Harta yang paling bernilai dari sebuah peradaban adalah pemuda. Bagaimana tidak, ketika kebanyakan orang-orang di sekeliling mereka sudah hampir putus harapan dan bingung mendefinisikan apa itu pasrah, tawakal, ikhtiar, takdir, dan sejarah, maka para pemuda adalah kelompok yang dengan jelas dan terang menangkap definisi dari hal-hal tersebut. Sungguh unik keberadaan pemuda dalam sebuah umat. Ketika semangat sudah sulit didapat, mereka temui semangat itu pada pemuda.
Bila ada yang hendak mendengar bahwa sesuatu itu mungkin ketika yang lain sudah mengatakan “jangan melawan arus”, maka para pemuda lah yang mengatakan bahwa di mana-mana yang tidak melawan arus itu adalah yang terombang-ambing, sedangkan tidak akan sampai kapal itu di tujuan jika arus tidak dilawan dan dihadapi. Bahkan arus besar yang mengancam nyawa pun tidak layak untuk dibandingkan nilainya dengan sampainya kapal pada tempat tujuan yang hakiki dan sejati.
Lalu bagaimana bila para pemuda ini adalah pemuda yang perjalanan harinya tidak lepas dari kalimat syahadat yang berdengung di telinga, terucap di bibir, dan sudah menyatu dengan hati ? Bagaimana bila pemuda ini adalah ketika yang lain cemas dengan dunia beserta isinya, sedangkan mereka hanya cemas ketika mushaf itu belum terpegang olehnya ketika membuka, mengisi, dan menutup hari ?
Bagaimana bila pemuda ini ketika yang lain mencurahkan tenaga dan pikiran untuk memperindah halte dunia mereka sedangkan para pemuda inilah yang tenaga dan pikirannya disibukkan hanya untuk mempersiapkan apa yang hendak dikatakan sesudah mati ? Bagaimana bila pemuda ini ketika yang lain begitu kenal dengan taghut-taghut baru yang mencoba menarik hati, maka mereka lah yang sudah memenuhi hati dengan teladan para nabi, generasi awal yang kisahnya harum semerbak wangi, para syuhada yang tetap hidup walau dikira mati, dan para pejuang sejati yang tetap akan ada sampai ketika tidak ada lagi yang bisa disebut sebagai hari ?
Lalu sebandingkah hati, pikiran, nurani, semangat, air mata, tetes keringat, dan darah para pemuda ini dengan dunia beserta isinya yang dalam Al Quran pun sama sekali tidak pernah dipuji ? Pantaskah ada yang mendahului langkah persatuan umat itu bila bukan dari para pemuda ini ?
Dahulu bangsa ini pernah melihat pemudanya bersatu. Kebanyakan masing-masing membawa nama tanah di mana mereka lahir, kecuali Jong Islamitenbond. Kenapa ? Karena tanah terlalu hina untuk dibawa-bawa sebagai identitas bagi mereka yang sudah meletakkan Islam dan ketauhidannya sebagai satu-satunya kemuliaan. Luar biasa apa yang dibawa para pemuda itu.
Tidak sampai seratus jumlah mereka, jumlah yang tidak sekalipun bisa disebut secuil dibandingkan bangsa mereka yang sudah melimpah jumlahnya. Tetapi lihatlah apa yang mereka deklarasikan dan kelak disebut sumpah. Sungguh jauh berarti dari deklarasi penghambaan sebagian besar bangsanya yang masih belum tahu bagaimana hendak mencabut deklarasi penghambaan turun temurun itu.
Belum lagi merdeka, dan pada saat itu hanya mimpi belaka menyebut-nyebut merdeka, mars yang kelak menjadi lagu kebangsaan sudah lantang menyebut “Merdeka !”. Lalu mimpi siapa yang benar ? Mimpi para penikmat arus zaman atau mimpi para pemuda yang tidak punya apa-apa melainkan kesadaran ? Inilah mimpi yang diakui zaman dan kelak dibuktikan oleh zaman.
Kalaupun ada Kongres Pemuda Jilid Dua, maka yang ini harus berbeda. Pesertanya adalah mereka yang mengutamakan ketauhidan di atas segala-galanya. Para pemuda yang hadir tidak membawa nama tanah mereka lahir. Mereka memang membawa nama tempat lahir mereka, tetapi tempat lahir mereka itu bukanlah tanah, melainkan tempat lahirnya hidayah yang diturunkan-Nya. Mereka memang membawa nama organisasi mereka, perkumpulan dakwah mereka, harakah mereka, dan kalaupun ada, manhaj yang dianggap berbeda.
Tetapi syahadat mereka terlalu berat pertanggungjawabannya bila semua nama itu menggantikan Satu Ilah mereka. Diri mereka terlalu lemah bila banyaknya kitab rujukan mereka harus dipaksakan menggantikan Kitabullah, rujukan dari segala rujukan. Bendera mereka tidaklah lebih berharga bila hendak menggantikan Panji Islam, satu-satunya bendera yang diridhai-Nya.
Tempat yang dipilih pun bukanlah tempat yang tidak punya sejarah kental dengan risalah Rasulnya. Rasanya ada dua pilihan, Aceh sang Serambi Mekkah, tanah yang sejarahnya adalah perjuangan mengentaskan penghambaan manusia terhadap manusia, dan Bumi Minangkabau, kalaulah boleh disebut Serambi Madinah, bumi tempat lahirnya para ulama istiqamah yang menunjukkan betul arti perjuangan.
Lalu apa keistimewaan kedua tempat ini dibandingkan tanah biasa yang sudah padat dengan hiruk pikuk pusat pemerintahan yang sudah asing dari rakyatnya sendiri ? Tidak lain karena kedua bumi ini adalah bumi Zamrud Khatulistiwa yang paling dekat dengan Mekkah dan Yerusalem. Ke sanalah seharusnya umat ini menghadap. Kalaupun bervisi untuk bersatu, maka satukanlah visi itu dengan kiblat yang sama. Kalaupun boleh bermimpi, bermimpilah untuk menginjakkan kaki ke kedua tanah itu sebelum menginjakkan kaki di surga.
Bila dahulu kebangkitan bangsa ini banyak digerakkan oleh para pemuda dari negeri yang asing dengan makna tauhid, adakah berlebihan bila sekarang berharap kebangkitan itu banyak digerakkan oleh para pemuda dari negeri yang ketauhidan adalah sejarahnya sendiri. Kadang-kadang masalah itu memang lebih jelas bila dilihat dari luar sana.
Di manakah engkau wahai pemuda dari negeri Mesir ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Libya ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Sudan ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Afrika ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Jerman ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Belanda ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Swiss ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Perancis, Inggris, Skandinavia, Bosnia, dan Eropa ! Di manakah engkau wahai pemuda dari negeri Hijaz ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Arabian Peninsula ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Pakistan ! Di manakah engkau wahai pemuda dari India ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Malaysia ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Jepang ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Asia ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Australia ! Di manakah engkau wahai pemuda dari USA ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Kanada ! Di manakah engkau wahai pemuda dari Amerika !
Sungguh…adakah sebutan lain bila bukan kemubaziran bila sudah tersebarnya pemuda umat di lima benua tetapi mereka merasa berat untuk bertemu di satu tempat di Zamrud Khatulistiwa ? Jawaban apa yang mereka punya bila datang kepada mereka malaikat penanya ?
Lalu apa agenda Kongres Pemuda ini ? Diri ini terlalu lemah untuk mengatakan apa yang belum pantas disebut. Kepala ini terlalu kecil untuk mendahului kumpulan kepala-kepala yang zikirnya adalah berpikirnya itu sendiri. Cukuplah para pemuda ini yang berembuk bersama dan membulatkan sebenarnya apa mau mereka, apa visi mereka, dan apa yang harus dipersiapkan. Cukuplah agenda terdekat adalah bertemu. Ya, mempertemukan pemuda umat yang sebenarnya dalam diri mereka mengalir darah yang sama, darah orang-orang beriman.
Bila sebelumnya mereka bisa berkata sinis pada saudaranya, masihkah kalimat sinis itu keluar ketika melihat wajah saudaranya ? Bila sebelumnya berniat hendak habis-habisan berdebat dengan saudaranya, cairkah niat itu ketika mendapat ucapan salam, jabat tangan, dan pelukan dari saudaranya ? Bila sebelumnya tidak bersatu, begitu mustahilkah untuk berharap bahwa akan ada persatuan yang hendak diubah dari sekedar cita menjadi nyata ?
Jangan berharap hendak bersatu sebelum bertemu. Rasulullah SAW mempersatukan Anshar dan Muhajirin dengan mempertemukan mereka, bahkan setiap Anshar pulang membawa satu Muhajirin sebagai saudaranya. Adakah sejarah umat lain yang mengisahkan persatuan seperti ini ? Sejak kapan ukhuwah bisa terjalin dengan bertemu secara maya tanpa bertemu langsung dengan saudaranya yang wajahnya memancarkan keimanan yang menular lebih cepat dari penyakit mematikan sekalipun ?
Umat ini sudah cukup lama tertidur. Umat ini sudah lama menanti titik terang kebangkitan yang hanya pantas dibawa oleh para pemudanya. Umat ini sudah terlena hanya untuk menggantungkan perubahan dari siklus perubahan yang diformalkan. Umat ini sedang menanti mereka yang meneladani Pemuda Muhammad yang mampu menyatukan kabilah-kabilah yang saling bertentangan hanya untuk memperoleh kehormatan meletakkan sebongkah batu hitam.
Umat ini sedang menanti pemuda yang meneladani Ali yang ketika berumur 23 tahun sudah merelakan jiwa raganya menempati tempat tidur Rasulullah SAW demi kelangsungan cahaya Islam walau sewaktu-waktu ayunan pedang musuh membuatnya tidak akan berjumpa lagi dengan Rasul junjungan tercinta. Umat ini sedang menanti pemuda yang meneladani Mush’ab, Duta Islam pertama, pembuka keran hijrah, pemegang panji Islam di Perang Badar dan Uhud, yang ketika menjemput syahid di tangan musuh, hanya berucap “Muhammad hanyalah utusan ALLAH, dan telah berlalu sebelumnya utusan-utusan ALLAH “. Umat ini sedang menanti pemuda yang meneladani Usamah yang ketika berumur 20 tahun sudah memimpin pasukan yang diikuti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Umat ini sedang menanti pemuda yang meneladani Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah yang syahidnya mereka kemudian menjadi pemadam kearoganan Romawi. Umat ini sedang menanti pemuda yang meneladani Khalid, yang rahasia tidak terkalahkannya pasukan yang dipimpinnya semata-mata karena ALLAH, Rasulullah SAW, dan orang-orang beriman yang menjadi penolongnya. Umat ini sedang menanti pemuda yang meneladani Shalahuddin Al Ayyubi yang mengambil kembali apa yang menjadi hak Kaum Muslimin yang tanpanya Kaum Muslimin menjadi kehilangan arti. Umat ini sedang menanti pemuda yang meneladani Muhammad Al Fatih yang membuktikan janji Rasulnya.
Sudah cukup pemuda berharap pada yang lain untuk bersatu namun yang didapat tidak sekalipun bertemu di yang satu. Saatnya para pemuda ini menuntut dirinya sendiri. ALLAH, Rasulullah SAW, dan orang-orang beriman lah yang menjadi saksi.
Profil singkat penulis :
Ibnu Kahfi Bachtiar, akhir Maret 2009 menyelesaikan S2 bidang energi terbarukan di Universitas Oldenburg (Jerman). Saat ini ikut membantu salah satu organisasi energi terbarukan di tanah air, melanjutkan penelitian, dan sedang belajar berwirausaha.