“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya” (QS. 61:11)
***
Sejak agresi mileter yang dilancarkan Israel terhadap Palestina di Kawasan Gaza beberapa pekan lalu, Islam kembali dihinakan. Seperti biasa, negara Islam dan para pemimpin lainnya seakan punya surganya masing-masing. Acuh tak acuh terhadap nasib yang menimpah saudaranya di belahan bumi lain. Kalau antara negara yang memiliki ikatan emosional satu agama saja tidak berdaya, apa lagi yang bisa diharapkan dari bangsa lain yang tidak memiliki ikatan apapun. Meski itu namanya perserikatan bangsa-bangsa, itu tak lebih hanya bioskop bagi pemimpin-pemimpin negara untuk menyaksikan tragedi pembantaian manusia.
Tidak paham atau enggan
Terkadang saya hampir putus asa melihat kondisi yang ada. Malu, karena dilahirkan sebagai generasi yang sangat jauh masanya dari rasul. Kalau dalam hadis, rasul menyebut tiga generasi terbaik sepanjang masa; masa beliau atau yang kita kenal sahabat-sahabatnya, lalu masa tabiin dan terakhir masa tabi’ tabiin. Itu artinya, bisa jadi kita saat ini adalah sebagai generasi islam yang buruk.
Dulu, semasa rasul hidup, hampir tidak ditemui perselisihan di antara sahabatnya. Jika terjadi silang pendapat, mereka langsung merujuknya kembali kepada rasul. Namun walaupun demikian, perbedaan pendapat ketika itu motifnya tidak ada yang didasari atas sebuah kepentingan. Mereka berbeda, dan rasul yang menyatukannya.
Sepeninggalnya beliau, para sahabatnya masih bisa dijadikan rujukan. Tidak sedikit dari sahabatnya yang didoakan rasul sendiri untuk keberkahan hidupnya. Sehingga dengan doa tersebut, nama-nama yang kita kenal seperti ibnu abbas dan Abu Hurairoh mencerminkan pewaris
nabi yang sejati. Ibnu Abbas, dengan kekuatan akalnya mampu memahami teks-teks Al quran yang kemudian menjadi rujukan penfasiran Quran sehingga ia dijuluki sebagai “Turjumanul quran”(penafsir quran)
Anehnya sekarang, Islam masih ada di seluruh negara arab, tapi orang arab sendiri tidak faham apa yang mereka baca dari ayat-ayat Al quran berkenaan dengan jihad. Masih dengan kosa kata
yang sama dan gaya bahasa yang serupa, tapi tetap tidak bisa mentransformasikan ayat-ayat jihad itu menjadi ide pemersatu bagi seluruh umat islam manakala ada wilayah islam lainnya diperangi.
Bukan karena khilafah belum terbentuk lantas syariat jihad menjadi hilang. Bukan pula karena hukum Jihad yang fardhu kifayah, jika sebagian telah terjun ke medan perang lantas yang lain
diam berpangku tangan di rumah. Atau cukup dengan berdoa dan qunut nazilah setiap shalat. Bukan itu semua makna jihad sebenarnya.
Harta juga Senjata
Ada tiga rentetan ayat dalam surat As shaff yang rasanya patut kita renungi kembali. Ketiga ayat ini bernuansa cukup provokatif, sebab isinya menantang orang untuk melakukan transaksi bisnis dengan Sang pemilik dunia. Ketiga ayat itu adalah ayat sepuluh, sebelas dan dua belas.
Dengan komposisi mirip susunan surat lazimnya, melalui tiga ayat tersebut, Allah memberitakan secara singkat, padat dan tepat. Terdiri dari pembuka pada ayat sepuluh, isi pada ayat sebelas, dan penutup pada ayat dua belas.
Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. 61:10-12)
Penamaan Jihad sebagai perniagaan ini diberikan karena Allah membeli harta dan diri seluruh muslim yang berjihad dengan bayaran surga. Gaya bahasa seperti ini dipakai agar lebih memudahkan orang untuk memahami esensi jihad sebenarnya. Tentu, perdagangan yang biasa digunakan orang untuk memperoleh keuntungan, akan lebih mudah dipahami jika jihad juga diterjemahkan dalam bahasa ekonomi. Ini bertujuan untuk menepis pemahaman jihad yang identik dengan kematian. Dan mati sama dengan rugi.
Masalahnya sekarang, dalam kondisi politik yang serba tertekan ini, terjun langsung ke medan perang bukan perkara yang mudah. Bagi orang yang di luar wilayah perang, kalaupun telah terkumpul orang yang siap diterjukan masuk ke medan perang, masih terhambat dengan urusan birokrasi pemerintahan. Inilah yang membuat umat menjadi terpuruk. Bahkan lebih hina lagi, ada pemerintah yang bukan cuma cuek, malah membantu musuh yang jelas harus diperangi.
Kemudian, dengan kondisi kekangan birokrasi negara apakah Jihad itu lepas begitu saja. Tidak, meski berada di luar wilayah dan hukum jihad fardhu kifayah bukan berarti jihad berhenti sampai
di situ. Kembali ke makna dasar jihad itu sendiri yang artinya sungguh-sunguh. Manakala kesungguhan kita belum mencapai usaha maksimal, maka jihad belum benar dilaksanakan.
Jika kita kembali melihat ayat-ayat jihad, di situ jelas diungkapkan. Seluruh perintah jihad dengan nyawa (bin nafs) selalu diiringi jihad dengan harta (bil mal). Bukan hanya itu, ditinjau dari susunan kalimat (siyaq al kalam) malah jihad dengan harta menempati posisi pertama sebelum jihad dengan nyawa. Ini dikarenakan harta merupakan cara yang paling mudah digunakan dan paling banyak diberikan untuk sarana Jihad.
Perhatikan kedudukan harta jika turut diikutsertakan dalam bentuk jihad. Segala sesuatu yang dipandang berharga, baik itu uang ataupun benda lainnya yang bisa digunakan untuk membela agama maka itu bisa dijadikan sarana jihad. Justru cara ini lebih mudah aksesnya untuk membantu umat islam lainnya yang sedang berjuang. Bisa dalam bentuk donasi tunai, makanan, obat-obatan dan lain sebagainya.
Boycott jawabannya
Ada orang bilang, misalnya kita menyumbangkan harta untuk dikirim dan digunakan oleh saudara-saudara kita yang diperangi, namun kita tidak tahu apakah bantuan itu sampai atau tidak. Maka satu hal yang harus kita yakini bahwa setiap harta yang kita sumbangkan dengan niat ikhlas karena Allah, maka Allah akan mennggantinya dengan yang lebih baik. Sampai ataupun tidak.
Terus kalau ada yang ragu, atau ia tidak bisa sama sekali menyumbang, maka cara lain yang bisa dilakukan adalah tidak membeli barang-barang yang diproduksi oleh pihak musuh. Dan jika ditanya cara yang paling sederhana bisa dilakukan adalah boikot jawabannya. Sepanjang musuh belum keluar dari wilayah islam, maka wajib hukumnya untuk tidak menggunakan barang dan jasa produksi mereka.
Jangan sepelekan dengan menganggap remeh pengaruh muqatha’ah (boikot) ini. Kalau ada seorang muslim memakai produk boikotan dengan kalkulasi keuntungan satu persen, itu artinya seratus orang yang makai barang itu akan diperoleh untung sebesar modal yang dikeluarkan. Bagaimana lagi jika yang memakai lebih dari seratus orang dan produk yang dipakai lebih dari satu barang. Maka tidak mustahil keuntungan dari produksi mereka berlipat ganda. Dengan demikian akan menguatkan perekonomian mereka.
Kalau sebuah negara tercatat sebagai negara yang mapan dalam bidang ekonomi, bukankah mereka lebih leluasa menyediakan mesin-mesin perang yang lebih banyak dan lebih canggih. Dan tidak berlebihan untuk slogan boikot “ satu rupiah yang dikeluarkan sama artinya membeli satu peluru untuk membunuh saudara kita.”
Belum cukup kalau cuma memboikot barang-barang mereka. Pihak-pihak yang berada dibelakang mereka juga produknya harus diboikot. Karena prinsipnya orang kafir itu satu. Mereka saling membantu dalam memerangi islam. Dan boikot adalah cara kita berjihad dengan harta.
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. JIka kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. 8:73)
================
Profil Penulis :
Fery Ramadhansyah asal Medan, alumni MAN 2 Medan jurusan Keagamaan, sekarang dibangku kuliah S1 Fakultas Syariah Islamiah (Islamic Jurisprudence), Universitas Al Azhar Cairo-Mesir. Koordinator Dept Ta’lim PII-Mesir.
e-mail: [email protected]