Baiklah saudaraku, izinkan saya bertanya padamu. Siapa pemimpin rakyatmu saat ini? Baiklah, berikutnya, siapa pemimpin dunia saat ini? Jawabannya terserah padamu, apa saja, bisa seorang manusia atau individu, bisa pula sebuah kelompok manusia yang tergabung dalam organisasi atau negara sekalipun, bisa pula yang lainnya. Nah, mari kita periksa satu-satu jawaban saudaraku semua. Bila jawaban saudaraku pada pertanyaan pertama adalah Presiden, maka saya meminta maaf bila harus mengatakan bahwa ketika saudara menjawab, maka saudara dalam keadaan terlupa. Untuk pertanyaan kedua, bila saudaraku menjawab sebuah negara atau sekelompok negara yang mereka sendiri sedang menanti ajal ideologi mereka, maka sekali lagi saya meminta maaf bila harus mengatakan bahwa ketika saudara menjawab, maka saudara dalam keadaan tidak sadar.
Izinkanlah saya menyampaikan alasan egois saya atas mengatakan bahwa bila jawaban anda seperti yang tersebut di atas, maka anda saya katakan sedang terlupa dan tak sadar ketika menjawab. Jawaban saya, pemimpin rakyat saya saat ini belum ada, dan pemimpin dunia saat ini adalah Islam. Kalau dipikir agak aneh bukan? Islam sudah menjadi pemimpin tetapi di sebuah negara yang mayoritas penghuninya mengaku Islam, malah belum ada pemimpin. Inilah yang dikatakan, Islam terhijab oleh umatnya. Ya, kepemimpinan Islam terhijab oleh kelupaan umatnya atas definisi pemimpin itu sendiri. Sejak zaman Nabi Adam dahulu, Islam sudah menjadi pemimpin di dunia ini, kalaulah kita tidak mau mengatakan seluruh bumi berserta isinya ini. Para nabi dan rasul membuka hijab kepemimpinan Islam atas bumi ini dengan kepemimpinan mereka sebagai pemimpin umatnya. Ya, ini berlanjut hingga masa pemimpin agung kita, Rasulullah SAW. Ini kemudian diteruskan oleh para khalifah, para imam, dan para ulama yang terbimbing.
Dalam mendefinisikan pemimpin, Islam tidak mengenal hirarki. Bila rakyat di bawah, pemimpin pun di bawah. Bila rakyat lapar, pemimpin pun lapar. Bila rakyat kedinginan, pemimpin pun kedinginan. Bila rakyat tinggal dalam kesederhanaan, maka pemimpin pun menjauhi istana kemewahan. Bila rakyat berjuang, pemimpin pun yang paling depan berjuang. Tidak ada istilah Presiden, Kepala, Ketua, Chief, dan Head dalam Islam. Itu semua bukan definisi Islam. Mereka semua adalah hirarki. Lihatlah, Presiden tinggal di Istananya. Kepala hanya ingin di atas. Ketua hanya ingin di tempat yang paling nyaman. Chief hanya ingin yang paling banyak disebut namanya. Head hanya ingin namanya yang paling atas ditempatkan. Bila rakyat di dasar lembah, pemimpin di puncak gunung, maka seketika itu pula batal predikat kepemimpinannya. Bila rakyat kelaparan, pemimpin masih bisa terlelap karena kekenyangan, maka seketika itu pula tercabut rasa malunya. Bila rakyat hidup sempit dalam kesederhanaan, pemimpin hidup lapang dalam kemewahan, maka seketika itu pula ia sudah keluar dari lingkungan rakyatnya. Saudaraku, Islam hanya mengenal satu definisi, Pemimpin, A Leader !
Cobalah sekarang saudaraku tanya pada 230 juta rakyat Indonesia, “Siapakah yang mau menjadi pemimpin?” Adakah yang mau? Yang mau menjadi Presiden, banyak! Yang mau menjadi Kepala, ramai! Yang mau menjadi Ketua, berebutan! Yang mau menjadi Chief, bergerombolan saling menjatuhkan! Yang mau menjadi Head, berlomba-lomba memenangkan ketenaran! Ya, beginilah, pemimpin mencerminkan rakyatnya. Rakyatnya menginginkan Presiden, beginilah akibatnya. Rakyatnya mengharapkan Kepala, beginilah terbelakang kondisinya. Rakyatnya menginginkan Ketua, terperosok terus yang di bawahnya. Rakyat mengajukan Chief, yang mengajukan malah dilupakan. Rakyat menaikkan Head, jangan harap sang Head hendak turun ke bawah. Saudaraku, pemimpin itu adalah pilihan. Jika segenap bangsa ini tidak juga mengambil pilihan ini, maka ALLAH sendiri yang akan memilihnya! Camkan itu! Tetapi ingat, tak kan beranjak kaki kita di Hari Kiamat kelak, kecuali setelah kita memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak menyisakan yang besar maupun yang kecil, pertanyaan yang tidak melewatkan yang teringat maupun yang terlupakan, dan pertanyaan yang tidak pernah peduli apakah itu pilihan atau ketidakpedulian.
Lalu bagaimana jika kemudian ada yang mengambil pilihan ini dan mereka sendiri banyak? Hmm..belum jelaskah saudaraku atas definisi pemimpin dalam Islam? Pemimpin sejati itu tidak mengejar kedudukan, tetapi ia yang didudukkan. Pemimpin sejati itu tidak memaksakan, tetapi ia yang dipaksakan oleh persetujuan. Pemimpin sejati itu amat takut dan senantiasa takut akan beban, tetapi ALLAH Yang Membuat rasa takutnya tetap menjadi ketakutan dalam menerima tampuk kepemimpinan, tetapi ALLAH pula kemudian Yang Menjadikan ketakutan itu kehati-hatian dalam menjalankan apa yang diemban. Tidak ada masalah bila yang mengambil pilihan ini banyak jumlahnya. Justru inilah pertanda kebangkitan. Karena jika kemudian yang menjadi pemimpin adalah dia yang dari sekian banyak, maka pastilah ia benar-benar sang pilihan.
Bila diibaratkan tubuh, manakah pemimpin itu? Ia tidak mungkin sang kepala. Mana ada kepala yang mau apa yang dipijak mencemari wajahnya. Ia tidak mungkin sang mata. Mata mana yang sanggup menangkap apa yang tak terlihat olehnya. Ia tidak mungkin sang mulut. Adakah mulut yang menjadi keselamatan karena begitu mudahnya kesia-siaan menjadi lontaran?
Pemimpin itu tidak lain adalah hati. Ia berada di tengah-tengah yang lain. Ketika berdiri ia tidak di atas tidak pula di bawah. I sedikit ke atas agar masih bisa melihat jelas. Yang bawah menghendaki ia sedikit tinggi, karena hanya ingin merasa tetap diayomi. Ia menghubungkan dan menyeimbangkan. Ketika duduk, ia tepat ditengah-tengah, karena di situlah saatnya ia bersidang dan mengambil keputusan. Ketika berbaring, ia tidak yang paling kiri dan paling kanan, ia tetap di tengah sembari tetap menghiraukan. Ia menyaring agar yang lain terhindar dari apa yang tidak diinginkan. Ia tetap bekerja tatkala yang lain istirahat bergiliran. Ia hanya diam tatkala yang lain hanya ingin menjadi satu-satunya yang didengarkan. Ia tidak ingin terlihat, karena memang tidak perlu terlihat. Pemimpin itu adalah hati. Baiknya segumpal ini, baiklah keseluruhan umat ini.
Nah, saudaraku, sekarang saya ingin kembali mengulang, “Siapakah yang engkau inginkan untuk rakyatmu?” Maaf, kali ini saya terlalu egois untuk ingin menjadi yang lebih dahulu menjawabnya. I just want a leader !
Profil Penulis :
Ibnu Kahfi Bachtiar, mahasiswa S2 bidang energi terbarukan pada Universitas Oldenburg (Jerman), saat menulis sedang menanti tesis disidangkan.