk memberantas korupsi. Karena faktanya, Demokrat sendiri nyatanya telah menjadi hunian nyaman bagi koruptor.
Persepsi sumir tersebut tentu akan diikuti dengan migrasi suara. Sebagaiaman lansiran Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang dipublikasikan pada 29 Mei 2011 lalu, Demokrat merupakan partai yang pemilihnya tidak stabil, rentan mengalihkan pilihan jika sedikit saja ada kesalahan. Hal ini dikarenakan pemilih Demokrat didominasi oleh pemilih rasional.
Oleh karenanya, jika tidak dilakukan upaya pencitraan, maka bisa dipastikan daya magnetis Demokrat melemah secara drastis. Ini bisa kita baca dari makin anjloknya kepercayaan publik pada pemerintahan SBY sebagai representasi Partai Demokrat.
Inilah kekhawatiran besar Partai Demokrat, perolehan suaranya bisa semakin anjlok melebihi anjloknya angka-angka yang dilansir berbagai lembaga survey. Maka pada titik ini intruksi SBY untuk menangkap Nazaruddin dapat dibaca sebagai upaya counter imaging.
Bandit Demokrasi
Melalui gempa politik yang mengguncang Demokrat, kita diperlihatkan fakta tentang wajah partai politik. Wajah yang semakin karut marut. Transisi demokrasi yang terjadi selama ini, ternyata tidak mampu melahirkan mainstream dan paradigma baru sebagai nilai tambah dalam pentas politik. Partai politik malah disandera oleh kepentingan sesat. Menyimpang jauh dari fungsi utamanya.
Partai politik sekedar dijadikan sebagai batu loncatan untuk meraih keuntungan bagi pribadi dan kelompok. Mabuk kekuasaan secara masif menyerang mereka yang dilabeli sebagai “elit”. Sebagaimana dikatakan Haryatmoko (2010), partai politik yang seharusnya berperan sebagai instrumen demokrasi, namun situasi sekarang ini justru menunjukkan partai politik menjadi bagian masalah.
Satu hal yang perlu disadarai, bahwa kenyataan ini tidak lepas dari demokrasi liberal yang high cost (biaya tinggi). Memantik kompetisi keras untuk mengusai kantong-kantong materi. Parahnya, yang digerogoti adalah keuangan negara. Karena logika kekuasaan adalah logika materi.
Maka tak heran jika persaingan merampok uang negara sering kali dilegalisasi melalui poryek-proyek fiktif oleh perusahaan-perushaan bodong yang dalam waktu sekejap tiba-tiba memiliki aset milyaran. Kejahatan seolah-olah kebajikan, karena partai politik menjadikan perusahaan kader-kadernya sebagai pipa yang mengalirkan dana segar bagi keuangan partai.
Inilah yang dikatakan oleh Mancur Oslon (2000) di dalam bukunya yang berjudul Power and Prosperity, dengan mengambil sampel pada negara Uni Soviet ketika memasuki fase transisi menjadi negara demokrasi. Masa yang menurut Oslo sebagai periode yang justru menjadi kesempatan bagi bertakhtanya para bandit.
Suhartono W. Pranoto (2008), mendefinisikan bandit sebagai penjahat yang sudah berkaliber, penjahat kelas kakap, atau penjahat ulung. Bandit berasal dari bahasa Latin bandere artinya brigand atau perampok, perusak atau pelanggar hukum di luar perlindungan hukum.
Salah satu prinsip dalam demokrasi sebagaiamana dikutip dari Robert A. Dahl (1957) adalah kebebasan. Baik berserikat, berkumpul, berpartisipasi dan segala jenis kebebasan lainnya yang melekat sebagai hak dasar manusia. Maka dalam sistem demokrasi liberal, bandit menjadikan demokrasi sebagai alat legitimasi dari apa yang mereka lakukan. Dengan atas nama kebebasan kejahatan yang dilakukan seolah olah adalah kebenaran.
Politik Borjuasi
Tak perlu heran jika sejak dulu, kehidupan bangsa ini hanya ada di tangan sekelompok kecil entitas. Mereka adalah bandit yang pada akhirnya bertransformasi menjadi kelompok borjuis. Linier dengan tuntutan kompetisi demokrasi liberal yang secara alami menyaring dan menggugurkan mereka yang tidak berasal dari kelas menengah atas. Atau juga mereka yang gagal melakukan mobilitas vertikal menjadi kelompok borjuis.
Akhirnya elit yang terkondisikan pada orientasi ekonomi, sehingga yang diperhitungkan hanya terbatas pada etika utilitarian yang lahir dari rahim materialisme. Etika ini menyelubungi sistem partai politik yang mengusung sitem moral Darwinisme “the survival fo the fittes”, yang memuja kultus pemenang dengan ukuran material. Politik dalam dominasi bandit-bandit borjuasi.
Kenyataan ini merupakan buah dan akibat arus pragmatisme yang menjadi jiwa sebagian besar Parpol di Indonesia. Dalam jangka pendek, sering kali buah pragmatisme itu manis dan menjadi candu, tapi pada akhirnya berubah menjadi racun.
Politik di era demokrasi borjuasi yang dicirikan pengarus utamaan uang, sudah saatnya ditinggalkan. Menyambung opini Indra J. Piliang di salah satu koran nasional, bahwa demokrasi dilahirkan oleh kaum borjuis sudah diketahui dan nampak nyata.
Maka sebagai bagian dari masyarakat politik, peran kita sebagai antitesa untuk menghentikan laju politik borjuasi sebagaimana diproposisikan di atas. Dalam mengaktualisasikan paradigma Islam, ada beberapa cara yang dapat kita tempuh.
Pertama, menjernihkan konstruksi paradigma tentang kekuasaan. Di dalam Islam, memandang kekuasaan maka paradigma awal yang dikonstruksi adalah bahwa kekuasaan merupakan sarana untuk mewujudkan masyarakat bertauhid dalam semua dimensi yang terkadung dari ketauhidan tersebut.
Kristalisasi dari nilai-nilai tauhid ini dapat dilihat dari sejauh mana political behaviour (perilaku politik) penguasa yang kohoren dengan perintah agama. Ekstraksi nilai-nilai keimanan tersebut tentu melahirkan fatsun politik dan standar moralitas yang tinggi.
Kedua, supremasi hukum. Karena diantara tujuan penyelenggaraan negara dengan segala instrumennya (termasuk pemerintah) adalah memberantas setiap kejahatan dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas digariskan Al Qur’an. Selain itu, negara bertujuan memberlakukan hukum tanpa diskriminasi (Abul’ala al Maududi : 1978).
Ketiga, tentang partisipasi politik warga setiap warga negara yang hidup dalam sistem demokrasi, maka harus diikuti oleh proses political education (pendidikan politik) yang pada akhirnya nanti melahirkan sikap rasional dan selektif dalam menyalurkan hak politik. political education di sini tidak dimaknai secara kaku, akan tetapi felskibel sesuai konteks kebutuhan pendidikan masyarakat. Pada titik ini, perintah fardhu ‘ain menuntut ilmu agama dan fardhu kifayah ilmu dunia, menemukan relevansinya dengan dunia politik.
Karena kekuasaan secara feasible dipandang sebagai salah satu sarana ta’abbud (menyembah-beribadah) kepada Allah SWT sebagaimana point pertama di atas, maka pada variable ini tidak mungkin kita berpolitik tanpa pengetahuan. Kata kuncinya adalah pendidikan politik.
Keempat, memanfaatkan keterbukaan ruang publik untuk melakukan pengawasan terhadap semua entitas di level eksekutif, legislatif dan yudikatif, untuk mengusir politikus borjuis dan mengucilkan mereka dari pentas politik. Karena dengan memberi ruang atau bahkan celah, dengan superioritasnya dalam sekejap mereka mampu mengacaukan sistem demokrasi.
Di dalam Al Qur’an sangat jelas, di banyak ayat Allah SWT memerintahkan untuk saling menasehati, saling mengingatkan, saling memberi tausiyah. Dimensi sosial agama Islam, menjadi kerangka pengawasan terhadap para pemimpin. Pengawasan ini tentu dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu pengetahuan.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman” (Az Zariyat ayat 55). Wallahu’alam
Keterangan Tentang Penulis :
Jusman Dalle, Pengurus Pusat KAMMI, bekerja sebagai Analis Ekonomi Politik Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute