Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS Fushilat :30)
Di dalam QS 41:30 di atas, Allah menjanjikan jannah (syurga) bagi setiap hambaNya yang dengan tegas mendeklarasikan dirinya sebagai hamba Allah dan senantiasa istiqamah dalam memegang teguh keimanan yang Allah anugerahkan kepadanya. Hal ini tentunya menjadi kabar berita yang menggembirakan bagi setiap muslim karena apabila berbicara tentang janji, maka Allah adalah satu-satunya Dzat yang takkan pernah melanggar janji. Sudah menjadi suatu hal yang mutlak bahwa janji Allah pasti akan terjadi.
Janji Allah untuk para hambaNya yang istiqamah dalam keimanan adalah syurga, sebuah tempat yang hingga saat tidak bisa didefinisikan oleh indera manusia. Tempat yang belum pernah dilihat, disentuh, dicium, bahkan dimasuki oleh manusia pada umumnya. Walaupun kehadirannya masih di luar nalar manusia, namun tidak ada muslim yang mengingkari keberadaan syurgaNya tersebut. Semua yang mengaku beriman meyakini adanya syurga Allah itu.
Manusia memiliki kecenderungan untuk tertarik pada hal-hal yang nyata, keuntungan yang dekat, serta sesuatu yang selaras hawa nafsu. Apabila dikaitkan dengan kecenderungan manusia tadi, maka ‘hadiah’ Allah ini sama sekali tidak memenuhi kecenderungan manusia tersebut. Syurga adalah sesuatu hal yang tidak nyata, keuntungannya dapat diraih tidak dalam waktu dekat, dan selama proses menggapainya pun bertolak belakang dengan hawa nafsu. Namun, di situlah letak istimewanya. Keistimewaan syurga ini tak ingin Allah berikan secara cuma-cuma. Allah ingin melihat titik maksimal ikhtiar manusia yang ingin menggapainya. Dengan demikian, hanya orang-orang yang pantas menurut Allah lah yang akan dapat merasakan nikmat syurgaNya.
Sekilas memang petunjuk dalam Quran ini tidak ‘pro’ pada kecenderungan manusia. Al-quran memang mengisyaratkan hanya manusia yang mengoptimalkan akalnya saja yang dapat memahami petunjukNya. Ia yang dapat mensinergikan akal dan imannya kemudian istiqomah dalam mengelolanya, akan meyakini bahwa syurga itu memang nyata. Sedangkan ia yang berpegang teguh pada hawa nafsu dan bisikan syaitan akan terus terperangkap pada kesenangan semu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan Allah menciptakan syurga dalam bentuk ghaib adalah untuk menguji apakah koalisi akal-petunjuk bisa mengalahkan koalisi syetan-nafsu.
Sekali lagi, janji Allah pasti akan datang. Yang menjadi masalah adalah kesenjangan antara diri dan iman. Salah satu yang membuat kesenjangan itu adalah kecenderungan terhadap kesenangan sesaat yang tak pernah lelah menantang setiap muslim. Namun, ketika kecenderungan ini diminimalisir kemudian dipadukan dengan kualitas iman yang senantiasa ditingkatkan, maka janji-janji Allah tersebut akan cepat dirasakan. Sebagian besar janji Allah berbentuk ghaib dan tidak dapat dikuantisasi sehingga dibutuhkan iman yang mampu menyentuhnya.
“Maka Dia mengilhamkan (kepada setiap jiwa) jalan dosanya dan jalan taqwanya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” ( QS. Asy-Syams:8-10 )
Cara untuk meningkatkan kualitas iman adalah dengan mengoptimalkan ketaqwaan dan meminimalisir kefujuran. Mengoptimalkan ketaqwaan dapat dilakukan dengan cara menyucikan diri dan menjaga keistiqamahan amalan. Istiqomah berarti konsekuen, konsisten, dan persisten terhadap setiap amalan yang telah dipancangkan dalam bentuk target-target capaian. Satu hal yang dapat memperkuat keistiqamahan adalah motivasi bersih, lillahi ta’ala. Sedangkan memiminalisir kefujuran dapat dilakukan dengan cara bertaubat setiap kali khilaf melakukan dosa dan mengiringi keburukan dengan kebaikan.
Jagalah kualitas iman dengan senantiasa mengoptimalkan ketaqwaan lalu kemudian istiqomah menjalankan konsekuensi dari ketaqwaan tersebut. Dengan demikian, isyarat tentang syurga akan mudah dirasakan dan janji Allah tersebut akan hadir dalam genggaman. Wallahu’alam.
Fauzi Achmad Zaky
Mahasiswa ITB, Bandung