Menurut pendapat sebagian ulama, Surat Al Maidah termasuk dalam tiga surat terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah saw, selain Surat At Taubah dan An Nashr. Yang berbeda dari surat ini adalah ia begitu banyak memuat hukum-hukum, di antaranya mengenai akad (janji), kehalalan dan keharaman dalam hal makanan dan minuman, wudhu, tayamum, dan mandi yang termasuk dalam bersuci, hukuman bagi pencuri laki-laki maupun wanita, larangan berjudi, mengundi nasib, tunduk pada taghut, dan hukuman bagi mereka yang memerangi ALLAH dan Rasul-Nya, serta berbuat kerusakan di muka bumi.
Aisyah r.a. berkata, “Sesungguhnya ia merupakan surat yang terakhir diturunkan. Kehalalan apa saja yang kamu temui di dalamnya, maka halalkanlah ia. Dan keharaman apa saja yang kamu temui di dalamnya, maka haramkanlah ia.” (riwayat Hakim).
Surat terakhir yang diturunkan secara keseluruhan memang surat An Nashr, namun maksud dari pernyataan ini adalah hukum-hukum yang ada di dalam Surat Al Maidah adalah hukum yang terakhir diturunkan dan bersifat final. Di awal surat ALLAH mengatakan, “Sesungguhnya ALLAH menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki” dan di akhir surat ALLAH menegaskan, “Milik ALLAH kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” Kalimat ini seolah menegaskan latar belakang dari segala hukum dan alasan atas kelayakan hukum itu harus dipatuhi.
Menarik bila mengikuti alur surat ini, benar-benar aktual jika diproyeksikan dengan kondisi yang menimpa umat saat ini. Bila dikaitkan dengan permasalahan mutakhir umat, ada dua hal yang patut menjadi perhatian, bahkan maknanya dominan mengisi surat ini. Hal yang pertama adalah mengenai hakikat orang-orang kafir dalam memusuhi Islam dan hal yang kedua adalah adanya indikasi bahwa suatu saat umat ini akan mengikuti jejak umat-umat sebelumnya, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Ketika ALLAH menyatakan bahwa Ia telah menyempurnakan agama ini dan meridhainya, ALLAH mendahuluinya dengan menceritakan kondisi faktual orang-orang kafir, dan ini berlaku sampai saat ini hingga akhir zaman, yaitu betapa orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan Islam. ALLAH juga memerintahkan kepada Kaum Muslimin untuk tidak takut pada mereka, tetapi takutlah hanya kepada ALLAH.
Dari sini, satu hal yang pasti dan harus menjadi pegangan Umat Islam, yaitu sebenarnya orang-orang kafir telah putus asa untuk menghentikan nafas Islam yang telah berhembus ke segenap penjuru arah angin, dan segala aktivitas mereka saat ini yang bersinggungan dengan dunia Islam, apapun bentuk dan tampilannya, hanya menunjukkan dan makin menguatkan keputusasaan itu.
Hal dominan yang kemudian mengisi surat ini adalah jejak langkah umat-umat sebelumnya dan peringatan kepada Umat Islam agar tidak mengikuti mereka. ALLAH menceritakan bahwa Ia telah mengambil perjanjian dengan Bani Israil, namun karena mereka melanggar perjanjian itu maka status dan kondisi mereka berubah seketika menjadi kaum terlaknat. Lalu seperti apa pelanggaran janji mereka terhadap ALLAH ?
Jawaban dari pertanyaan ini kemudian layak menjadi pertanyaan pula bagi Kaum Muslimin saat ini, yaitu mereka suka mengubah firman ALLAH dari tempatnya atau mengubahnya dari makna seharusnya, dan mereka secara sengaja melupakan segala pesan dan peringatan dari ALLAH. Beginilah Bani Israil melanggar janji terhadap Tuhannya. Yang terjadi dengan Kaum Nasrani juga mirip. Mereka melupakan perjanjian mereka dengan ALLAH hingga sampai masa di mana ALLAH sendiri yang akan mengabarkan pada mereka mengenai apa yang telah mereka kerjakan.
Surat ini kemudian langsung menyentuh permasalahan yang saat ini menjadi akar utama segala konflik dunia, yaitu Palestina, Yerusalem, Al Quds. Masalah tanah suci ini adalah masalah yang sangat krusial dan kalaulah kata “kejayaan” itu punya makna berasosiasi tempat, maka tempat yang pantas menjadi asosiasi itu adalah Palestina.
Jadi Umat Islam hanya bermimpi belaka mengklaim menuju kejayaan sementara jalan mereka menuju tanah suci ini pun tidak jelas. Karena pentingnya tanah suci ini, maka Nabi Musa merasa perlu untuk mengingatkan kaumnya agar mereka mengingat kembali nikmat ALLAH kepada mereka, mulai dari adanya nabi di tengah-tengah mereka, perubahan kondisi mereka dari semula diperbudak kemudian menjadi bangsa merdeka, dan karena apa yang ada pada mereka ketika itu belum pernah dimiliki oleh umat lainnya.
Setelah itu Nabi Musa kemudian langsung menjawab permasalahan ini, yaitu agar segenap kaumnya masuk ke tanah suci ini dan jangan berbalik ke belakang karena takut kepada musuh, karena sikap sedemikian akan menjadikan mereka orang yang merugi.
Tetapi kemudian Bani Israil memberikan jawaban yang seolah rasional dan reasonable namun sebenarnya menunjukkan bahwa peringatan Musa untuk mengingat kembali nikmat ALLAH atas mereka seolah tidak berbekas di hati, yaitu mereka menjawab bahwa tidak patut mereka masuk ke tanah suci itu sementara yang menempatinya adalah orang-orang yang sangat kuat, superior, dan kejam.
Mereka hanya mau masuk jika orang-orang kuat itu keluar dan pergi terlebih dahulu. Sungguh jawaban yang menjawab perintah dengan bantahan tanpa kepedulian terhadap penyelesaian masalah.
Sikap mereka yang ingkar terhadap nikmat ALLAH ini kemudian dibalas dengan pernyataan yang hanya keluar dari orang-orang yang sudah tidak punya rasa takut lagi kecuali hanya kepada ALLAH, yaitu syarat kemenangan yang berupa menyerbu mereka yang mendiami tanah suci itu dari pintu gerbang mereka, bukan dari jalan samping dan belakang, dengan cara inilah kemenangan niscaya akan diraih. Tetapi cara ini mensyaratkan satu hal yang mutlak, yaitu tawakkal.
Di sinilah kemudian terletak perbedaan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang hatinya berpenyakit ketika mendefinisikan tawakkal. Orang yang hatinya berpenyakit akan menjawab seperti jawaban kaum Nabi Musa, “Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua.
Biarlah kami tetap menanti di sini saja.” Pernyataan ini sebenarnya bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap syarat kemenangan yang secara logika dan realita tidak terukur keuntungannya. Tawakkal bagi mereka adalah sikap yang seolah remeh dan di luar pilihan yang ada. Cukuplah ini menjadi pertanda bahwa iman mereka patut dipertanyakan.
Menanggapi pernyataan kaumnya, Nabi Musa hanya berkata, “Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” Ini menunjukkan bahwa implementasi perjuangan menuju kemenangan mensyaratkan untuk berpisah dari orang-orang yang fasik.
Kemenangan bukanlah barang obralan sehingga hanya orang-orang tertentu yang layak mengusahakan dan kemudian memetik hasilnya, yaitu mereka yang sedari awal menjaga syarat-syarat kemenangan itu dalam setiap langkah mereka.
Selanjutnya kisah Nabi Musa dan kaumnya ini menjadi latar belakang perintah ALLAH kepada Rasulullah saw untuk tidak bersedih hati terhadap perilaku orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik yang saling berkolaborasi, karena Nabi Musa pun pernah mengalaminya. Orang-orang munafik dan Yahudi memiliki wajah yang berbeda jauh tetapi hati mereka seolah tidak punya jarak untuk berbeda.
Ciri orang-orang munafik adalah mulutnya bicara iman tetapi hatinya bicara pengkhianatan, dan tabiat Yahudi adalah suka dengan berita bohong, propaganda kosong, dan gemar memutarbalikkan informasi mengenai ajaran yang dibawa Rasul. Mereka akan mempromosikan sesuatu yang telah diubah menurut kehendak mereka, dan akan menyuruh berhati-hati terhadap apa yang tidak sesuai dengan buatan mereka.
Untuk menghadapi persekutuan kaum munafik dan Yahudi ini, ALLAH memperingatkan untuk tidak takut pada manusia melainkan hanya kepada-Nya, jangan menjual ayat-ayat ALLAH dengan harga murah karena kepentingan duniawi, dan dipertegas dengan kalimat,” Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan ALLAH, maka mereka itulah orang-orang kafir.” Apakah ada kalimat yang lebih lugas dengan makna yang tegas dan jelas tanpa ambigu dari kalimat ini ?
Setiap ALLAH memerintahkan agar memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan-Nya, maka ini selalu terkait dengan bagaimana umat-umat sebelumnya dahulu juga pernah mengadakan perjanjian dengan ALLAH tetapi kemudian mereka melanggarnya. ALLAH memperingatkan untuk tidak mengikuti keinginan orang-orang Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang munafik, dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang.
Perintah untuk tidak mengikuti keinginan mereka itu diulang kembali dengan peringatan untuk waspada terhadap mereka, jangan sampai kaum pembangkang itu berhasil memperdayakan Umat Islam atas apa yang telah diturunkan ALLAH kepada mereka. Dan bila akhirnya di antara umat ini ada yang berpaling dari hukum-hukum ALLAH, melanggar perjanjian dengan-Nya, maka telah nyatalah kefasikan itu, dan tunggulah saat musibah bertubi-tubi menimpa.
Pesan ALLAH untuk memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan-Nya bukan hanya sekali ditegaskan dalam Surat Al Maidah, tetapi berulang-ulang secara eksplisit berturut-turut pada ayat 44, 45, 47, 48, dan 49. Dalam Al Quran banyak dijumpai pengulangan seperti ini, dan biasanya benar-benar hal yang amat mendasar, dan langsung menyentuh aspek ketauhidan dan akidah.
Tetapi seolah ada indikasi bahwa akan ada bagian dari umat ini yang mencoba untuk berpegang, berhukum selain dengan apa yang berasal dari ALLAH. Inilah kemudian yang tersirat dari pernyataan, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki ? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) ALLAH bagi orang-orang yang menyakini (agamanya) ?
Lalu bagaimana umat bisa terperdaya untuk dipalingkan dari hukum-hukum ALLAH ? Jawaban dalam Surat Al Maidah amat jelas dan terang. Umat ini akan dipalingkan dari hukum-hukum ALLAH ketika mereka menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai partner setia, penolong, penasihat, dan pelindung. Ketika umat menjadikan mereka sedemikian, maka seketika itu pula akan terlupa bahwa Yahudi dan Nasrani itu satu sama lain saling melindungi. Ini terlihat jelas dalam bagaimana kolaborasi Israel, Amerika, dan sebagian besar Eropa, yang untuk masa sekarang mewakili Kaum Yahudi dan Nasrani dunia.
Lihatlah apa yang telah dilakukan oleh mereka terhadap umat ini. Entah harus seperti apa lagi agar mata umat ini terbuka untuk menyadari apa yang sebenarnya telah menimpa dan masih terus mengintai dan mengancam mereka. Masalah ini kemudian dilanjutkan dengan penegasan dari ALLAH, bahwa sesiapa yang akhirnya menjadi partner Yahudi dan Nasrani, maka dengan demikian sebenarnya ia telah termasuk golongan mereka. Sungguh bencana yang luar biasa dan tak terkira bila ternyata yang menjadi partner ini malah orang-orang yang memegang kuasa dan pengaruh atas umat, sungguh bencana di atas bencana.
Dalam kondisi seperti ini akan terlihat jelas siapa-siapa yang munafik. Orang-orang munafik ini akan mendekati dan mencari perlindungan kepada Yahudi dan Nasrani dengan alasan takut bencana yang mengancam mereka sewaktu-waktu. Bencana itu ialah lepasnya kekuasaan dari mereka, persis seperti ketika Abdullah bin Ubay mendekati Yahudi untuk menghadapi Rasulullah dan para pengikutnya di Madinah.
Sungguh menyedihkan apa yang terjadi di Semenanjung Arabia saat ini. Hampir semua penguasa mereka berperan layaknya partner setia Israel, Amerika, dan Eropa. Jika mereka telah berkumpul bersama, maka pakaian dan tampilan mereka boleh beda, tetapi amat sulit membedakan tabiat dan tindak tanduk mereka terhadap umat. Adakah bencana yang lebih besar ketika bersebelahan dari tanah suci Madinah dan Makkah adalah pangkalan militer persekutuan Yahudi dan Nasrani ? Sungguh Umat Islam di Indonesia masih lebih beruntung dari jazirah arab dalam hal ini.
Bila pertemanan dengan Yahudi dan Nasrani ini sudah menjadi marak di tengah-tengah umat, maka ALLAH menetapkan janji-Nya, yaitu Ia akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Tidak sulit mengetahui ciri-ciri mereka karena Al Quran secara gamblang menjelaskannya. Yaitu mereka bersikap lembut terhadap orang-orang beriman, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan ALLAH, dan tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela.
Betapa sifat-sifat kelompok ini tidak samar. Kelembutan mereka terhadap orang-orang beriman akan terlihat dari bagaimana mereka tergerak untuk menolong saudara-saudaranya, tidak rela bila saudara-saudaranya dizalimi, memikirkan persoalan dan bencana yang menimpa umat serta berusaha mengatasinya dengan bersandar pada pertolongan ALLAH adalah tabiat mereka. Sikap keras mereka terhadap orang-orang kafir menunjukkan betapa mereka bukanlah orang yang plin plan.
Mereka telah mengambil garis pemisah antara jalan orang-orang kafir dan jalan mereka. Sikap keras mereka inilah yang kemudian membuat orang-orang kafir merasa terancam dengan kelompok ini. Maka untuk menghentikan gerak kelompok ini, orang-orang kafir akan membuat segala program, propaganda, diplomasi, dan resolusi yang isinya hanya celaan terhadap kelompok ini. Kelompok ini akan menjadi sasaran celaan dari banyak manusia yang tanpa sadar mengikuti celaan yang dibuat-buat oleh Yahudi dan Nasrani.
Sesudah ALLAH menjelaskan ciri-ciri kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, maka ini dilanjutkan langsung dengan ciri-ciri kelompok yang menang, seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang sama. Kelompok yang menang ini adalah mereka yang menjadikan ALLAH, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya. Tidak ada penolong mereka selain dari yang telah disebutkan.
Saat ini begitu banyak kelompok dari umat yang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Skema perjuangan dan sarana perjuangan pun berbeda. Mereka yang dalam perjuangannya kemudian tidak mampu menegaskan jarak pemisah antara mereka dengan Yahudi dan Nasrani serta dalam beberapa hal mengambil keuntungan dari hubungan mereka dengan Yahudi dan Nasrani, maka boleh-boleh saja mereka mengklaim berjuang, tetapi mereka tidak akan menjadi kelompok yang menang.
Mereka tetap akan menyebut diri mereka sendiri pejuang, tetapi mereka bukanlah pejuang yang akan meraih kemenangan. Kemenangan hanya pantas disematkan pada kelompok yang ciri-cirinya sudah diterangkan secara jelas oleh Al Quran.
ALLAH kemudian memperingatkan agar sesiapa yang mengaku beriman dari umat ini untuk tidak menjadikan pemimpin di kalangan mereka dari orang-orang yang membuat agama jadi bahan ejekan dan permainan. Orang-orang ini akan mencela agama mereka sendiri. Orang-orang ini akan mengatakan agama mereka terbelakang.
Mereka akan mengatakan agama mereka sudah ketinggalan zaman. Mereka mengatakan agama mereka harus disesuaikan dan ‘diperbarui’ dengan segala hiruk pikuk modernisasi. Mereka akan menggolongkan muslim yang beriman dan berpegang teguh pada aturan ALLAH sebagai orang yang aneh, janggal, anomali, dan malah dianggap menyimpang dari agamanya. Berhati-hatilah dengan segala permainan ini.
Sungguh tidak ada kitab yang menjelaskan segala sesuatu dengan terang-benderang selain Al Quran. Bahkan bila kita ikuti runtutan dari Surat Al Maidah, Surat At Taubah, dan An Nashr maka hati kita akan berdesir bahwa waktu kemenangan itu sudah semakin dekat, dan bagi mereka yang menyadari apa yang sebenarnya terjadi antara persekutuan Yahudi-Nasrani menghadapi dunia Islam saat ini, maka fajar kemenangan itu lebih dekat dari pelupuk mata mereka sendiri.
Sayangnya terkadang kita mengharapkan segala sesuatu datang dan tampil hanya berdasar keinginan kita semata. Kita berharap masa kemenangan itu akan datang dalam bentuk hidup yang standarnya adalah standar hidup orang-orang kafir, kemenangan itu akan datang dalam bentuk penguasaan berbagai atribut teknologi yang saat ini sudah samar, antara mana yang untuk menolong manusia memenuhi kebutuhannya dan mana yang malah memaksa manusia untuk memiliki kebutuhan-kebutuhan baru yang semula tidak diperlukannya dan kemudian menjadi bergantung terhadapnya.
Kita berharap kemenangan dengan segala kriteria, ukuran, syarat, yang malah berasal dari orang-orang kafir, dan kemudian mengabaikan kriteria, ukuran, dan syarat kemenangan yang berasal dari ALLAH. Sungguh jauh panggang dari api.
Bila ingin melihat fajar kemenangan Islam, maka lihatlah apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Irak, dan saat ini sudah merambah ke jazirah arab melalui Yaman, dan akan segera merambat ke segenap penjuru Islam. Segala tribulasi sedang menempa umat ini untuk memisahkan orang-orang yang beriman dan layak menjadi kelompok yang menang dari orang-orang yang fasik dan munafik.
Inilah tempaan yang akan memisahkan intan berlian dari bebatuan hina dan tidak berharga. Inilah badai hebat yang sedang membuat garis pemisah antara orang-orang yang berpegang teguh pada aturan ALLAH dan mereka yang hanya gemar bermain-main dengannya.
Dahulu Nabi Musa as. wafat sebelum membuka tanah suci itu, tetapi kemudian Thalut membukanya, dan itulah ketetapan-Nya. Dahulu Rasulullah saw. wafat sebelum membuka tanah suci itu tetapi kemudian Umar dan Shalahuddin datang untuk membukanya, dan itulah ketetapan-Nya. Telah berlalu masa yang panjang dan segenap pemimpin umat belum sempat membuka tanah suci itu tetapi akan selalu ada sosok Thalut, Umar, dan Shalahuddin untuk umat ini. Dan sungguh, adakah keistimewaan luar biasa yang dimiliki oleh umat di penghujung zaman ini ketika sosok-sosok ini bersatu dalam satu generasi dan masa ?
Wahai Muslim, umat sedang menunggumu, siapa yang akan maju menjadi Thalut-Thalut baru, Umar-Umar baru, dan Shalahuddin-Shalahuddin baru. Maka kuserahkan jawabannya padamu.
“Dan sungguh telah Kami mudahkan Al Quran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran ? “ (Al Qamar 32)
Ibnu Kahfi Bachtiar, guru di Universitas Maritim Raja Ali Haji