Reformasi jalan di tempat ? Terlalu naif bila kita mengatakan hal ini mengingat segenap usaha dan kerja keras sudah dikerahkan untuk membuat negeri ini lebih baik melalui berbagai agenda reformasi. Reformasi mati suri ? Reformasi terus berjalan dengan berbagai misi dan visi yang dibawa oleh setiap penggerak reformasi. Namun ada yang perlu diwaspadai oleh segenap pihak bahwa sudah terlihat tanda-tanda bahwa reformasi ini mulai sampai pada titik saturasi (kejenuhan). Semangat dan tekad yang meluap-luap ketika awal mula terbukanya pintu reformasi saat ini sudah tenang kembali, tidak ada riak, dan cenderung menjadi sekadar urusan formalitas. Gain perubahan hanya di awal, selanjutnya kalau boleh dibilang, datar-datar saja.
Tidak ada yang aneh dari gejala ini, karena memang itulah batas kemampuan reformasi. Reformasi ini bertujuan untuk mengembalikan sesuatu pada bentuk aslinya, bentuknya yang murni. Tetapi ada satu hal yang dilupakan oleh kebanyakan bangsa ini, bahwa negeri ini tidak pernah menetapkan bentuk bakunya. Dari dulu hingga sekarang negeri ini terus mencari bentuk yang tepat untuk mewujud menjadi negara yang hidup di tengah-tengah keramaian dunia antarbangsa. Bahkan bila mau mengutip perkataan Sukarno, “Revolusi belum selesai !”
Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah transformasi. Berubah dari bentuk yang pernah dipakai, yang sekarang dipakai, dan tidak membawa dampak perbaikan signifikan menjadi bentuk baru yang memang berbeda ketimbang sebelumnya, tidak meniru bentuk kebanyakan, dan tidak takut bila hal itu melawan arus kelaziman antarbangsa, sepanjang sesuai dengan fitrah, sejarah dan karakter asli bangsa ini. Bangsa ini seperti kacang lupa kulitnya, seperti anak perantauan yang lupa kampung asalnya, dan seperti orang dewasa yang lupa dengan masa kecilnya. Sejarah negeri ini sesungguhnya ditulis dengan tinta emas dan darah dari Umat Islam. Perjuangan negeri ini membebaskan diri dari arogansi penjajahan manusia atas manusia lain digerakkan oleh Umat Islam. Sejak pertama kali debu kaki penjajah beterbangan di udara bumi Indonesia, Umat Islam sudah mencium bau busuk dari para tiran yang hendak merusak tatanan yang sudah ada.
Tinta sejarah menegaskan bahwa garda terdepan dari perjuangan Umat Islam ini adalah para ulama yang ikhlas. Segala perhiasan dunia dan tawaran penjajah sedikitpun tidak memantul ke mata mereka. Mereka abaikan itu semua. Mereka rendahkan godaan duniawi itu, bahkan dunia dan seisinya tidak lebih berharga ketimbang sayap seekor nyamuk sekalipun. Hati mereka amat sangat peka membedakan mana penghambaan kepada Dia Yang Ahad semata, dan mana bentuk penghambaan yang mencoba menjadi penyaing-Nya. Jalan dan gerak yang mereka pilih pun amat jelas, terang benderang, tidak membingungkan umat, yaitu ketika seruan untuk mengusir penjajah dari Bumi Indonesia ini disuarakan dengan seruan pengakuan kebesaran-Nya, yaitu ALLAHU AKBAR !
Suatu negara ada karena kebutuhan sekelompok manusia di dalamnya atas negara itu sendiri. Negara ada untuk mengatur hal-hal yang belum diatur oleh nilai dan norma yang diterapkan masyarakatnya. Namun yang terjadi saat ini adalah negara sudah terlalu banyak mengambil peran tatanan nilai masyarakat, bahkan menggusurnya dan mengganti dengan bentuk lain yang asing dan dicoba untuk diseragamkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Inilah yang kemudian malah mematikan banyak fungsi keberadaan negara. Umat Islam Indonesia sejak dahulu sudah memiliki tatanan dan aturan tersendiri untuk mengatur kehidupan bermasyarakat mereka dengan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah. Imam bagi masyarakat dahulu tidak hanya yang memimpin mereka di masjid, tetapi juga imam dalam berbagai hal, tempat masyarakat bertanya dan mencari solusi atas permasalahan mereka. Tetapi arus sekulerisme yang ditawarkan Barat terlalu mudah diadopsi oleh orang-orang yang tidak percaya diri terhadap Din mereka. Tatanan yang sudah mengakar itu kemudian dicabut dan diganti dengan sesuatu yang asing, tidak pernah dikenal oleh bangsa ini, tetapi dapat ditemukan pada bangsa lain, yang berbeda geografis, beda tabiat, beda kepribadian, dan amat berbeda dalam hal keimanan.
Sesungguhnya tidak ada demokrasi di muka bumi ini. Demokrasi yang sempat disinggung oleh Plato pun tidak pernah mewujud menjadi sistem sebagaimana yang dia maksud, selain hanya sebagai wacana saja. Istilah demokrasi sudah ada sejak ratusan tahun sebelum Nabi Isa as lahir, tetapi tidak pernah menjadi kelaziman sistem bangsa-bangsa, mengingat tidak ada contoh terbaik dan keistimewaan darinya. Sejak Amerika memulai dan menuai hasil revolusinya, maka istilah demokrasi dipinjam semata untuk memberi nama pada sistem baru yang mereka dirikan. Dan ketika mereka merasa menikmati hasil sistem mereka itu, dan mereka akan lebih menikmati lagi jika setiap negara di dunia ini menjadi pengikut mereka, maka kampanye mereka atas demokrasi pun berkumandang ke segenap penjuru dunia. Lucunya, demokrasi yang mereka akui valid hanya jika memenuhi sebuah syarat, yaitu :”Sejalan dengan kepentingan mereka.” Inilah omong kosong terbesar yang pernah ada di muka bumi ini. Inilah pembodohan paling massal yang pernah ada di muka bumi. Inilah pemaksaan kehendak yang paling zalim di muka bumi. Sesungguhnya tidak ada demokrasi, tetapi hanya AMERIKASI ! Dan bila demokrasi ini dianut oleh Umat Islam, maka Umat Islam akan memiliki millah ganda, Islam dan Amerikasi, karena sejatinya demokrasi adalah millah atau way of life.
Kenapa Umat Islam sulit lepas dari ikatan yang sudah menyerupai lingkaran setan yang menyebabkan hidup mereka sehari-hari pun disodorkan dengan berbagai langkah-langkah setan yang bertentangan dengan millah mereka ? Sungguh berat untuk dikatakan tetapi inilah yang patut diketahui bersama. Sesungguhnya umat ini bertumpu pada ulama mereka. Bila para ulama mengambil jalan yang benar, maka umat akan ikut dan taat. Tetapi jika para ulama mengambil jalan yang mereka sendiri sudah tahu bahwa itu tidak benar maka di sinilah ulama tidak lagi menjadi tumpuan dan pegangan. Jika umat sudah kehilangan tumpuan, maka mereka akan menjadi permainan orang-orang tidak bertanggung jawab yang akan memanfaatkan populasi mereka untuk menyebarkan pengaruh mereka. Tidak ada lagi loyalitas dalam keimanan. Yang ada hanya loyalitas terhadap segala sesuatu yang bisa menjamin keberlangsungan isi perut dan hawa nafsu mereka.
Transformasi Indonesia amat bergantung pada peran ulama-ulama yang tetap berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah, dan tidak gemar bermain-main untuk mengkompromikan hal-hal yang tidak sejalan dengan pegangan hidup mereka itu. Ulama-ulama ini harus berani memimpin umat bahkan lantang menyuarakan dirinya berbeda dengan penguasa bila memang penguasa sudah salah jalan. Ulama-ulama ini harus mampu mengembalikan kepercayaan umat dengan meneladani Rasulullah saw dalam segala sifatnya, shiddiq, amanah, menyampaikan yang benar, dan ada kesatuan antara kata dan perbuatan.
Selama belum ada kepemimpinan ulama-ulama ini atas umat, maka selama itulah bangsa dan negeri ini akan kehilangan bimbingan, tuntunan, tidak tahu arah, tidak tahu tujuan, dan selama itu pula tidak akan ada perubahan signifikan. Negeri ini sedang menanti kehadiran para ulama layaknya Imam Ahmad bin Hanbal yang ketika digiring pasukan penguasa ke pintu penyiksaan karena berbeda pendapat dengan penguasa, masyarakat yang dibimbingnya masih sempat bertanya halal-haram memanfaatkan cahaya lampu milik orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Kedudukan mereka di muka bumi ini hampir-hampir saja meyerupai nabi. Bila ulama yang ada memang mewarisi ajaran nabinya, maka insyaALLAH umatnya pun akan mewarisi sifat generasi terbaik nabinya !
Profil Penulis :
Ibnu Kahfi Bachtiar, guru di Universitas Maritim Raja Ali Haji