Ketika bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tidak ada perayaan besar-besaran untuk menyambutnya. Tidak ada hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut hari yang sudah dinanti-nantikan itu. Satu-satunya ‘perayaan’ yang dilakukan serentak oleh segenap bangsa ini di hari kemerdekaan itu adalah Shalat Jumat. Ya, hanya inilah kegiatan massal yang istimewa di hari kemerdekaan itu. Tidak ada acara makan-makan dan minum-minum karena semua punggawa negeri ini, pejuang, patriot, dan rakyat, mereka tetap menjalankan ibadah puasa Ramadhan mereka.
Kerongkongan para proklamator yang sudah kering karena hampir tidak tidur pada malam sebelumnya, bertambah kering setelah membacakan beberapa baris kalimat deklarasi. Para pemuda yang ruh perjuangannya terus menggelegak menjaga asa bangsa ini bahwa pertolongan-Nya pasti datang terus setia mengawal perjuangan hingga meyakinkan bahwa segenap bangsa ini harus berani mengambil risiko untuk segera menyatakan kemerdekaannya, walau ancaman Jepang dan Sekutu ada di tengah-tengah mereka.
Harta, keluarga, jiwa, dan darah sudah mereka korbankan. Banyak cita-cita pribadi yang harus direlakan demi kepentingan bersama. Entah apalagi yang kurang dari pengorbanan mereka. Namun satu tarikan nafas setelah baris terakhir proklamasi dibacakan, saksi-saksi proklamasi itu tercenung melihat keadaan rakyat di sekelilingnya. Segala sesuatunya belum berubah. Keadaan masih sama. Justru ujian yang lebih berat sudah hadir di hadapan.
Seorang muslim yang mempunyai akal, hanya melihat bahwa hidup ini adalah rangkaian ujian. Rangkaian ujian yang terdiri dari berbagai masalah, persoalan, tugas-tugas, ancaman, tantangan, dan bahkan berbagai peluang dan kesempatan serta kesenangan. Mereka yang lulus adalah mereka yang tidak dipalingkan dari jalan yang mereka yakini sebagai kebenaran. Kebenaran sejati tidak akan pernah berubah. Kebenaran di awal akan tetap menjadi kebenaran di akhir.
Segala sesuatu yang di luar ini adalah sesuatu yang berubah, suatu waktu bisa disebut benar, di lain waktu bisa disebut salah. Mereka yang istiqamah adalah mereka yang bersandar pada kebenaran sejati untuk menghadapi situasi yang berubah. Standar mereka terhadap kebenaran tetap, walau bagaimana pun dunia luar mengemas kebenaran menjadi berbagai pilihan meragukan dan menyesatkan.
Sedangkan mereka yang tidak konsisten adalah mereka yang bersandar atas sesuatu yang relatif dan senantiasa berubah, akibatnya mereka rentan tertipu dengan sesuatu yang disebut benar, dan bahkan mereka bisa sampai pada meyakini suatu kebenaran relatif menjadi pengganti kebenaran sejati.
Bila makna kemerdekaan disandarkan pada nasionalisme kebangsaan, bahwa setiap yang menginvasi dari luar bangsa mereka adalah penjajah, maka mereka hanya mengenal satu jenis penjajah, yaitu kaum yang berbeda bahasa dan berwarna kulit berbeda dengan mereka.
Tetapi mereka akan sulit mendefinisikan situasi ketika orang-orang yang mereka sebut sebagai penjajah sudah tidak menginjakkan kaki lagi di negeri mereka, namun kehidupan mereka layaknya orang-orang terjajah tidak berubah.
Dalam Islam, makna kemerdekaan melekat secara sempurna dengan kalimat syahadat. Ketika yang disembah, dipatuhi, ditakuti, hanya ALLAH, maka itulah kemerdekaan bagi seorang muslim. Namun bila sudah ada tandingan-tandingan baru yang hendak menggantikan posisi ALLAH ini, maka inilah yang sebenarnya disebut penjajahan.
Ketika Kaum Muslimin leluasa menggunakan Al Quran sebagai pegangan dan sumber hukum tertinggi mereka, maka itulah kemerdekaan. Tetapi ketika sudah ada aturan-aturan yang hendak mengubah apa yang sudah diatur di dalam Al Quran, maka Kaum Muslimin dalam hal ini berada pada posisi terjajah.
Ketika Kaum Muslimin sudah tidak bisa melangkah, mengambil keputusan, dan menyelesaikan masalah berdasarkan pada petunjuk Rabb mereka di dalam Al Quran yang mereka genggam erat, maka sesungguhnya tangan yang menggenggam Al Quran itu sudah dibelenggu dengan belenggu yang rapat. Kaki-kaki itu sudah terbelenggu.
Namun mata mereka akan dibiarkan bebas terbuka. Ketika manusia-manusia ini sudah dibelenggu, maka mereka hanya akan menjadi saksi bisu atas segala pertunjukan drama kepalsuan dan kebathilan dengan jalan cerita yang membosankan. Mereka akan menjadi saksi bagaimana kebenaran yang ditampilkan di depan mata mereka, berbeda dengan kebenaran yang mereka jumpai dalam Al Quran.
Mata mereka yang dibiarkan terbuka akan menjadi saksi langsung bagaimana kebenaran dalam kitab mereka kini menjadi hal yang dijauhkan dari mereka, dan apa yang semula mereka jauhi kini didekatkan ke wajah mereka, hingga wangi racun kepalsuan itu tercium oleh hidung mereka. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka lumpuh. Secara jasad masih hidup, tetapi secara jiwa dan ruh bisa dibilang sudah mati.
Ketika Fir’aun telah melampaui batas, tidak ada rakyatnya yang melihat bahwa Fir’aun ini sedang menjajah dan memperbudak mereka. Bagaimana mungkin, Fir’aun ini dari kaum mereka sendiri. Bahasa dan warna kulitnya sama dengan mereka. Ketika Musa hadir dan mengingatkan Fir’aun untuk meniti jalan Tuhannya dan takutlah kepada-Nya, maka seketika itu pula Musa ditetapkan sebagai musuh baru yang patut diwaspadai bersama.
Berbagai propaganda disebarkan untuk menjauhi apa yang disampaikan Musa. Tidak cukup sampai di situ, bahkan ketika kebenaran itu secara nyata hadir di depan matanya, penentangan Fir’aun semakin menjadi-jadi. Perintah penangkapan dilakukan untuk Musa dan segenap pengikutnya dari Bani Israil. Alih-alih hendak menamatkan riwayat Musa dan ajaran yang dibawanya, Fir’aun malah harus lebih dulu menerima kenyataan bahwa riwayatnya harus lebih dulu tamat.
Sungguh dramatis kisah yang disampaikan Al Quran. Fir’aun tidak mampu menolak kebenaran ketika segala hijab disingkapkan dari matanya. Penglihatannya kini tajam, karena nafasnya sudah sampai di tenggorokan. Jasadnya pun dibiarkan utuh agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahnya. Pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran.
Wahai muslim, alangkah samanya kemarin dan hari ini. Fir’aun dulu dan sekarang, apa bedanya. Fir’aun tetaplah Fir’aun. Penjajah selalu hadir dengan propaganda untuk membebaskan dan memerdekakan, namun yang terjadi sebenarnya hanyalah perbudakan, penghambaan. Sedangkan Islam hadir untuk membebaskan manusia dari penjajahan sampai ke akar-akarnya. Beginilah, Islam akan selalu menjadi musuh dan selalu dimusuhi para penjajah.
Namun karena dunia ini adalah ajang ujian antara kesejatian dan kepalsuan, maka akan selalu ada yang menganggap Fir’aun dan para penjajah itu sebagai pahlawan ketika masih ada sekelompok yang melihat betapa Fir’aun ini sudah lupa diri hingga hendak mengambil otoritas ALLAH.
Dahulu penguasa Mesir maju dengan dukungan Umat Islam karena umat melihat ia hendak menghapus penjajahan. Tetapi ketika ia mulai bermetamorfosa menjadi penjajah baru dengan hendak menggantikan jati diri Islam rakyatnya, maka bagaimana mungkin setiap muslim yang masih memiliki akal akan mendukung penjajahan ini. Penguasa ini boleh memenjarakan dan menggantung Abdul Qadir ‘Audah, Muhammad Farghali, Sayyid Qutb, Yusuf Hawash, dan Abdul Fattah Ismail.
Tetapi sungguh betapa tertipunya ia secara telak ketika mengira ia telah mencabut kemerdekaan orang-orang yang digantungnya. Justru orang-orang inilah mereka yang benar-benar merdeka. Sampai akhir hayat mereka, tidak digoyahkan sekalipun oleh tawaran penguasa yang hendak menandingi ALLAH. Sebelum dipenjara, syahadat mereka benar. Setelah dipenjara, syahadat mereka benar. Ketika tali tiang gantungan sudah dililitkan ke leher pun, syahadat mereka tetap benar.
Kata-kata dan keteguhan mereka semakin nyaring menembus pelosok bumi setelah mereka berkorban nyawa. Sungguh inilah nikmat kemerdekaan bagi orang-orang yang tinggal di belakang mereka. Bahkan ketika apa yang dilakukan penguasa ini begitu kejam dan tak terbayangkan bisa dilakukan terhadap seorang perempuan seperti Zainab al-Ghazali, sungguh ia tidak mampu mencabut kemerdekaan sejati itu dari seorang Zainab.
Layaknya Fir’aun, ia menganggap hidup mati manusia berada di tangannya, justru ajal penguasa ini lebih dulu datang dari orang yang dikira telah berhasil dijajahnya. Wahai muslim, lalu siapa yang sebenarnya terjajah ?
Mungkin dahulu tidak ada yang pernah mengira bahwa seorang patriot bangsa Turki yang berjuang atas nama Islam mengusir bangsa yang hendak menjajah negerinya, namun ketika berkuasa, betapa cepatnya ia pun berubah menjadi penjajah baru negerinya. Bangunan khilafah peninggalan Rasulnya ia runtuhkan.
Identitas muslim rakyatnya hendak ia ganti dengan identitas bangsa yang hendak menjajahnya. Ia kabarkan kemerdekaan penuh kesemuan kepada rakyatnya. Tetapi betapa banyak yang menganggapnya pahlawan hingga kini. Bahkan betapa banyak yang masih menyematkan pin bergambar dirinya pada baju mereka ? Lihatlah muslimah Turki, adakah mereka mendapatkan kemerdekaan dengan hijabnya di negeri mereka sendiri ? Inilah contoh peninggalan penguasa yang hendak menggantikan otoritas ALLAH.
Natsir yang biasanya lembut dalam berkata-kata bisa berubah menjadi keras dan tegas ketika ia melihat penguasa ketika itu sudah lupa diri. Islam dan umatnya hendak dijauhkan dari negara dan rakyat, diganti dengan kekuasaan tunggal yang menjadikan standar kebenaran pada diri seorang manusia. Seketika Natsir dicap sebagai pembangkang.
Namun siapa yang pembangkang ? Pembangkang pada kekuasaan yang sudah lupa diri atau pembangkang kepada ALLAH ? Bagaimana mungkin mengkhianati Umat Islam ? Umat ini yang mengorbankan harta dan darah mereka demi mengusir para penjajah asing dari negeri mereka. Umat yang sedari awal berjuang dengan panji jihad fisabilillah. Umat yang berjuang agar tidak ada lagi tandingan-tandingan ALLAH yang hendak memperhambakan manusia.
Bila mereka berjuang dengan Islam, mendapatkan kemerdekaan dengan Islam, lalu bagaimana mungkin setelah merdeka malah meninggalkan Islam. Bagaimana mungkin menelan ludah sendiri setelah mengatakan bahwa kemerdekaan semata adalah atas rahmat Dia Yang Maha Kuasa ? Sungguh pengkhianatan terbesar terhadap nikmat kemerdekaan yang telah diberikan oleh-Nya.
Umat Islam di penjuru dunia sedang menyaksikan bagaimana permusuhan terhadap syariat Islam itu datang malah dari kaum mereka sendiri. Bak pahlawan, mereka kabarkan langkah-langkah penyelamatan dengan mengambil sebagian dari isi Kitabullah, tetapi mereka tolak sebagian yang lain. Sungguh lugas bagaimana Al Quran menggolongkan orang-orang ini. Mereka ambil orang-orang kafir sebagai pemimpin dan mereka tinggalkan orang-orang beriman. Tidak henti-hentinya mereka menzalimi umat ini.
Benarlah perkataan Umar, Sang Pembeda, bahwa kehinaan lah bagi mereka (orang-orang yang mengaku Islam) yang hendak mencari kemuliaan selain dengan Islam. Wajar rasanya mereka senantiasa menghalang-halangi Al Quran tegak sebagai hukum tertinggi yang diacungkan oleh setiap muslim. Bagaimana tidak, segala ciri-ciri, langkah, dan siasat mereka dijelaskan secara gamblang oleh Al Quran. Kedok mereka akan terbuka lebar bila Al Quran menjadi acuan dalam berbagai sendi kehidupan.
Sungguh bila syariat ALLAH di muka bumi ini hendak dipadamkan, maka ALLAH sendiri yang akan menunjukkan pada mereka yang menyombongkan diri, bagaimana Dia akan tetap menyalakan cahaya-Nya. Dengan bentuk apapun skenario manusia hendak memadamkan cahaya-Nya, Dia akan mengalahkan dengan skenario terbaik karena Dia lah sebaik-baik pembuat skenario.
Semakin mereka berusaha memadamkan, semakin terang nyala cahaya-Nya. Hingga ketika mereka kehabisan nafas, cahaya itu akan semakin terang benderang, semakin silau, hingga membutakan mata mereka sendiri, dan justru ketika itulah penglihatan mereka akan menjadi sangat tajam.
Bangsa ini menyatakan kemerdekaannya di Hari Jumat, hari yang terbaik. Lahir sebagai bangsa merdeka di Bulan Ramadhan, bulan yang terbaik. Dan Ramadhan harus menjadi momentum bagi segenap umat untuk memeriksa kembali kemerdekaan mereka, meneliti kembali kemerdekaan mereka. Ramadhan kini menjadi saksi ketika manusia berlomba-lomba di muka bumi hendak memberikan dan mendapatkan kemerdekaan palsu, justru orang-orang beriman masih memiliki izzah menunjukkan jati diri orang-orang merdeka di bumi Palestina, Afghanistan, Irak, dan bumi Islam lain yang tidak hendak diperhambakan oleh selain-Nya.
Ramadhan kini dan berikutnya akan menjadi saksi apakah ruh perjuangan yang mereka miliki ketika merebut kemerdekaan itu masih ruh yang sama dengan ruh yang menghadapkan wajah mereka ke Al Quran dan menggerakkan tangan mereka untuk menggenggamnya, ataukah ruh yang malah memalingkan mereka dan melepaskan genggaman mereka darinya.
“Jangan sekali-kali kamu terperdaya oleh kegiatan orang-orang kafir di seluruh negeri.” (Q.S. Ali Imran 196)
“Wahai orang-orang yang beriman ! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga dan bertakwalah kepada ALLAH agar kamu beruntung. “ (Q.S. Ali Imran 200)
“Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, (yaitu)”Berimanlah kamu kepada Tuhanmu” maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Q.S. Ali Imran 193)
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sungguh, Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (Q.S. Ali Imran 194)
Ibnu Kahfi Bachtiar, guru Universitas Maritim Raja Ali Haji