Alhamdulillah, sebulan bersama Ramadhan sudah berlalu. Ada sebagian kaum muslimin senang, karena tradisi menahan lapar dan haus selesai. Mereka merayakan kesudahan berpuasa bagaikan seorang anak kecil yang menganggap puasa sekedar bicara lapar dan haus.
Bagi mereka, kesudahan berpuasa menjadi impian terindah. Tidak heran, ketika akhirnya puasa menjelang akhir yang diributkan bukan bagaimana menghabiskan sepuluh hari terakhir dengan itikaf. Mereka lebih berpikir apakah baju lebaran sudah dibeli dan apakah uang THR sudah turun.
Tidak jarang, banyak terjadi kesempatan mudik menjadi momentum untuk tidak berpuasa. Konsepsi ini sangat memprihatinkan karena mempersempit makna hari kemenangan dimana takbir menggema. Idul Fitri dimaknai sebagai takbiran keliling kota, petasan dan melepas kepenatan berpuasa. Semoga kita dijauhkan dari perilaku seperti itu.
Tapi fenomena sebaliknya justru terjadi pada sebagian kaum muslimin. Bagaimana tidak, bulan pembinaan kesucian hati, pikiran dan pribadi terlewati. Sebuah bulan yang seperti digariskan Rasulullah. “Dalam bulan biasa, pahala setiap kebajikan dilipatgandakan 10 kali lipat, namun dalam bulan Ramadhan pahala amalan wajib dilipatgandakan 70 kali lipat dan amalan yang sunah disamakan dengan pahala amalan wajib di luar Ramadhan." (HR Muslim)
Hati siapa tidak senang, sebuah pahala digandakan. Belum ditambah kejutan, datangnya malam Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar. Setiap muslim disunnahkan beritikaf selama sepuluh hari Ramadhan. Tidak ketinggalan, kita diminta berpuasa hati, mulut, pikiran dan anggota tubuh lainnya. Sungguh bulan sempurna syahrut tarbiyah bertajuk Ramadhan. Sadar atau tidak, kita diajarkan sekaligus diminta tazkiyatun nafs.
Di perjumpaan akhir, bagaikan proses kelahiran kupu – kupu. Ramadhan itu kepompong yang melahirkan kupu – kupu indah berupa tercapainya gelar manusia yang bertaqwa. Sebuah predikat indah yang disayangkan tidak semua orang mampu mendapatkannya.
Tarbiyah Pasca Ramadhan
Bagaimana pasca Ramadhan? Pertanyaan ini menarik sebab banyak kita tidak menyadari Ramadhan itu prosesi awal dari 11 bulan berikutnya. Bagaimana Allah menguji kita, apakah kebiasaan tilawah minimal sehari satu juz dapat bertahan. Ketika Ramadhan kita sibuk tadarus Al –Qur’an, tiada hari tanpa membaca firman Allah. Itu mengapa hati kita selalu tenang selama menjalani sakralitas ibadah shaum. Sebab kalimat Al –Qur’an mengandung bahasa indah pertemuan hamba dengan Rabb-Nya. Keinginan menghabiskan waktu tilawah ini juga karena Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. Tarmidzi)
Selain persoalan tilawah, pasca Ramadhan menjadi indikator mengukur ibadah harian kita. Banyak terjadi semangat beribadah selama Ramadhan meninggi. Kondisi sebaliknya terjadi pasca Ramadhan, kita mudah sekali “amnesia” terhadap keindahannya. Kebiasaan puasa sunnah, yaumul bidh, menahan diri dari ghibah dan amal kebaikan lainnya menurun. Itu mengapa, penulis mengatakan peran strategis justru sesungguhnya terjadi pasca Ramadhan.
Ketika selesai ramadhan sebagai bulan syahrut tarbiyah, ada baiknya kita merenungkan kembali empat produk tarbiyah yang tidak boleh dilupakan.
Pertama, tarbiyah ruhiyah. Pada dasarnya agenda pembinaan spiritual selama Ramadhan melatih lidah kita untuk berpuasa dari marah, ucapan kotor, dusta, sifat dengki dan berkata kasar. Proses itu berujung terciptanya manusia sholeh (pribadi dan sosial), meningkat keimanannya dan berakhlak mulia seperti yang dicontohan Rasulullah. Banyak cara menjalaninya seperti dzikrullah, tilawah dan membiasakan jujur.
Kedua tarbiyah jasadiyah. Sudah banyak kajian kesehatan mengungkapkan manfaat berpuasa. Muslim yang berpuasa dapat membersihkan usus, memperbaiki kerja pencernaan dan mengurangi kegemukan. Sebab hakikat berpuasa dasarnya menenangkan kejiwaan manusia dari berbagai aspek materil. Untuk itu, kebiasaan berpuasa bukan menjadi alasan seseorang malas olahraga dan menjalani aktivitas fisik lainnya.
Ketiga tarbiyah ijtima’iyah yang mendorong terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Pendidikan sosial berpuasa adalah menghapuskan kesenjangan antar kalangan kaya dan miskin. Seorang kaya yang berpuasa sehari penuh diajak ikut menjalani penderitaan si miskin yang kadang untuk makan sehari saja sulit. Puasa juga melahirkan sikap solidaritas melalu anjuran untuk memperbanyak sedekah. Nilai sosial ini dilengkapi kewajiban mengeluarkan zakat, sehingga kalangan tidak mampu dapat merasakan nikmatnya Hari Raya Idul Fitri.
Keempat tarbiyah khuluqiyah (pembinaan akhlak). Rasulullah bersabda “Apabila seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah: “Aku ini sungguh sedang puasa”. Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dusta, dan melakukan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan dahaga mereka” (HR Bukhari dan Abu Dawud).
Akhirnya kita mengharapkan kepada Allah agar tidak menjadi hamba yang merugi. Seorang hamba yang mudah melupakan nilai – nilai keagungan Ramadhan. Sebab sudah seharusnya kebiasaan selama Ramadhan dilanjutkan agar kelak menjadi saksi kita di hadapan Allah nanti. Semoga Allah menjadikan puasa kita berkah dan membantu kita menghabiskan sebelas bulan berikutnya dengan ibadah kepadaNya.
Penulis berharap, semoga tulisan ini menjadi refleksi kita bersama memaknai Ramadhan yang baru saja dilewatkan. Sudah saatnya kita meningkatkan latihan lebih keras untuk terus mentarbiyah spiritual, jasadiyah, ijtima’iyah dan khuluqiyah. Semoga Allah meringankan kaki kita, untuk dapat menikmati keindahan syurga-Nya kelak.
Inggar Saputra
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan Peneliti Institute For Reform Sustainable