Beberapa hari sebelum Cak Nur (Nurcholish Madjid) meninggal dunia, KH. Hasyim Muzadi menemui beliau. Ada sebuah ucapan Cak Nur yang kata KH. Hasyim masih terngiang di benak beliau. Cak Nur berkata, kurang lebih seperti ini, “Saya berhasil mendidik orang yang cerdas, tapi saya belum berhasil mendidik mereka menjadi shaleh.”
Olehnya itu, Cak Nur berpesan kepada KH. Hasyim Muzadi agar Pondok Pesantren Al-Hikam di Malang Jawa Timur, yang diasuh oleh ketua umum PBNU itu, dijaga untuk mencetak orang-orang yang cerdas dan shaleh.
Bagi mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia angkatan ke-15 yang menghadiri kuliah Islamic Worldview (19/11) dengan pembahasan tentang Gerakan Islam di Indonesia, tentu akan mendengarkan cerita singkat ini.
Ada yang menarik dari ucapan Cak Nur, mantan rektor Universitas Paramadina di atas. Ini tentang kecerdasan dan kesalehan. Cerdas bisa kita terjemahkan dengan kemampuan optimalisasi rasio, sedangkan saleh bisa kita maknai sebagai sense (rasa) dan penghayatan dalam menjalankan perintah keagamaan.
Ada yang menarik dari pertanyaan intelektual muda Adnin Armas dalam sebuah diskusi di kantor Majalah Sabili beberapa waktu lalu. Kandidat doktor dari ISTAC Malaysia itu mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa para pakar Islam yang menguasai Islam di dunia Barat—bahkan pengetahuan keislamannya melebihi—tidak juga masuk ke dalam agama Islam yang mereka yakini bahwa Islam itu agama yang benar?”
Ini menjadi menarik karena kenapa mereka yang pengetahuan keislamannya luas, bahkan lebih luas dari orang kebanyakan, mereka tahu bahwa Islam itu agama yang benar, akan tetapi tidak juga mereka masuk Islam. Selain faktor hidayah dari Allah yang mungkin belum (atau tidak) datang, bisa saja diakibatkan karena orientasi yang salah dalam mengkaji Islam. Artinya, kalau orientasi kajian Islamnya untuk menghancurkan Islam dengan proyek tertentu seperti Snouck Hurgronje (1857-1936), maka hidayah sulit akan datang.
Di masa kekinian di Indonesia pada beberapa kasus dan kelompok kita melihat bahwa ada yang secara teoritis, debat keislamannya begitu kuat. Argumentasinya banyak, bacaannya luas, dan mendengarnya kita jadi terkesan kemudian membenarkan pemikiran itu yang bisa saja salah karena memutarbalikkan ayat-ayat Tuhan. Akan tetapi, secara kepribadian, ibadahnya menjadi lemah, dan nyaris tidak ditemukan “min atsaris sujud”-nya, atau “tanda-tanda/bekas bahwa ia rajin bersujud kepada Allah.”
Kalau disebut itu kekurangan manusia, wajar saja karena semua manusia pasti punya kelebihan dalam satu sisi dan kekurangan dalam sisi yang lain. Namun, dalam konteks ideal Islam, sebenarnya kita membutuhkan figur intelektual atau pemimpin yang tidak hanya bagus secara wacana keislaman, namun juga punya karakter yang shaleh. Salah satu ciri karakter yang shaleh itu bisa kita lihat dari perkataan dan perbuatannya. Jika seseorang disebut baik, kemudian kita sering mendengar ia mencela kelompok lain, bahkan mungkin dengan kata-kata yang tidak pantas, itu menunjukkan bahwa individu itu masih belum bisa dijadikan rujukan atau teladan. Artinya, tanda dari kematangan intelektual seseorang bisa dilihat dari sejauh mana ia lebih dewasa dalam berdebat, dan menggunakan kaidah serta pilihan kata yang sebaik mungkin.
Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 190-191, Allah mengatakan kepada kita bahwa tanda-tanda dari orang pintar atau berakal, atau “Ulul Albab” adalah mereka yang rajin BERZIKIR kepada Allah, dan rajin BERPIKIR atas ciptaan Allah.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)
Artinya, seorang yang cerdas dalam Islam, tentunya akan rajin mengingat Allah, rajin beribadah, dan punya karakter zikir yang baik. Dan karakter ini bisa kita rasakan jika kita berada di sekelilingnya, atau pernah berinteraksi dengannya. Selain itu, juga karakter rajin menggunakan rasio dan tidak malas dalam berpikir, atau dalam bahasa Cak Nur, tidak “simple minded” (berpikiran sederhana). Idealnya, dan ini sepatutnya kita perjuangkan bersama, adalah menciptakan sosok intelektual muslim di negeri ini yang cerdas rasionya, juga shaleh akhlaknya. Kedua unsur ini harus kita padukan bersama, agar kepribadian intelektual muslim tidak menjadi terpecah. Dengan begitu, akan banyaklah sosok intelektual muslim yang bisa kita teladani baik dari segi rasionya dan moralnya.
Pesan Cak Nur kepada KH. Hasyim Muzadi rasanya begitu penting untuk kita renungkan bersama. Karena sosok Cak Nur kita kenal sebagai intelektual muslim yang pemikirannya kritis, dan santun cara bicaranya. Walau banyak kritikan datang kepadanya, terutama ide-ide pembaruannya, setidaknya pesan di atas perlu kita renungkan bersama. Makna yang bisa kita petik dari pesan itu adalah bahwa dalam Islam kita membutuhkan orang-orang yang cerdas intelegensi, emosi, juga spiritualnya. Kita tidak bisa memisahkan antara cerdas di satu sisi dan shaleh di sisi lainnya. Keduanya, berpadu. ***
Profil Penulis
Yanuardi Syukur, lahir di Tobelo (Halmahera Utara), 13 Januari 1982. Tamat dari Ponpes Darunnajah Ulujami Jakarta, dan Antropologi FISIP Unhas, Makassar. Saat ini, kuliah di Pascasarjana UI Kajian Timur Tengah dan Islam Kekhususan Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah. Pada 2004 menulis buku “Menemani Bidadari: Suara Hati Seorang Mahasiswa” dan pernah aktif sebagai ketua di KAMMI Komisariat Unhas, Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Email: [email protected]. Blog: yankoer.multiply.com