Menyingkap tabir pengaburan bentuk pemerintahan Islam
Bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang merujuk kepada syariat. Konstitusinya tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum syariat yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan dijelaskan Sunnah Nabawy, baik mengenai aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah maupun berbagai macam hubungan. Oleh karena itu hukum yang berlaku harus selalu bersumber dan merujuk kepada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian pemerintahan yang dipimpin oleh seorang ulil amri yang dipilih oleh rakyat, untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan guna terciptanya kondisi masyarakat yang sehat (moral dan fisik) serta sejahtera.
Sengaja ataupun tidak pengaburan mengenai konsep pemerintahan Islam telah terjadi dan semakin meluas. Sebagai contoh sekitar dua tahun silam terbitnya buku yang berjudul “ilusi negara Islam”, telah menggambarkan setiap gerakan yang berusaha mewujudkan penerapan syariat pada setiap pribadi muslim hingga pada tingkat masyarakat luas, seperti ikhwanul muslimin, HTI dan salafi sebagai sumber inspirasi dari terjadinya berbagai kekerasan di negeri ini. Hal seperti ini membuat paradigma seolah Islam adalah sumber dari segala tindak kekerasan. Sehingga konsep pemerintahan yang berasaskan Islam harus segera ditolak, karena hanya akan memunculkan sistem “totalitarisme” yang pasti akan menuju kepada kediktatoran.(Pendapat seperti ini muncul karena melihat beberapa corak pemerintahan yang ada pada negara timur tengah, namun perlu kita perjelas bahwa walau negara-negara timur tengah menyatakan islam sebagai agama negara. akan tetapi sistem pemerintahan yang ada di sana belumlah bisa dikatakan sebagai pemerintahan Islam.)
Maka mari kita tegaskan bersama, bahwasanya hal tersebut adalah suatu kekeliruan yang sangat nyata. Sesungguhnya apa yang digambarkan oleh orang-orang semacam yang menerbitkan buku tersebut, hanyalah manifestasi dari pada imajinasi ketakutan mereka terhadap penerapan syariat.
Kewajiban kita adalah untuk senantiasa taat kepada Allah, barangsiapa terdapat keimanan dihatinya sungguh ia tidak akan menyanggah hal ini. Termasuk kepadanya tuntutan dari iman adalah menerima serta ikhlas dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah, dalam hal ini menjalankan syariat menjadi hal yang wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya perlulah dipertanyakan keimanan pribadi yang enggan menerapkan syariat dalam kehidupannya.
Konsep pemerintahan Islam adalah sebagaimana dijelaskan dalam nash Al-Qur’an, yakni pada surat An-Nisaa’ ayat 58-59. Bahwa pemerintahan Islam berdasarkan kepada tiga aturan penting yakni taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Taat kepada yang memegang kekuasaan di antara umat dan mengambalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, jika terjadi perselisihan dengan pihak yang berkuasa.
Perihal ketentuan pemerintahan dalam syariat yang berupa nash, ia tidak menjelaskan seluruh permasalahan secara terperinci, akan tetapi yang disebutkan adalah pokok-pokok ataupun kerangka sebagai pondasi dasar dan aturan main yang jelas. Dan dalam hal terperinci tersebut dilakukanlah proses ijtihad yang tidak keluar dalam kerangka syariat. Hal ini menunjukan keluasan hukum syariat yang memang mampu untuk diterapkan dalam setiap masa. Kenapa seperti itu! Karena permasalahan politik dan negara adalah permasalahan yang selalu berkembang dari masa-kemasa bahkan setiap hari persoalan baru dalam pemerintahan bisa selalu muncul. Pemerintahan yang ideal selalu bisa beradaptasi dalam artian menyesuaikan setiap permasalahan tanpa mengganggu konstistusi serta tatanan kenegaraan. Maka bisa dikatakan bahwa pemerintahan Islam selalu memperhatikan kondisi aktual dan mampu menerapkan kebijakannya selaras dengan perkembangan jaman.
Hal ini penah ditunjukan pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana kita ketahui bahwa ke empat masa pemerintahan khalifah ini, adalah pemerintahan yang melukiskan dan bentuk representasi dari pemerintahan Islam. Jika kita pelajari bahwa kebijakan-kebijakan dalam setiap masa khalifah ini memiliki beberapa perbedaan yang dipengaruhi perkembangan kondisi negeri. Sebagai contoh, adalah kebijakan khalifah Umar bin Khattab yang tidak memberikan tanah hasil rampasan perang (ghanimah) kepada para tentara, akan tetapi seluruh tanah tersebut diserahkan dan dikelola pemerintah. Sebagai gantinya para prajurit mendapat penghasilan tetap dari pemerintah. Karena sebelumnya sejak masa Nabi tanah kekuasaan hasil perang, dibagi persekian persen untuk para prajurit -sahabat yang turut berperang – dan sisanya baru diserahkan kepada pemerintahan. Kebijakan ini diambil salah satunya karena alasan daerah kekuasaan Islam yang sudah semakin luas karena penaklukan negeri-negeri, sehingga tidak mungkin seluruh tanah tersebut diserahkan kepada para prajurit. Serta kebutuhan pemerintahan akan pertahanan dari pihak luar, sehingga dibentuklah prajurit professional yang dibrikan tunjangan oleh pemerintah.
Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler
Pemerintahan Islam jauh berbeda dengan pemahaman yang berkembang di Barat. Maka penggunaan teori maupun istilah Barat, seperti demokrasi, sosialis, liberal dan semacamnya tidak akan mampu menggambarkan konsep pemerintahan Islam secara sempurna. Namun anehnya, tidak jarang kita dapatkan di dalam tulisan-tulisan sosok yang mengaku sebagai cendekiawan Islam modern, memberikan pernyataan bahwa “pemerintahan Islam itu adalah suatu pemerintahan yang demokratis”, atau malahan ada yang berkata bahwa pemerintahan Islam bertujuan menegakan suatu masyarakat “sosialis”. Hal seperti ini dapat mengakibatkan distorsi pemahaman tentang konsep pemerintahan Islam yang sebenarnya.
Sekulerisme itu adalah asas yang bertolak belakang dengan Islam. Akan tetapi terdapat beberapa orang di negeri ini yang berupaya memperjuangkan asas sekulerisme ini. Selalu saja bagi mereka asas sekulerisme (keduniaan) yang secara otomatis diidentifikasi sebagai kemajuan (progress). Maka setiap anjuran untuk memandang politik praktis dan perencanaan sosial ekonomi dalam sudut pandang keagamaan, dituding sebagai suatu sikap reaksioner, atau setidak-tidaknya sebagai “idealisme yang tidak praktis”. Tampaknya, saat ini tidak sedikit pula cendikiawan muslim mempunyai pendapat serupa. Dan dalam hal ini kentara sekali pengaruh dari pemikiran Barat.
Sesungguhnya berkembangnya pemahaman sekuler ini di Barat, disebabkan oleh hal-hal di dalam lingkungan mereka sendiri, bangsa-bangsa Barat telah dikecewakan oleh agama (agama mereka). Sehingga wajar saja jika mereka berupaya sedemikian rupa untuk memisahkan agama dengan urusan pemerintahan. Upaya untuk meniru sistem Barat ini, dengan menganggap segala yang berasal dari Barat adalah “up to date” adalah bentuk dari kelemahan dan kebodohan. Suatu kesalahan jika berupaya menerapkan asas tersebut kepada negeri kita, karena bangsa kita tidak pernah mengalami apa yang dahulu dialami oleh bangsa Barat.
Kemudian dalam pemerintahan sekuler, segala keputusan dan ketentuan tidak berlandaskan atau paling tidak memperhaitkan pada hukum moral atau akhlak. Tetapi berlandaskan dan hanya melihat berdasarkan kepentingannya sendiri (expediency) sebagai satu-satunya kewajiban yang di bawahnya pemerintahan harus ditundukan. Dan suatu kepastian bahwa pendapat apa yang menjadi kepentingan sendiri itu pasti berbeda-beda pada tiap kelompok, partai, bangsa dan masyarakat. Maka pastilah terjadi kepentingan yang membingungkan dalam perkara politik (nasional maupun internasional). Sebab telah jelas, apa yang dinilai sebagai kepentingan sendiri oleh suatu kelompok atau bangsa, tidak selamanya sama dan sebangun dengan kepentingan kelompok atau bangsa lain.
Pemerintahan sekuler inilah yang tidak menundukan dirinya pada tuntutan moral yang obyektif. Akan tetapi semua berupaya memperjuangkan kepentingan masing-masing yang sudah pasti berbenturan antara satu sama lain. Sehingga makin genjar pertentangan ide terjadi antara mereka tantang apa yang benar dan apa yang salah di dalam hubungan manusia, dikarenakan kacamata berfikir mereka adalah tercapainya kepentingan itu. Pendeknya, di dalam pemerintahan sekuler yang modern pada saat ini: tidak terdapat norma yang kokoh yang mampu digunakan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan antara yang benar dan yang salah. Inilah yang ungkapan yang dijelaskan oleh Muhammad Assad.
Jadi satu-satunya kriteria yang mungkin adalah “kepentingan bangsa”. Tetapi karena tidak ada satu ukuran yang obyektif dalam nilai-nilai kesusilaan, maka berbagai kelompok manusia – bahkan di dalam suatu bangsa – mungkin dan biasanya memiliki pandangan yang berlainan tentang apa yang merupakan kepentingan utama suatu bangsa. Seorang kapitalis dengan amat tulusnya percaya, bahwa peradaban manusia akan hancur jika liberalisme ekonomi digantikan oleh sosialisme. Sementara, seorang sosialis dengan amat tulusnya pula berpendapat, bahwa peradaban itu dapat dipelihara hanya dengan kapitalisme telah diganti dengan sosialisme. Mereka masing-masing memiliki pandangan kesusilaannya sendiri, yakni konsep tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan terhadap orang lain. Dan pandangan kesusilaan ini tergantung hanya pada pandangan ekonominya semata. Akibatnya: kekacauan di dalam hubungan timbal balik antar mereka.
Dengan kata lain pemerintahan sekuler adalah pemerintahan yang rapuh dari dalam, karena tidak adanya kesatuan yang mampu mengikat mereka. Berlainan dengan pemerintahan Islam yang mampu mempersatukan setiap diri umat dengan risalah yang tidak terpengaruh oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat fisik serta mampu menyatukan visi dan misi dalam pemahaman yang jelas.
Sistem Pemerintahan Islam Bukanlah Demokrasi Liberal
Ada yang mengatakan bahwasanya demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Adapula yang berpendapat demokrasi adalah bentuk kekufuran dan bertentangan dengan Islam. Oleh karenanya, sebelum kita mengkaji lebih lanjut. Alangkah lebih baik kita melihat kembali seperti apa pemahaman demokrasi menurut negeri asal lahirnya demokrasi ini.
Karena, apabila orang Eropa atau Amerika berbicara tentang “demokrasi”, “liberalisme”, “sosialisme”, “teokrasi”, pemerintahan parlementer, dan lain-lain. Ia mempergunakan istilah-istilah di dalam lingkungan pengalaman sejarah Barat. Di dalam lingkungan ini istilah-istilah itu dapat segera menimbulkan gambaran di dalam pikiran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi atau mungkin akan terjadi di dalam perkembangan sejarah Barat, dan karena itu dapat melewati perubaha-perubahan yang ditimpakan oleh jaman ke atas semua konsep yang di buat oleh manusia.
Bahkan lebih dari itu, pemahaman konsep tersebut berubah-ubah – yakni kenyataan bahwa banyak istilah politik yang dipakai kini mengandung makna yang berlainan dengan makna yang diberikan orang pada awalnya – , sehingga terdapat urgensi karena peristilahan politik ini adalah suatu hal yang memerlukan peninjauan kembali dan penyesuaian kembali.
Namun pengertian yang bersifat dapat berubah-ubah ini menjadi “lenyap”, karena suatu konsep politik yang sudah jadi itu dipinjam oleh bangsa lain yang memiliki suatu peradaban yang berlainan, dan telah melewati pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda pula. Bagi bangsa tersebut, istilah atau sistem politik itu mempunyai makna yang mutlak dan tidak berubah-ubah dan karena itu tidak dipertimbangkan kenyataan evolusinya di dalam sejarah. Sebagai akibatnya, paham politik menjadi beku dan kaku.Untuk lebih mudah memahaminya, maka kita akan lihat bagaimana Barat memahami demokrasi tersebut.
Di sebagian besar dunia Barat, meski tidak seluruhnya, sampai saat ini istilah demokrasi digunakan dalam arti yang melekat pada Revolusi Prancis, yaitu: asas persamaan sosial politik bagi semua warga negara, dan asas persamaan oleh seluruh penduduk yang dewasa dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih mereka, berdasarkan “seorang punya satu suara” (one man one vote).
Dalam artian lain, istilah ini meliputi hak rakyat yang tak terbatas untuk membuat undang-undang dengan suara terbanyak mengenai semua hal yang menyangkut kehidupan bersama. Jadi, “kemauan rakyat”, setidak-tidaknyanya di dalam teori sebagai sesuatu yang bebas dari semua tekanan pihak luar, yang berdaulat sendiri dan bertanggung jawab kepada diri sendiri.
Jelaslah bahwa konsep demokrasi ini jauh sekali berbeda dengan apa yang dimaksud oleh pencipta istilah itu, yakni bangsa Yunani Kuno. Bagi mereka “pemerintahan dari atau oleh rakyat” (yang dimaksud oleh kata demokrasi) mengandung arti suatu pemerintahan yang sangat oligarkis bentuknya. Di dalam “negara-kota” mereka, istilah rakyat sama artinya dengan “warga negara”, yaitu penduduk negara yang dilahirkan bebas, yang jarang sekali melebihi sepersepuluh dari jumlah penduduk. Selebihnya adalah budak dan sahaya yang tidak dibolehkan melakukan lain dari pekerjaan tangan, meskipun mereka kerap kali diwajibkan untuk dinas militer, mereka tidak mempunyai hak-hak sebagai warga negara sama sekali. Hanya lapisan paling atas dan tipis dari penduduk – yang disebut warga negara – yang mempunyai hak pilh aktif dan pasif. Dengan demikian semua kekuasaan politik terpusat di tangan mereka.
Maka bila dipandang dari pespektif sejarah, demokrasi seperti yang dipahami oleh bangsa Barat modern sebenarnya lebih dekat kepada konsep Islam tentang kebebasan dari pada konsep Yunani Kuno. Islam menegaskan bahwa manusia sama dan karena itu harus diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya. Disamping itu, Islam juga mewajibkan kaum muslimin menundukan keputusan-keputusan mereka berdasarkan tuntunan Hukum Allah yang diwahyukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Suatu kewajiban yang memberi batas-batas tertentu bagi hak masyarkat dalam membuat undang-undang serta tidak memberikan kekuasaan absolut bagi “kemauan rakyat”, yang telah merupakan suatu bagian yang integral dan konsep Barat mengenai demokrasi.
Jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi, demokrasi sendiri bisa dikatakan suatu pemahaman yang abstrak. Karena dengan membaca uraian diatas bagaimana istilah demokrasi tentang kebebasan digunakan dengan makna yang amat berlainan. Maka penerapannya pada politik Islam pasti akan menimbulkan suasana kesamar-samaran dan kecenderungan seperti “aksi tipuan sulap” dengan kata-kata indah namun tidak tepat sasaran. Berbeda sekali dengan konsep Islam yang jelas.
Sistem Pemerintahan Islam Bukanlah Teokrasi
Terdapat tudingan bahwasanya jika sistem Islam yang mengatur, maka akan tercipta pemerintahan dengan sistem teokrasi. Jika ada seorang yang menyoalkan pendapat tersebut maka jawabannya bisa “ya” dan bisa juga “tidak”, tergantung dengan teokrasi apa yang dimaksud.
Jawaban bisa “ya” jika dengan teokrasi itu yang kita maksud adalah suatu sistem masyarakat yang di dalamnya semua undang-undang di dunia ini, pada tingkat terakhir, berasal dari apa yang dipandang oleh masyarakat sebagai Hukum Tuhan (Syariat). Namun kita jawab dengan tegas “tidak” jika orang mengidentifikasikan teokrasi itu dengan usaha – yang sudah dikenal baik di dalam sejarah Eropa pada jaman pertengahan – untuk menyerahkan kekuasaan politik tertinggi ke tangan kaum pendeta. Alasannya karena di dalam Islam tidak dikenal kekuasaan ulama atau kaum agamawan, dan tidak ada lembaga yang sama seperti terdapat di dalam Gereja Kristen (suatu himpunan doktrin dan fungsi-fungsi sacramental yang terorganisasi).
Karena setiap muslim dewasa memiliki hak untuk menjalankan fungsi keagamaan, maka tidak ada orang atau kelompok yang dianggap sah mempunyai suatu kesucian khusus berkat fungsi-fungsi keagamaan yang diserahkan kepada mereka. Demikianlah, istilah “teokrasi” sebagaimana biasa difahami dunia Barat, sama sekali tidak kita temui di dalam lingkungan Islam. Sehingga jelas sistem pemerintahan Islam bukanlah teokrasi yang di pahami oleh Barat.
Sisterm Pemerintahan Islam Bukanlah Sosialis
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa terdapat pendapat yang menyatakan Islam mempunyai kecenderungan “sosialis”, dengan alasan pemerintahan Islam bertujuan membentuk suatu susunan masyarakat, yang akan menjamin bagi semua rakyat kesempatan yang sama, keamanan ekonomis, dan suatu pembagian kekayaan nasional yang adil.
Tetapi di lain sisi dengan sama tegasnya orang dapat pula menyatakan, bahwa Islam menentang sosialisme, jika ia berarti (seperti dilakukan oleh sosialisme Marxisme) suatu pengaturan yang keras terhadap seluruh kehidupan masyarakat, menempatkan ekonomi lebih berkuasa daripada kesusilaan, dan merendahkan martabat manusia hingga berstatus tidak lebih dari suatu faktor ekonomi saja. Karena istilah sosialis banyak dipahami sebagai bagian dari paham komunis Marxisme. Maka jelas sistem pemerintahan Islam bukanlah sosialisme, Karena pandangan Islam mengenai rakyat bukanlah sebatas faktor dalam keuntungan bangsa, akan tetapi ia adalah bagian utama dari sasaran keadilan dan kesejahteraan.
Sebagai kesimpulan, adalah sangat menyesatkan apabila kita menerapakan istilah-istilah non-Islam pada konsep pemerintahan Islam. Karena konsep Islam memiliki sebuah orientasi kemasyarakatan yang khusus bagi dirinya sendiri dan berbeda banyak hal dengan orientasi kemasyarakatan Barat modern. Islam sendiri hanya dapat ditafsirkan secara baik jika dilakukan di dalam lingkungannya sendiri dan dengan menggunakan terminologinya sendiri.
Walau demikian, bukan berarti Islam menolak segala hal dari kebaikan yang berada dari konsep Barat modern. Kita diperbolehkan mengambil pelajaran dari beberapa hal yang ada pada konsep Barat. Hanya saja, menyesatkan apabila mengatakan bahwa konsep Barat modern yang ada kini telah mewakili konsep Islam secara utuh.
Wallahu ‘Alam.
Irfan Saputra, Mahasiswa STID (Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah) Muhammad Natsir, Peminat Pemikiran Islam.http://www.ussyaqulhurain.multiply.com