Sangat menarik sekali ketika kita memperhatikan dan menelaah bagaimana eratnya keterkaitan Islam dengan negara yang dalam bahasa arabnya adalah Khilafah Al-Islamiyyah. Bagaimana sebuah pemerintahan warisan Rasulullah SAW yang pertama kali dicetuskan di Madinah mengambil sebuah pola keseimbangan antara agama dan negara sebagai landasan dalam kehidupan berpolitik dan bernegara.
Tapi akankah Khilafah yang menjadi warisan umat ini dapat kembali hidup di dunia yang serba modern ini di mana pergaulan global dan dialog antar budaya telah banyak membuka wawasan Umat saat in. Inilah yang menjadi perdebatan di antara para cendikiawan dan pengamat pemikiran Islam kontemporer.
Salah satu langkah untuk memahami latar belakang masalah ini adalah dengan kembali melihat sejarah dimana sejarah mencatat bahwa setelah wafatnya Rasulullah, empat sahabat besar yang dijuluki Al-Khulafaa Ar-Rasyiduun menggantikan beliau tampil membimbing umat dengan cara musyawaran dan pemilihan secara langsung, cara pemilihan yang sesuai dengan tata cara pemerintahan Madani yang sebenarnya.
Dimulai dengan Abu Bakr (632-634), Umar ibn Khattab (634-644), Ustman ibn Affan (644-656), dan Ali ibn Abi Thalib (656-661), namun pasca pemerintahan Umar mulai timbul fitnah dan perpecahan di kalangan para sahabat dan mulai memuncak pada masa Utsman dan Ali dimana ketiganya mati terbunuh. Sebuah Ironi yang patut kita sesalkan karena pada masa itu neraca keseimbangan politik dan agama yang telah dibangun Rasulullah SAW mulai goyah..
Pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidun akhirnya roboh ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 661, saat itu beralihlah sistim pemerintahan umat Islam yang semula berasas demokratis menuju monarchy absolut di tangan Bani Umayyah yang dipimpin oleh seorang Khilafah yang memerintah secara turun-temurun, begitu pula penerusnya Abbasiah sampai Turki Utsmani.
Pada masa itu kelompok pendukung Ahlul Bait merupakan lawan utama dari Kekhalifahan Umayyah, hanya satu Khalifah saja dalam pemerintahanya mampu mengembalikan sistem Demokratis dan lunak (baca; tidak bertangan besi) yaitu Umar bin Abdul Aziz, beliau berhasil mengembalikan tatanan demokrasi Islam sesuai apa yang telah ditanamkan oleh pendahulunya.
Sejak hancurnya daulah Umayyah 92 H digantikan oleh Abbasiah hingga sampai waktu Turki Utsmani sistim demokrasi dalam Islam seakan-akan telah hilang, digantikan dengan system pemerintahan berdasarkan garis darah dan keturunan, tanpa memandang apakan sang successor memang pantas atau tidak. Sejak saat itu dunia Islam terpuruk dalam sistem yang jauh dari kesan Madani.
Setelah kita sedikit menyinggung mengenai sejarah Daulah Islam, sekarang kita kembali ke dalam permasalah pokok yaitu apakah Daulah Islamiyyah mampu kembali tampil memimpin dunia.
Dalam masalah ini kita harus memisahkan antara dua sistem pemerintahan yang pernah dipakai umat Islam:
- Sistem pemerintahan demokratis seperti yang telah dilakukan kaum muslimin pada masa awal, seperti yang telah dipraktekan oleh Khulafa Ar-Rasyiduun dimana calon dipilih secara musyawarah oleh para Shahabat yang tergabung dalam majlis Syura kemudian setelah keluar siapa yang berhak dicalonkan semuanya dikembalikan pada umum dengan pemilihan secara langsung.
- Sistem pemerintahan kekhilafahan absolut seperti yang telah dilakukan oleh pemerintahan Daulah Umayyah, Abbasiah, dan Turki Utsmani di mana sistem yang mereka gunakan adalah berdasarkan heredity atau garis keteurunan, biasa dikatakan sebagai pola pemerintahan Urf, di mana telah menjadi adat bahwa seorang sultan meninggal adalah sang anak sebagai penggantinya, dan tentu saja pemerintahan semodel ini tidak sesuai dengan konsep pemerintahan Islam yang selalu mengedepankan nilai- nilai demokratis dalam setiap aspek kehidupan dunia sesuai dengan hadits Rasulullah SAW "Antum a’lamu biumuuri dunyakum" yang artinya adalah kamu lebih tau akan masalah duniamu, di sini sudah jelas bahwa Rasulullah lebih mengedepankan kebebasan dalam hal-hal yang bersifat duniawi selama hal-hal tersebut tidak menyimpang dari al-muwafaqottu fii syariah.
Setelah kita melihat dua perbedaan sistem pemerintahan di atas kita dapat memahami bahwa sistem pemerintahan yang sejalan dengan Islam adalah sistem pemerintahan pada masa awal Islam, dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai demokratis yang hakiki yang tercermin dari budaya Syura dalam proses pemilihan seorang pemimpin.
Hal seperti ini tidak dapat kita rasakan kecuali dengan proses format ulang pemikiran Islam, pemilahan antara ajaran Islam yang berdasarkan social-culture dan yang bukan karena secara logika budaya pada setiap masa akan mengalami perubahan, juga disertai dengan pemahaman dan penerapan Syariat Islam yang kaffah karena satu-satunya benteng kekuatan Islam adalah Syariah Islam itu sendiri sebagaimana Allah berfirman
"wa man lam yahkum bimaa anzalallah faulaaika humul faasiquun" ayat ini secara jelas tidak menyatakan bahwa Khilafah itu wajib, tapi lebih menekankan penerapan syara, karena syara adalah nadi dari khilafah itu sendiri yang tanpanya khilafah hanya merupakan kedok dari sebuah rezim..
Pada masa ini tiap muslim demi kemajuan dan perkembanganya harus mau keluar dari lingkaran kejumudan dalam berfikir yang selalu menjadi pemicu persengketaan yang berpengaruh juga dengan sistem pemerintahan, karena secara logika iklim sosial- budaya dan politik selalu maju seiring bagaikan sebuah mata rantai yang saling terkait satu sama lain.
Juga dapat membedakan manakan ajaran Islam yang asli dan manakah yang berasal dari social-culture manusia ketika Islam hadir, sebagai contoh perpanjangan lehyah(janggut) memang terdapat nash yang jelas mengenai perintah memanjangkanya, tetapi itu hanya merupakan saran yang diberikan Rasulullah SAW pada waktu itu untuk membedakan mana muslim dan non muslim, begitu pula ketika kita berhadapan dengan wacana khilafah, padahal Rasulullah SAW sendiri dalam sebuah riwayat pernah menyatakan
"innama ana basyar, idza amartukum bisyai’in min diinikum fakhudzuu fii, wa idza amartukum bisyai’in min ra’yii fainnama ana basyar"
(Sesunggunhya aku adalah manusia, jika aku perintahkan kamu atas sesuatu dari agamamu maka ambilah, dan jika aku perintahkan kamu atas sesuatu dari pendapatku maka sesungguhnya aku adalah manusia) Musnad Imam Ahmad, Shahih Muslim Kitab Fadhail bab wujuub imtisal maa qaalahu Shallahu Alaihi wa Sallam juz 4 hall 1835
Hadis ini menjadi hujah bahwa segala ijtihad dalam masalah dunia ini boleh, maka saya dalam hal ini berpendapat bahwa setiap muslim harus dapat mentajdid dirinya agar dapat bangkit kembali menjadi peradaban yang besar, tanpa harus mengorbankan aqidah dan syara yang berasal dari Allah SAW dan tidak mencampur adukanya dalam sebuah kotak yang bernama urf juga mitos, sebagaimana yang terjadi dalam kekhalifahan-kekhalifahan pasca Khulafa Ar-Rasyidiin di mana Commender of The Believers adalah sebagai representative of Allah(wakil Allah di muka bumi) yang dengan tanganya yang absolut pernah membuat Islam terjebak dalam dunia yang statis yang kita rasakan akibatnya hingga kini.
Jawaban dari segala permasalahan ini tidak lain adalah dalam penanaman dan penerapan Syariat Islam itu sendiri sebagai kunci dari setiap permasalahan yang dihadapi umat dewasa ini, karena dengan pemahaman dan pentatbiqan syariat Islam secara baik, secara praktis akan tercipta pemerintahan yang baik yang berasaskan demokrasi yang sesuai dengan asas Islam yaitu Al-Adalah atau keadilan dan Al-Musawaa atau kesamaan dalam hak.
Profil Penulis
Agung Gumilar Mahasiswa Tk IV Fakultas Studi Islam dan Arab Universitas Al-Azhar Damietta, aktif dalam kajian Diskusi FORMASI Damietta