(Refleksi 103 Tahun Muhammad Natsir, 17 Juli 1908-17 Juli 2011)
Siapa yang tak kenal dengan Nazaruddin (Nazar). Dua bulan terakhir, setiap hari baik di media cetak, media online dan media elektronik, nama Nazar selalu menjadi sorotan. Tak jarang, Nazaruddin menjadi headline media-media besar. Masuk dalam liputan dan sorotan khusus.
Praktek Mafia Proyek
Begitu pentingnya orang ini, saban hari namanya pun mendunia. Mengisi daftar black list Interpol, dengan tulisan “WANTED”, dicari. Nazar menjadi incaran dinas Kepolisian tidak kurang dari 180 negara yang tergabung dalam jaringan Interpol. Pasca penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK pada 30 Juni 2011 lalu, Nazar mencuri perhatian publik.
Satu yang menarik bahwa Nazar, dalam tindak tanduk politiknya berhasil menguak praktek buruk partai berkuasa yang menjadikan perushaan kader-kadernya sebagai pipa yang mengalirkan dana ke partai dan tentu saja elitnya. Semua seolah olah absah di hadapan hukum, karena diselubungi oleh kata “proyek” atau “bisnis”.
Bocornya anggaran negara dalam tender proyek Wisma Atlet SEA Games yang diduga dinikmati oleh pejabat pusat dari Kementrian, Anggota DPR, Gubernur, Kepala Dinas hingga kurir pengantar proposal, hanyalah satu contoh bahwa praktek mafia proyek, mafia tender atau apalah namanya, sudah menjadi rahasia umum. Bahkan sudah membudaya.
Berdasar pengalaman penulis melalui survey langsung di lapangan, praktek mafia proyek seperti itu sudah ada di level DPRD Provinsi, bahkan sudah sejak lama berlangsung. Ternyata, ada banyak Nazar di republik ini. Merekalah salah satu pangkal kerusakan bangsa.
Nazar, membawa bangsa ini ke titik dasar kehancuran. Kekayaan negara dikavling-kavling untuk kepentingan individu, partai dan kelompok. Dana itulah yang kemudian diputar kembali untuk membeli suara rakyat ketika pemilu. Termasuk juga menjadi anggaran kampanye yang nilainya ratusan milyar hingga trilyunan rupiah.
Menantikan Munculnya “Malaikat”
Nazar hanyalah potongan kecil kisah pahit dari negeri yang makmur ini. Lebih dari itu, di tengah berbagai krisis yang mencengkram. Bangsa ini seperti linglung dan hilang pegangan. Pemimpin tidak lagi mampu mengendalikan belitan problem yang kian menggurita.
Persoalan ekonomi masih menyisakan angka kemiskinan hingga 59,4 juta orang berdasarkan standar purchasing power parity World Bank. Cerita warga yang terpaksa mengadu nasib di luar negeri sering kali terulang. Termasuk mereka yang terpaksa menemui ajal dan hanya kembali dengan kabar nyinyir.
Rakyat kecil juga sering menjadi korban. Tak berdaya menerima putusan hukum pengadilan yang tidak adil karena harus berhadapan dengan orang atau kelompok yang mampu membeli palu hakim. Tak ketinggalan, berbagai skandal hukum yang menyasar elit, makin absurd juntrungannya karena berakhir dengan suap menyuap.
Kini yang berkuasa adalah mereka yang mampu memformulasi argumen artifisial, dibalut pencitraan di media massa. Atau elit politik yang mampu meredakan ancaman kekuasaan yang terguncang melalui politi transaksional.
Rahim bangsa yang besar ini, sepertinya telah mandul dalam melahirkan negarawan-negarawan, tokoh-tokoh fenomenal dan pahlawan-pahlawan tak bertendensi pamrih. Untuk mencari referensi teladan, kita seperti mencari jarum di hamparan Sahara.
Di tengah kegersangan tersebut, kita berharap-harap ada “malaikat” yang turun menyelamatkan negeri kaya raya ini. Harapan yang mungkin hanya ilusi. Jikapun terwujud, butuh waktu lama.
Natsir, Ulama dengan Visi Modern
Bulan Juli ini ada peristiwa yang merupakan rangakaian mozaik sejarah Indonesia, kita harapkan mampu menginspirasi bagi munculnya solusi atas kompleksitas problem kebangsaan. Peristiwa tersebut adalah hari kelahiran Mohammad Natsir.
Tepat 17 Juli 1908, Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, kota kecil bernama Alahan Panjang Kabupaten Solok Sumatera Barat dari ayah bernama Idris Sutan Saripado dan ibu bernama Khadijah.
Dalam dunia pergerakan Islam, Natsir dikenal sebagai salah satu tokoh Persatuan Islam (Persis). Sejak usia 19 tahun, karier dan jiwa aktivisme Natsir sudah melejit. Bahkan pada tahun 1928-1932, beliau menjadi Ketua Jong Islamiteen Bond Cabang Bandung. Di JIB Bandung, Natsir berkenalan dengan sejumlah aktivis yang kelak menjadi rekan seperjuangannya di Masyumi. Diantaranya, Mr. Sjarifuddin Prawiranegara dan Mr. Mohammad Roem.
Natsir kemudian semakin intens bersentuhan dengan gerakan politik setelah berinteraksi dengan tokoh sekelas H. O. S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan Syaikh Ahmad Syurkati serta Ustadz Ahmad Hassan yang merupakan tokoh sentral Persis. Keempat tokoh ini yang menjadi preferensi yang mengonstruksi pikiran intelektual dan keagamaan Natsir.
Artikulasi idealis Natsir nampak ketika beliau menolak menerima dua beasiswa dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta atau Rotterdam, Belanda. Alasan penolakan Natsir sangat sederhana, karena beliau memilih menjadi guru agama dan menjadi jurnalis. Bahkan pada tahun 1930, Natsir merintis sekolah dari nol.
Di dalam pemikiran filsafat dan kebudayaan Islam, Natsir melahirkan orisinalitas sebagai pemikir Islam Indonesia. Bahkan pemikiran Natsir dinilai jauh melampaui pemikiran Neo-Modernis yang selama ini dinisbahkan kepada Fazlur Rahman. Maka tak salah jika beliau dikukuhkan sebagai pemikir pembaharuan dan modernis Muslim yang terkemuka. Natsir salah satu ulama nusantara yang diakui.
Santun dan Bershaja
Ketika menjabat Menteri Penerangan, relasi antar Natsir dan Bung Karno mulai terjalin intim. Keberadaan Natsir di pemerintahan menjadikannya mercusuar moralitas, patriotisme dan nasionalisme yang diabadikan sejarah Indonesia. Berbagai prestasi dengan cita rasa kenegarawaanan ditorehkan oleh Natsir.
Sewaktu menjadi anggota Parlemen (DPR) Republik Indonesia Serikat dan duduk sebagai Ketua Fraksi Masyumi, lagi-lagi Natsir menyelamatkan keutuhan negara dari RIS ke dalam bingkai NKRI. Natsir melihat bahwa bentuk negara serikat sebagai hal yang membahayakan keutuhan NKRI, karena akan menimbulkan ketidak akuran diatara berbagai negara bagian.
Natsir mengajukan Mosi intelektual di hadapan sidang DPR-RIS, agar seluruh wilayah Indonesia dikembalikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Firasat masa depan Natsir sebagai seorang negarawan yang menghendaki persatuan ini, untuk mengantisipasi disitegrasi bangsa. Menjadi monumen sejarah Natsir bagi negerinya. NKRI akhirnya menjadi salah satu pilar kebangsaan yang hari-hari ini hanya dijadikan retorika artifisial.
Kering Teladan
Berbeda dengan Natsir, pemimpin bangsa hari ini lebih tepat dipanggil elit yang elitis. Berpolah paradoks dan mereduksi patriotisme. Kesatuan bangsa hanya menjadi sketsa mati di atas teks-teks pidato, dari podium ke podium. Berperilaku egois yang lebih mementingkan diri dan kelompok partainya ketimbang keutuhan NKRI, dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya, termasuk rakyat kecil.
Kita sering kali melihat wajah buruk elit politik saling serang, bertikai memperebutkan kekuasaan. Konflik yang terjadi hanyalah alat sandera untuk melanggengkan kepentingan. Berbeda ketika Natsir dan Soekarno yang terlibat dialog kenegaraan, memperdebatkan ideologi dan tetap dalam prinsip menghargai perbedaan.
Toleransi yang tidak ditunggangi oleh kepentingan sesaat. Bahkan Natsir rela meninggalkan jabatannya sebagai Perdana Menteri, ketika Soekarno menjadi Presiden dan menawarkan kompromi kepada Natsir. Tapi konsistensi dan idealisme pantang digadaikan dengan materi.
Natsir dengan prinsip dan flatform politik Nasionalisme-Islam dan Soekarno dengan Nasionalisme Sekuler -yang diramu dari pandangan sekuleris Turki modern-, tetap melanjutkan berdilaog di beberapa media. Tak jarang keduanya menggunakan bahasa dan kritik tajam.
Akan tetapi di luar dialog tersebut, Natsir tetap menghormati Soekarno sebagai salah satu tokoh bangsa. Pun dengan D. N. Aidit yang merupakan tokoh komunis, sering kali berdebat dengan Natsir di konstituante. Tapi diluar sidang, keduanya bersahabat.
Sikap negarawan Natsir juga bisa kita lihat dari kesederhanaan dan kesahajaannya. Dalam keseharian, beliau hanya menggunakan jas penuh dengan tambalan. Santun, bersahaja, tapi teguh pendirian, semuanya adalah teladan langka hari ini.
Natsir adalah patron moralitas di belantara rimba politik yang penuh jebakan. Rasanya sulit dan adalah hadiah jika bisa menemukan sosok seperti Natsir. Pertanyaan sederhana kita hari ini, adakah sosok Muhammad Natsir? Mampukan partai politik melahirkan kader santun, bersahaja, sekaligus negarawan? Atau memang bangsa ini telah mandul melahirkan tokoh berkelas negarawan? Kering teladan dan kepemimpinan? Apakah parpol hanya mampu melahirkan 1001 politikus sekelas Nazar?
Keterangan Tentang Penulis :
Direktur Eksekutif TRANS Institute
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Hp : 085299430323
Email : [email protected]