Repotnya Budaya Konsumtif
Terkadang penulis merasa heran melihat umat Islam di Indonesia. Tingkat konsumsinya sangat tinggi dapat dibuktikan dari menjamurnya wisata kuliner dan swalayan. Usaha yang tak pernah sepi diserbu pengunjung sehingga banyak pengusaha menanggung untung. Memang diakui itu sebagai sebuah kebutuhan pokok. Tapi dalam perkembangannya wisata kuliner dan kunjungan ke mall (pasar swalayan) menjadi tren kehidupan masyarakat. Kondisi ini semakin langgeng dengan dukungan pemerintah (baik pemerintah pusat dan daerah).
Adanya budaya konsumtif tentu mendorong terjadinya kecepatan perputaran uang. Di sebuah perkotaan, ekonomi berkembang pesat. Dalam sehari miliaran rupiah berpindah tangan, mendukung terciptanya dominasi kapitalisme global. Berbagai produk legislasi tidak berusaha mencegahnya, sebab ada kepentingan terusik jika arus ini dihentikan. Jadilah Indonesia negara konsumtif, tempat penjualan barang luar negeri. Barang impor sangat laris manis dan laku keras diperjual – belikan. Gejala penjajahan gaya baru yang sangat sulit untuk dihentikan.
Di tengah mengguritanya kapitalisme akibat perilaku konsumtif. Pemerintah sibuk berhutang demi kelancaran pembangunan infrastruktur bangsa. Pada tahun 2008, Indonesia berhutang Rp 1.397, 610 triliun (155,29 milyar dolar AS). Angka itu terdiri atas pinjaman yang diperoleh dengan perjanjian utang senilai Rp 64,34 milyar dolar AS dan penerbitan obligasi negara Rp 90,95 miliar dolar AS. Fakta yang mengusik keprihatinan anak bangsa atas keberlangsungan Indonesia di masa mendatang. Bagaimanapun kewajiban membayar hutang,menghantui setiap bayi yang baru lahir.
Tidak heran, bangsa yang besar ini terus mengalami keterpurukan. Sebab tingkat konsumsinya selalu tinggi, sedangkan produktivitas rendah. Serbuan barang China dan AS misalnya, sangat mudah masuk ke blantika perdagangan tanah air. Dalam kehidupan sehari – hari sudah tak terhitung berapa anak bangsa yang memiliki Black berry, kebanjiran produk China dan malu memakai produk Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai bangsa besar yang diperbudak asing di negeri sendiri. Tidak cukup itu, belakangan kita makin miris mendengar negeri yang memiliki lautan luas ini “dipaksa mengimpor” garam.
Melawan Dengan Membaca
Di tengah kekacauan dan hantu perekonomian yang memburuk, Indonesia dibenturkan masalah rendahnya sumber daya manusia (SDM). Bidang pendidikan mengalami kelunturan internalisasi nilai dan pengetahuan. Proses pengembangan IPTEK berjalan lambat sebagai akibat maraknya westernisasi dan lemahnya budaya membaca dan menulis. Buku sebagai sahabat memperluas cakrawala pengetahuan semakin terpinggirkan.
Sesungguhnya menilai perbaikan ekonomi, tak bisa dilepaskan dari perbaikan pendidikan. Makin rendah kesadaran mendapatkan pendidikan, perekonomian suatu bangsa mendekati kehancuran. Tak heran kemiskinan di Indonesia makin marak. Sebab masyarakat Indonesia pada umumnya dominan berpendidikan rendah. Kondisi yang dimulai dari banyaknya buta huruf dan kebiasaan negatif malas membaca.
Realitas lapangan menyebutkan, pemberdayaan masyarakat dimulai dengan tumbuhnya kesadaran membaca. Berbagai penelitan menunjukkan, minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Sekalipun ada lebih berorientasi pada bacaan ringan dan menghibur. Tak heran peredaran majalah hiburan, komik, teenlit lebih menjual dan laku keras. Berbanding terbalik dengan buku pengetahuan umum, media cetak dan jurnal ilmiah yang kurang laku di pasaran.
Repotnya kesadaran membaca belum banyak mendapatkan keteladanan. Indonesia yang banyak dikuasai umat Islam seperti kehilangan ulama hebat. Umat dilupakan bagaimana Islam pernah berjaya ketika dunia pengetahuan terbuka luas. Sebuah zaman dimana Eropa tercerahkan sosok Ibnu Chaldun, penulis dan sosiolog kebanggaan Islam yang mampu menelurkan karya fenomenal Mukadimmah. Jangan lupakan bagaimana Ibnu Rusyd, seorang filosof sekaligus dokter muslim yang berhasil menulis al-Kulliyat. Sebuah karya penting yang berisi kajian ilmiah pertama kali mengenai tugas jaringan dalam kelopak mata.
Agaknya umat Islam Indonesia harus kembali menemukan catatan emas sejarah para ulama. Sebab mereka mewariskan kebiasaan “Qur’ani” yaitu membaca. Sebuah kebiasaan sebagai manifestasi firman Allah ketika menurunkan Surat Al – Alaq. Tentunya kita tahu, bagaimana Allah memerintahkan Muhammad untuk membaca. Sebab dari perkataan “iqra”, timbul kesadaran dan tanggung jawab mencerdaskan dirinya dan orang lain. Seorang muslim yang tinggi intensitas membacanya akan diakui kapasitas keilmuannya. Sehingga dirinya mampu memberikan pencerahan atas persoalan yang dihadapi masyarakatnya.
Banyak manfaat membaca selain meneruskan tradisi ulama seperti meninggikan izzah kaum muslimin. Allah sudah menegaskan tidak akan merubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu merubah nasibnya sendiri. Ketertinggalan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya umat Islam dari kaum Barat (mayoritas Nasrani dan Yahudi) adalah lemahnya kebiasaan membaca. Sudah sepantasnya itu harus dikejar sehingga masa keemasan dan kejayaan peradaban Islam kembali terulang seperti zaman Daulah Abbasiyah.
Beternak Buku
Perubahan paradigma memainkan peran strategis menyuburkan budaya baca. Misalnya Ketika berkunjung ke pusat perbelanjaan, biasakan menyisihkan uang membeli buku. Tanamkan dalam hati dan pikiran, buku sebagai investasi pengetahuan yang tidak habis direguk. Selain itu, suburkan paradigma “beternak buku” yaitu buku sebagai teman terindah dalam setiap kegiatan kita. Ketika itu berhasil dijalankan, selalu ada rasa kehilangan jika sehari tidak membaca buku.
Motivasi terbaik tentu datang dari motivasi pribadi untuk merasakan pentingnya membaca. Pengaruh eksternal sendiri berfungsi mendorong minat membaca. Ada baiknya Indonesia belajar dari Jepang, ketika mengalami kekalahan pasca Perang Dunia. Mereka mendorong masyarakatnya membaca dengan menyediakan banyak buku. Berbagai macam literatur asing tak segan diterjemahkan, sehingga terbuka lebar dunia pengetahuan.
Tidak ada salahnya kita mengingat kembali nasehat 3M dari Aa Gym. Mulai dari diri sendiri untuk membiasakan banyak membaca. Mulai dari yang paling kecil yaitu mengajak anggota keluarga kemudian masyarakat untuk semangat membaca. Jadikan pribadi kita sebagai teladan bagi penyebaran semangat membaca di masyarakat sekitar. Mulai saat ini juga tanpa harus menunggu waktu lagi, langsung anda ambil buku dan membaca.
Akhirnya kita pantas berharap pertumbuhan minat baca yang tinggi akan terjadi. Dengan membiasakan membaca, pengetahuan meningkat dan ketertinggalan perekonomian dari bangsa lain dapat dikejar. Tak ketinggalan kualitas SDM meningkat dan pendidikan semakin menempati posisi strategis bagi pengembangan manusia Indonesia yang unggul, maju dan berkualitas. Proses pengentasan buta aksara juga tertuntaskan sehingga manusia Indonesia mengalami melek aksara.
Selamat Membaca!
Inggar Saputra
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan Analis Institute For Reform Sustainable