Dalam Al Quran, hijrah diletakkan bersanding dengan iman dan jihad. Orang yang mengaku beriman suatu saat akan mendapati sebuah kondisi yang menjadikan hijrah sebagai pilihan yang harus diambil. Segala rencana, cita-cita, metode, dan strategi terkait jihad menegakkan kalimat ALLAH juga akan menjadi jelas setelah berhijrah.
Kenapa mesti berhijrah ? Ini karena iman menuntut adanya kondisi yang berubah. Iman adalah cahaya setelah kegelapan, kesadaran setelah terlelap, bangun bergerak setelah diam, berani setelah terikat dalam ketakutan, dan membulatkan tujuan setelah bimbang dalam keraguan.
Motivasi dasar dalam hijrah adalah mengharapkan adanya kondisi yang berubah, dan modal dasar untuk merealisasikan perubahan ini adalah iman yang terselamatkan. Di sinilah letak kekuatan hijrah. Hanya orang-orang beriman yang mampu melakukannya. Bila kemapanan menjadi tembok tebal perubahan, maka hijrah adalah jawaban. Meninggalkan segala yang dicintai demi menyelamatkan iman, bukankah ini menunjukkan betapa besar cinta pada yang diimani.
Hijrah adalah jalan Nabi dan Rasul beserta para pengikut mereka. Karena hijrah, rumah ALLAH yang pertama dibangun di muka bumi ini. Karena hijrah, gurun padang pasir dapat berubah menjadi tempat yang paling dirindukan oleh seluruh manusia yang pernah mengucapkan kalimat syahadat. Ada daya tarik yang begitu kuat memanggil mereka.
Ketika di sekeliling mereka penuh dengan segala cinta yang semu, siapa yang tidak tertarik untuk merasakan makna cinta sejati dari jejak langkah Ibrahim? Ketika begitu mudahnya mereka berputus asa karena masalah remeh keduniaan, adakah pelajaran yang lebih berharga dari menapaktilasi ikhtiar Ibunda Hajar, bahwa ketika keimanan menjadi penggerak setiap langkah, maka Dia Yang Ahad akan menunjukkan betapa dunia itu tidak lebih dari bekas pijakan kaki.
Ketika sehari-hari mereka hidup dalam kebanggaan kelompok, golongan, kebangsaan, kesukuan, keturunan, kelas, kemana lagi mereka bisa menemukan sebuah tempat di mana sisa-sisa persatuan umat yang susah payah dibangun Rasulullah SAW empat belas abad lalu itu masih eksis. Terngiang-ngiang pesan Rasul tercinta ketika berkhutbah di Arafah. Terngiang-ngiang pesan terakhir Rasulullah SAW kepada umat tercinta pada Haji Perpisahan. Semua ini berakar dari sebuah peristiwa yang karakternya selalu sama tetapi berulang dengan pelaku dan zaman yang berbeda, yaitu Hijrah.
Dalam hadits mengenai pentingnya niat, Rasulullah menjadikan hijrah sebagai contoh perbuatan. Syarat utama diterimanya amal disandingkan pula dengan amal yang utama.
Sungguh hadits Rasulullah SAW tersebut tergambar secara sempurna pada para sahabat yang hijrah. Bukan dunia tujuan mereka, bahkan mereka tinggalkan itu semua. Bekal yang menyampaikan mereka pada tempat tujuan hanyalah keimanan dan ghirah agar iman itu tetap terjaga. Mereka hijrah untuk ALLAH dan rasul-Nya.
Ketika penduduk Quba punya kebiasaan baru, pergi sampai ke pinggiran terbuka, menanti-nanti orang yang sudah dirindukan. Siapa yang dinanti? Seseorang yang mereka sendiri belum pernah bertemu dengannya, tetapi telah sampai berita mengenai sifatnya, akhlaknya, risalah yang dibawanya, dan mereka pun mengimaninya.
Sungguh mengherankan bagi mereka yang tidak mengenal keimanan. Cinta dan kerinduan untuk seseorang yang belum pernah ditemui. Betapa jelas pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah pada umat ini. Pesan pertama sesampai di Quba adalah, ”Tebarkan salam, beri makan orang yang lapar, sambung silaturahim, shalatlah ketika orang-orang terlelap”.
Inilah resep Rasulullah untuk membentuk masyarakat yang beradab ketika masyarakat lain larut dalam ketidakpedulian, kebodohan, jahiliyah. Institusi yang pertama dibangun pun adalah masjid. Inilah pusat persatuan umat, pusat pembinaan umat, dan poros perubahan.
Hijrah mempersatukan suku-suku di Madinah yang sebelumnya bertikai. Hijrah mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin yang tidak punya pertalian darah. Islam dibangun bukan atas pertalian bawaan semacam itu, ia dibangun dengan tali langit berupa kesaksian bahwa tiada ilah kecuali ALLAH dan Muhammad adalah rasul-Nya. Hijrah adalah tonggak awal tumbuhnya sebuah masyarakat yang karakteristiknya ketika itu belum pernah dikenal, bahkan hingga kini pun tidak ada bandingannya.
Hijrah adalah tonggak awal pembebasan negeri-negeri dengan jihad fisabilillah. Setiap putaran waktu setelah hijrah adalah detik-detik kecemerlangan Islam. Tidaklah mengherankan ketika Umar hendak menetapkan titik awal kalender Islam, ia seolah hendak menetapkan titik awal bermulanya Islam sebagai roda penggerak perubahan peradaban, dan hijrah sebagai jawaban cerdas Ali adalah pilihan yang tidak ada bandingan.
Lalu bagaimana umat kini menggerakkan kembali roda perubahan itu? Mereka harus meniti langkah sebagaimana Rasulullah SAW memulainya, yaitu membina persatuan umat. Sesungguhnya dasar persatuan umat ini adalah iman, bidang pertemuannya adalah hijrah, dan penjaga kelangsungannya adalah jihad.
Secepat umat ini hijrah melepaskan segala keterikatan yang membuat mereka berada dalam barisan yang terkotak-kotak, secepat itu pula persatuan mereka akan terbina dalam barisan yang satu. Bila persatuan ini sudah bersepakat atas keniscayaan jihad dalam menjaga keberlangsungan umat, maka sesegera mereka bersepakat memenuhi panggilan jihad, sesegera itu pula ujung Timur dan Barat berada di bawah pijakan kaki mereka.
Penulis : Ibnu Kahfi Bachtiar, guru di Universitas Maritim Raja Ali Haji