Keamanan merupakan salah satu kebutuhan mendasar masyarakat yang harus mendapatkan jaminan dari pemerintahan sebuah negeri. ‘Ala kullihal, Sebagai rakyat ia dibebani suatu kewajiban dari pemerintahan, yakni memasuki dinas militer untuk membantu pemerintahan dalam mempertahankan kedaulatan dan menjaga dari serangan invasi dari luar.
Maka sebagai imbangan dari kewajiban yang diberikan bagi rakyat, dalam hal ini pemerintahan wajib memberi jaminan keamanan terhadap musuh dari luar dan dari dalam. Begitu pula, kewajiban masing-masing rakyat menyegani dan menghormati pemerintah yang dibentuk dengan sah harus diimbangi dengan kewajiban pemerintah untuk memperluas perlindungan dan jaminan keamanan sampai pada kehidupan privat dan bermasyarakat. Hal inilah yang dijelaskan dalam ajaran Islam, sebagaimana khotbah Rasulullah SAW di padang Arafah, pada terakhir beliau menunaikan ibadah haji, Nabi menerangkan:
"Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian, seperti haramnya hari kalian sekarang ini, dan di bulan ini, di negeri kalian ini. Hendaknya orang yang hadir pada saat ini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir!"(H.R. Bukhari & Muslim)
Tidak hanya dalam hadits, penjelasan seperti ini banyak kita temukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Maka sudah selayaknya sebuah pemerintahan memasukan ketentuan tersebut ke dalam undang-undang dasar yang menentukan bahwa nyawa, diri dan harta benda tiap warga negara tidak boleh diganggu gugat dan tidak satupun akan dirampas dari kehidupan, kebebasan dan miliknya. Kecuali dengan proses hukum sebagaimana mestinya.
Islam telah memberikan perhatian yang khusus dalam perkara menciptakan keamanan dan stabilitas sosial. Perlu diketahui bersama, bahwasanya Islam telah membuat ketentuan hukum yang sangat jelas dalam perkara pidana dan hukum positif, hal ini merupakan salah satu bentuk pendorong terciptanya keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Yang mana hukum-hukum tersebut barulah akan dapat dijalankan secara sempurna bila berada dibawah kekuasaan seorang pemimpin yang sah serta komit dalam Islam.
Maka perkarahudud (hukuman) dan huquq (hak-hak) dalam Islam tiada lain guna perbaikan bagi tiap-tiap manusia serta perbaikan masyarakat, menciptakan keamanan di dalamnya dan hal ini pun harus dilakukan di bawah tanggung jawab seorang pejabat yang berwenang yang memiliki sifat adil serta terhindar dari sifat korupsi, kolusi dan nepotisme.
Demi menciptakan keamanan, maka setiap hukum sebagaimana yang ditentukan dalam pemerintahan Islam, harus diterapkan kepada orang-orang terkemuka maupun orang rendahan, yang kuat maupun yang lemah. Tidak boleh digugurkan karena adanya syafa’at (pertolongan karena adanya pembelaan, kedudukan, hadiah atau karena selainnya.) dari seseorang.
Sebagaimana sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud “Barangsiapa yang memberi syafa’at untuk mengugurkan pelaksanaan salah satu sanksi dari sanksi-sanksi (hudud) yang telah ditetapkan Allah, maka sungguh dia telah menentang Allah dala perintah-Nya. Dan barangsiapa yang berselisih dalam, kebathilan sementara dia mengetahuinya, niscaya dia senantiasa berada dalam kemurkaan Allah hingga dia berhenti. Dan barangsiapa yang memberi persaksian palsu terhadap seorang muslim, niscaya dia akan dipenjara dalam radghatul khabal, hingga dia mencabut apa yang ia katakan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu radghatul khabal?,’ Beliau menjawab, ‘Sari pati (nanah) penduduk neraka.”
Disini takterelakan lagi, terletak keprihatinan yang mendalam manakala kita menyaksikan dengan begitu jelas penegakan hukum dalam negeri kita. Disatu sisi terdapat golongan yang meneriakan dengan begitu lantang dan bersemangat, agar setiap pelanggar hukum (terutama dari golongan terkemuka) mendapatkan sanksi atas segala tindakannya.
Di lain pihak terdapat golongan yang saling bahu membahu, menolong dan menutupi “aib” atas pelanggaran hukum serta kecurangan mereka. hingga seakan semua menjadi abu-abu, tidak jelas awal dan akhir atas penegakan hukum kepada pelanggar hukum tersebut. ‘Ala kullihal, ini menjadi sebuah tugas kita bersama bagaimana membenahi hal tersebut, atau setidaknya bagaimana kita menyiapkan generasi pengganti yang mampu memperbaiki kepada tatanan yang lebih baik.
Selanjutnya selain perlindungan dari hal yang bersifat fisik, dibutuhkan juga jaminan dari pemerintahan untuk melindungi mertabat dan kehormatan. Kembali dalam Islam dijelaskan bagaimana larangan melakukan sesuatu yang merusak kehormatan baik yang berupa celaan, hinaan maupun tuduhan tanpa bukti sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela.”(Al-Humazah: 1)
“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.”(Al-hujurat: 12)
Dalam hal ini Rasulullah SAW mengingatkan kepada kaum muslimin:
"Jauhilah oleh kalian prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta pembicaraan. Janganlah kalian saling memata-matai, saling mencari aib orang lain, saling berlomba-lomba mencari kemewahan dunia, saling dengki, saling memusuhi, dan saling memutuskan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara."(H.R. Muslim)
"Wahai sekalian manusia yang telah berikrar iman dengan lisannya sedang keimanan belum merasuk kedalam hatinya, janganlah kalian menghina kaum muslimin dan jangan mengumbar aib mereka, karena barang siapa yang membuka aib saudaranya maka Allah akan membongkar aibnya, sehingga nampak jelas aibnya di keluarganya."(H.R. Ahmad)
Semua hadits tersebut, jika dibaca bersama ayat Al-Qur’an ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”(An-Nuur: 27)
Semua dalil ini menghendaki akan adanya peraturan serta penerapan konstitusi yang akan menjamin rumah, kehidupan privasi dan kehormatan individu yang tidak boleh diganggu gugat, serta melarang pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan yang mungkin bertentangan dengan menjamin asasi ini. Jadi bentuk menempatkan seorang warga negara – selain mereka yang telah terbukti melakukan kejahatan besar – di bawah pengawasan polisi rahasia (badan intelejen) merupakan tindakan yang melampaui batas dan sama sekali tidak dibenarkan dalam suatu pemerintahan terlebih dalam negara Islam.
Penangkapan berdasarkan kecurigaan semata merupakan satu pelanggaran terhadap hukum konstitusional, dan memenjarakan atau menahan seorang tanpa pemeriksaan perkara sebelumnya dan tanpa dibuktikan kesalahannya oleh pengadilan yang dibentuk dan berwenang sebagaimana mestinya, jelas sekali bertentangan dengan prinsip tak boleh diganggu gugat diri manusia yang diterapkan dengan tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Meskipun demikian, isu-isu terorisme kadangkala menjadi dalih pelegalan akan tindakan tersebut. Stigma negatif tersebut di negeri ini, bisa dikatakan senantiasa dikaitkan dan tersematkan kepada kelompok yang dikatakan sebagai Islam radikal. atau paling tidak kepada individu yang memiliki semangat dalam menjadikan Islam sebagai asas kehidupannya.
Terlebih Kita menyaksikan terdapat dorongan dari beberapa pihak untuk menyusun UU intelejen, agar mampu “preventif”dengan memberikan keluasan bagi aparat (BIN) untuk memantau, menyadap dan menahan siapa pun yang dianggap menebar kebencian dan berbahaya, tentu saja hal ini sangat rentan menimbulkan pelanggaran atas prinsip dasar jaminan hak dan keamanan pribadi, dan merupakan tindakan yang berlebihan (eksesi) atau bahkan melampaui batas.
Namun, Bagi seorang aktivis da’wah, dalam menghadapi hal seperti ini tidaklah menjadikan penghalang atau hambatan yang akan menghentikan langkah perjuangan, melainkan laksana kerikil-kerikil yang menyertai dalam perjalanan. Karena kemulian seorang yang berada pada manhaj nubuwah tidak akan terhapuskan oleh rintangan dan kesulitan.
Kemudian, dewasa ini pula sering kita dengar mengenai tindak kekerasan atau anarkisme yang dilakukan oleh kelompok dan ormas yang berafiliasi dengan agama, yang dalam hal ini Islamlah yang sering kali dipojokan.
Tuduhan-tuduhan yang dialamanatkan kepada Islam sesungguhnya tidak berdasar dan hanya berupa reaksi atas pengetahuan atau informasi yang parsial dan bersifat kasuistik. Ajaran Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan sikapintoleransi terhadap penganut agama lain. Justru kaum muslim sudah digembleng dan diberi pedoman yang sangat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama dari luar. Sebagaimana dicontohkan dalam sejarah kaum muslimin pada piagam madinah.
Bahkan, Al-Qur’an juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas).
Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).
Pada beberapa kasus terjadi banyak kesalahfahaman dan penilaian yang tidak tepat. Salah satunya adalah masalah Jamaah Ahmadiyah, rasanya telah jelas bagi kita bahwa sesat dan menyesatkannya ajaran Ahmadiyah. Maka dalam hal ini permasalahannya bukanlah perkara toleransi beragama, akan tetapi Ahmadiyah merupakan ajaran yang merusak agama Islam. ‘Ala kullihal, Bagi pengikut Ahmadiyah sendiri, bila ditanya kepada mereka (khususnya pemimpin jamaah Ahmadiyah, dikarenakan para pengikut jamaah Ahmadiyah sebagian besar tidak faham dengan ajaran Ahmadiyah) tentang pendapat mereka mengenai umat Islam yang tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad, maka mereka akan menjatuhkan vonis kufur bagi yang tidak mempercayai akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena itu, Ahmadiyah ini telah membawa syariat baru yang dapat merusak syariat Islam, maka wajar saja jika timbul reaksi penolakan keras terhadap ajaran tersebut.
Pada akhirnya keamanan yang meliputi jiwa, kehormatan, dan keyakinan (iman/tauhid) adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. pemenuhan kebutuhan ini oleh pemerintah merupakan kewajiban dari hubungan timbal balik. Hanya saja, seringkali terjadi pencitraan secara nyata maupun tersembunyi, dimana menjadikan islam sebagai ancaman hilangnya rasa aman melalui pemberitaan media massa yang tidak berimbang dalam mengangkat isu-isu kekerasan dan terorisme.
Salah satu yang terkena imbasnya adalah perkembangan da’wah Islam yang kini dalam beberapa sisi mulai dicurigai dan dianggap berbahaya, tidak hanya da’wahnya begitupun terhadap pribadi da’i yang sedikit demi sedikit terseret kembali kepada kondisi jaman orde baru. Tuduhan-tuduhan itu benar-benar mengaburkan Islam secara nyata, melupakan sifat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang membawa rasa aman dan kedamain di dunia.
Wallahu A’lam
Irfan Saputra, Mahasiswa STID (Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah) Mohammad Natsir, Peminat Pemikiran Islam.http://www.ussyaqulhurain.multiply.com