Tiga bulan terakhir, perhatian publik disedot oleh skandal korupsi di Kementrian Pemuda dan Olah Raga yang melibatkan sejumlah namanya, diantaranya Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga serta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dalam Kasus Wisma Atlet Sea Games, Wafid Munarman dan Nazaruddin.
Namun belum tuntas kasus yang mengguncang Partai Demokrat tersebut, tiba-tiba kita dikejutkan dengan ledakan pemberitaan kasus suap di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dikait-kaitkan dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar. Barang bukti uang sebesar Rp. 1,5 miliar yang dipack di dalam kardus, ditemukan oleh KPK.
Skandal korupsi di negeri ini seolah tidak pernah ada matinya. Datang susul menyusul. Dari Skandal Bank Century yang merugikan negara Rp. 6,7 triliun disusul skandal mafia pajak Gayus Tambunan, yang keduanya kemudian tenggelam dalam kubangan kompromi politik berupa pembentukan Sekretariat Gabungan.
Dua kasus terbaru (di Kemenporan dan Kemenakertrans), membuat kita semakin resah karena ada indikasi jika keduanya dirancang secara sistemik dan melibatkan banyak pihak : pengusaha atau kontraktor, eksekutif serta legislatif. Modusnya pun sudah menjadi rahasia umum, yaitu ‘win-win solution’ diantara mereka dengan menggunakan ‘jasa’ mafia anggaran di DPR kemudian menilep APBN yang telah dimark up. Akhirnya, APBN yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat, justru mengalir kantong-kantong para koruptor tersebut.
Keadaan pun semakin parah karena extraordinary crime ini merambah ke pejabat-pejabat di daerah-daerah. Data dari Kementrian Dalam Negeri, saat ini 160 Kepala daerah yang berstatus tersangka, terdakwa, terhukum dari 524 Gubernur, Bupati dan Walikota yang tersandung kasus korupsi sejak tahun 2004 (detik.com). Ini masih kepala-kepala daerah, belum para pembantunya.
Setali tiga uang, lembaga “penegak hukum” pun menjadi sapu kotor, tak luput dari oknum koruptor. Dalam 1 kasus saja, misalnya kasus mafia pajak Gayus Tambunan, tak kurang dari 15 orang aparat hukum terlibat jual beli perkara sebagaimana diungkapkan Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supanji (antikorupsi.org)
Maka tak heran jika dari rangking yang dirilis berbagai lembaga nasional dan internasional, seperti Transparency International (TI), Political And Economic Risk Consultancy (PERC), tingkat korupsi Indonesia terus saja bertengger di posisi teratas.
Survey terbaru pada bulan Juni 2011 oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke 47 dari 66 negara di dunia dan terkorup ke 2 dari 13 negara di Asia Pasifik seperti dilansir United Press International (14/6/2011).
Dari fakta-fakta tersebut, maka bisa ditarik hipotesa bahwa ada yang tidak normal dalam pengelolaan negara ini. Karena Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), sebagaimana dituangkan di dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 Ayat 3.
Sebagai negara hukum, jika benar-benar hukum ditegakkan, maka tentu tak akan terjadi problem yang berkaitan dengan hukum. Seperti kasus-kasus korupsi yang disebutkan di atas. Oleh karenanya jelas bahwa dengan identifikasi objektif, kita akan menemukan jika permasalahan tersebut bukan berakar dari sistem hukum yang ada. Akan tetapi permasalahannya bersumber dari manusia-manusia yang tidak patuh pada hukum.
Karena berbagai lembaga penegak hukum –yang berlapis- seperti Polri, Kejaksaan dan KPK, nyatanya tidak mampu mereduksi pergerakan gurita korupsi.
Menarik apa yang dikatakan Hans Kelsen di dalam bukunya yang berjudul Altgemeine Staatslehre. Helsen menuliskan bahwa semakin tinggi keinsyafan hukum suatu masyarakat, semakin dekat masyarakat tersebut pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna. Berangkat dari apa yang dipostulatkan Hans Kelsen tersebut, maka untuk mewujudkan Indonesia sebagai rechtsstaat, seharusnya yang pertama kali diwujudkan dalam konstruksi supremasi hukum Indonesia adalah langkah preventif (pencegahan).
Starting point dari formulasi preventif dalam pemberantasan korupsi ini harus dimulai dari lahirnya awarness (kesadaran) yang bersifat sangat personal. Oleh karenanya, manusia sebagai subjek harus diperlakukan layaknya subjek yang menggerakkan atau menjalankan sistem hukum. Salah satu cara untuk melahirkan awarness tersebut adalah melalui kristalisasi nilai-nilai puasa Ramadhan yang baru saja kita jalani.
Sangat jelas tujuan ibadah puasa dari surat Al Baqarah ayat 183. Yaitu lahirnya insan-insan yang bertaqwa. Pertanyaan kita, apakah taqwa itu? Dan bagaimana wujud taqwa di hadapan hukum negara? Allah SWT menjawabnya di dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 133-135. Di dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa taqwa itu merupakan akhlak, baik secara vertikal (akhlak Ilahiah) mapun secara horizontal (akhlak sosial).
Diantaranya akhlaq pemaaf, sabar, ahli taubat, dermawan, selalu ingat pada Allah SWT dan gemar berbuat baik. Akhlaq yang juga disebut sebagai karakter reflektif, hanya bisa diwujudkan dari latihan-latihan atau pembiasaan.
Selain melahirkan akhlaq-akhlaq yang disebutkan di dalam Surat Ali Imran tersebut, puasa juga mendidik kita untuk jujur, ikhlas, tulus dan disiplin. Profesor Rehnald Kasali di dalam bukunya yang berjudul Mylein (2010) kemudian secara detil mendeskripsikan proses terbentuknya akhlak. Dengan bahasa yang modern dan pendekatan manajemen, beliau menjelaskan bahwa akhlak merupakan kristalisasi muscle memory atau hasil formulasi Myelin yang ada pada setiap manusia.
Mengutip pernyataan D. Coyle, Myelin adalah untaian yang berfungsi sebagai insulasi yang membungkus jaringan syaraf manusia. Semakin intens kita terlibat dalam tindakan atau latihan, semakin tebal myelin yang terbentuk dan semakin hebat kita bekerja.
Karena Myelin tersebut menyimpan memori latihan yang sering diulang-ulang. Sehingga saat ada stimulus dari luar, latihan tersebut melahirkan gerakan atau respon secaa refleks. Di dalam agama kita kenal sebagai akhlaq.
Makanya tidak salah jika pembentukan dan penebalan myelin ada di balik kesuksesan artis besar, pelukis terkemuka, akademisi terpandang, karyawan profesional, para pemimpin besar, entrepreneur sukses, dan perusahaan-perusahaan global. Karena mereka memulainya dengan latihan yang keras dan intensif. Modal utama yang pertama kali mereka bentuk adalah karakter yang merupakan harta tak berwujud (intangiable).
Secara ilmiah, Muscle memory atau Myelin terbentuk karena latihan yang intensif. Di dalam dunia manajemen, Myelin yang melahirkan akhlaq ini merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu perusahaan.
Dalam kaitannya dengan bulan Ramadhan yang baru saja berlalu, maka seharusnya dimasa-masa mendatang gurita korupsi yang kian meresahkan, tidak lagi ada. Karena sejatinya, Ramadhan telah melatih Myelin kita untuk jujur, tulus dan ikhlas melalui pelaksanaan ibadah puasa sebulan penuh.
14 abad sebelum ilmu manajemen mengembangkan Myelin, dan sebelum Hans Kelsen menemukan formula konstruksional negara hukum sempurna dengan “teori insyafnya”, Al Qur’an lebih awal menegaskan bahwa tujuan puasa –yang merupakan rentang waktu pembentukan Myelin unggul- adalah insan taqwa yang ditandai dengan lahirnya akhlaq sosial dan Ilahiah. Untuk mewujudkan bangsa yang bersih dari korupsi, maka pertanyaannya adalah sejauh mana kita mempertahankan, menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai puasa tersebut di luar bulan Ramadhan? Mari kita jawab dengan aksi! Wallahu’alam
Keterangan: Jusman Dalle
Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Twitter : @Jusmandalle
Facebook : Jusman Dalle II