“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan ALLAH itu mati; sebenarnya mereka hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (Q.S. Ali Imran 169)
ALLAH Yang Maha Tahu bagaimana para syuhada itu tetap hidup di sisi-Nya. ALLAH Yang Maha Menyaksikan bagaimana para syuhada itu memperoleh kenikmatan hakiki dari-Nya. ALLAH pula Yang Maha Berkehendak bila para syuhada itu diberi kesempatan untuk melihat keadaan orang-orang yang masih menunggu-nunggu, apakah benar mereka istiqamah menunggu syahid ataukah mereka menunggu-nunggu karena mencari-cari alasan untuk mengesampingkan jihad.
Ada hidup yang lebih dari sekedar hidup secara jasad. Ada hidup yang tidak berakhir hanya karena kematian. Dan hanya para syuhada yang mendapatkan keistimewaan ini. Ruh jihad mereka terus hidup hingga ruh terakhir manusia di muka bumi dicabut dari jasad. Ruh jihad mereka terus menyala di sanubari para penunggu syahid untuk menjadi saksi atas janji-Nya. Inilah hidup yang zaman pun mengakui maknanya. Inilah hidup yang tidak dimengerti oleh musuh. Mereka mengira dengan memadamkan nafas seorang pejuang, maka ruh jihadnya akan terhenti.
Sungguh amat bodoh, ruh jihad itu menular lebih cepat dari satu tarikan nafas itu sendiri. Mereka mengira bahwa ikatan persaudaraan kaum muslimin itu dijalin dari tanah satu negeri ke tanah negeri yang lain, hingga mereka berpikir, ikatan persaudaraan itu akan putus bila tanah sebuah negeri telah mereka hancurkan. Sungguh dangkal pemahaman mereka. Ikatan persaudaraan kaum muslimin itu dijalin dengan tali langit, ketika hati hanya bertuju pada-Nya. Bila mereka hendak memutuskan ikatan ini, jalan satu-satunya adalah memutuskan kesatuan langit, dan cobalah mereka lakukan itu bila mampu.
Masih ingatkah kita dengan akhir hidup seorang pemuda tampan, wajahnya mirip Rasulullah SAW. Di Mekkah ia lah sang flamboyan. Bila lewat, mata pun tertuju pada sang penarik perhatian. Tetapi bagaimana keadaan pemuda ini setelah mendeklarasikan ketauhidan ? Tertunduk wajah para Sahabat melihatnya. Amat berbeda antara sebelum dan sesudahnya. Dia lah Duta Islam pertama. Hijrah menjadi begitu berarti karena perannya. Lalu bagaimana akhir hayatnya ? Pemegang Panji Islam di Perang Badar dan Uhud ini menunjukkan bagaimana mukmin yang amanah itu sebenarnya.
Kematian sudah menghampirinya ketika sabetan pedang musuh meminta ia melepaskan panjinya. Sembari tetap memegang panjinya ia ulang-ulang bahwa Muhammad adalah Utusan ALLAH dan telah berlalu sebelumnya utusan-utusan ALLAH. Ketika syahid, tidak ada kain yang memadai untuk menutup jasadnya. Bila kepala yang ditutup kaki terbuka, bila kaki yang ditutup kepala terbuka. Ketika melihat jasad Mush’ab, tidak ada kalimat yang keluar dari Rasulullah SAW selain :
“ Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah” (Q.S. Al Ahzab 23)
Siapa yang tidak bergetar membaca kisah gugurnya tiga pemuda panglima Islam sekaligus, Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah, hanya untuk menjaga agar panji Islam tidak jatuh, hingga Rasulullah SAW pun terdiam ketika mendapat kabar langit mengenai syahidnya orang-orang terdekat dan tercintanya ini ? Menangkah musuh karena syahidnya mereka ? Amat jauh apa yang dikira dan apa yang nyata. Justru keangkuhan Romawi menjadi padam karena ruh jihad mereka. Perginya mereka justru ‘melahirkan’ seorang Khalid, sang panglima yang dikaruniakan ALLAH untuk tidak pernah merasakan kekalahan selama perang yang dipimpinnya. Terhentikah hidup mereka ? Ruh jihadnya makin menyala di hati para pejuang penegak kalimat-Nya hingga akhir zaman.
Siapa yang melumpuhkan supremasi Sovyet yang menakutkan bagi mereka yang takut selain kepada ALLAH ? Afganistan pun bak neraka bagi tentara beruang merah. Afganistan menjadi bukti betapa sudah terlalu banyak bukti golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak. Hanya dua syaratnya. Ketauhidan yang disertai kesabaran dan persaudaraan orang-orang beriman yang layaknya satu tubuh. Bila bagian yang satu disakiti, bagaimana mungkin bagian yang lain tidak merasakan sakit. Syaikh Abdullah Azzam yang bergabung dalam Mujahidin Afganistan seolah mengulangi apa yang pernah terjadi dahulu ketika seorang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun terjun ke medan jihad menyelamatkan Syam yang diserang pasukan Tartar. Lalu bagaimana kabar Afganistan saat ini ? Apa yang didapat musuh di sana ? Surgakah atau neraka ?
Ketakutan seperti apa yang ada di benak musuh ketika untuk memadamkan nafas seorang Ahmad Yassin pun harus menunggu waktu shalat subuh berjamaah, cara yang hanya menunjukkan siapa yang pengecut dan siapa yang takut. Roket kendali istimewa dari sebuah helikopter tempur istimewa pun harus diterjunkan hanya untuk menghentikan ruh seorang Ahmad Yassin. Baiklah, siapa Ahmad Yassin ? Seorang tua dan bisa dibilang buta yang lidahnya tidak dipakai kecuali untuk berzikir. Ia mendefinisikan siapa ulama itu sebenarnya, ketika tidak ada ketakutan dalam hati kecuali hanya kepada ALLAH.
Medan jihad membebaskan tanah yang dirampas adalah rumah baginya yang harus duduk di kursi roda ketika sisa bagian tubuh yang mampu digerakkan tinggal sedikit bagian kepala yang gerakannya tidak lebih dari sedikit isyarat. Berhasilkah musuh menghentikan ruh jihadnya ? Cukuplah Gaza menjadi jawabannya. Logika apa yang mampu menjelaskan golongan yang sedikit dapat memukul mundur golongan yang banyak. Masihkah kita ingat akan Shalat Jumat pertama di Gaza setelah agresi kaum pengecut. Pesawat tempur musuh bergelayutan di atas para jamaah yang menyelesaikan shalatnya. Udara bergetar menderu-menderu karena dekatnya sang burung besi pemangsa dengan mereka yang hendak dijadikan mangsa. Lalu apa yang terjadi dengan para jamaah shalat ? Sedikit pun mereka tidak beranjak dari tempat shalat mereka.
Hati mereka khusyuk mengingat Sang Penggenggam setiap nyawa. Mereka tidak gembar-gembor menakuti musuh dengan ancaman kosong selain dari lidah yang hanya dipakai untuk berzikir untuk mengukuhkan ketakutan hanya pada-Nya. Berhasilkah musuh menakuti mereka ? Yakinlah, getaran udara yang menderu-deru mengibas rambut para jamaah tidak lah melebihi getaran ketakutan yang merayap ke hati, jantung, dan seluruh tubuh sang awak pesawat tempur itu. Bila demikian, siapakah yang takut dan siapakah yang menakutkan ?
Adakah teringat oleh bangsa ini bagaimana kemerdekaannya diraih dan dipertahankan ketika musuh tidak rela tanah Zamrud Khatulistiwa ini harus lepas dari cengkraman hawa nafsu mereka? Adakah kemenangan dengan manisnya mulut atau ketika mati bukan untuk ditakuti melainkan dicari. Bung Tomo pun menyesali dirinya yang tidak dijemput syahid dalam pertempuran yang disebutnya sebagai sebenar-benar pertempuran yang pernah dijalani oleh bangsa Indonesia.
Selebaran-selebaran yang diterbangkan berisi ultimatum yang tidak lebih hanya pernyataan untuk takutlah kepada manusia-manusia penjajah karena mereka memiliki armada perang lengkap yang siap dikerahkan, tidak dijawab melainkan dengan ruh jihad yang membara. “ALLAHU AKBAR” adalah apa yang di hati dan mulut mereka. “MERDEKA ATAU MATI” adalah apa yang dicarinya. Siapakah kebanyakan dari mereka ? Tidak lain adalah para pemuda. Para pemuda yang satu persatu roboh hingga bendera merah-putih-biru dirobek hanya untuk menyisakan warna keberanian dan sucinya niat perjuangan. Berhasilkah musuh mendapatkan apa yang diinginkan ? Cukuplah bisa leluasa duduk-duduknya kita menjadi jawabannya. Lalu kemana bentuk syukur dari kalimat “Atas berkat rahmat ALLAH Yang Maha Kuasa” ?
Sungguh aneh mereka yang menyatakan ingin syahid tetapi kesehariannya menunjukkan apa sebenarnya yang dicarinya. Cukuplah sebagai pembeda ketika orang-orang yang lain di mulut lain di hati lebih senang duduk-duduk daripada memenuhi janjinya. Tempat duduk mereka terlalu nyaman dibandingkan perjuangan menegakkan kalimat tauhid yang konsekuensinya adalah harta dan jiwa mereka. Sungguh aneh mereka yang menyatakan ingin syahid tetapi banyaknya tawa mereka hanya menjauhkan dari apa yang dicita. Sungguh aneh mereka yang merindukan syahid tetapi tidak mempersiapkan apapun untuk kedatangan sang tamu.
Bagaimana mungkin sang tamu berkenan datang bila yang dipersiapkan berbeda dari apa yang seharusnya untuk sang tamu. Tamu yang ini datang membawa kabar kematian yang mulia dan membawa kehidupan sebenarnya, sedangkan apa yang dipersiapkan jelas-jelas untuk tamu yang membawa kabar betapa indah dan nikmatnya dunia, hingga sayang bila tidak dicoba. Sungguh aneh mereka yang menunggu jihad hanya bila sudah bertemu musuh di medan laga. Tidak sadarkah mereka bila sekarang adalah masa musuh yang tak terlihat oleh mata lahir telah merusak barisan mereka. Akidah mereka disamarkan. Kitab mereka digantikan dengan kitab-kitab lain yang lebih patut dibaca. Waktu mereka dialihkan dengan yang sia-sia dan yang membuat lupa. Ketakutan mereka pada-Nya diimbangi dengan ketakutan pada manusia.
Mereka yang merasa bisa menegakkan Kalimat ALLAH dengan hanya duduk-duduk saja, silahkan teruskan perjalanan yang dipenuhi canda tawa, kesenangan, tidur yang nyenyak, kesia-siaan yang menjadi biasa, kecemasan atas harta, dan pujian dari pecinta dunia. Mereka yang hanya mengambil pelajaran dari bagaimana Rasulullah dan orang-orang beriman berjuang menegakkan Islam pun tentu meneruskan perjalanan yang dipenuhi tidak jauh berbeda dari apa yang dialami para teladannya. Ketika perjuangan mereka dipenjara dan ditawan oleh orang-orang yang lupa, cukuplah kalimat dari sebenar ulama yang dijemput malaikat maut pun dalam penjara penguasa semata untuk menegakkan jihad utama yang menjadi jawaban mereka.
“Manusia yang dipenjara adalah mereka yang terpenjara dari Rabbnya, dan manusia yang tertawan adalah mereka yang ditawan oleh hawa nafsunya” (Ibnu Taimiyyah)
Profil Singkat Penulis
Ibnu Kahfi Bachtiar, akhir Maret 2009 menyelesaikan S2 bidang energi terbarukan di Universitas Oldenburg (Jerman). Saat ini ikut membantu salah satu organisasi energi terbarukan di tanah air, melanjutkan penelitian, dan sedang belajar berwirausaha.