Mari sejenak luangkan waktu untuk kita dan nurani kita. Hentikan sejenak basa-basi dan setumpuk alasan hanya untuk membenarkan harapan kita sebagai kamuflase khayalan semata. Palingkan mata kita kepada bayi-bayi yang tidak tahu kenapa mereka harus begitu cepat berpisah dengan orang tua yang senantiasa menimang mereka.
Jangan lepas tatapan kita dari tatapan anak-anak yang mengirim sejuta makna, tatkala tangan kiri mereka memanggul senjata dan tangan kanan mereka menunjuk ke arah kita. Ingat kembali sudah berita ke berapa yang sampai kepada kita mengenai saudara-saudara muslimah kita yang dirusak kehormatannya.
Wahai muslim, apa bedanya tanah Palestina, Afghanistan, dan Irak dengan tanah yang sehari-hari bersembunyi di bawah tempat sujud kita ? Sebenarnya masih ada yang layak masuk dalam daftar tanah-tanah ini, tetapi untuk apa bila rentetan daftar itu hanya akan menambah amunisi alasan kita. Mungkin perlukah Indonesia dimasukkan dalam daftar ini hingga baru tersadarlah kening yang selama ini sujud ternyata tidak mengenal hakikat dirinya dan tanah tempat sujudnya ?
Fitnah perpecahan yang melanda umat sudah sedemikian parah hingga kalaupun tiap negeri yang didominasi kaum muslimin mendeklarasikan dirinya sebagai Negeri Islam, usaha penyatuan negeri-negeri Islam itu ke dalam nanungan khilafah tidaklah lebih mudah dari usaha pendeklarasian masing-masing negeri. Lagi-lagi kening yang sudah tidak mengenal hakikat dirinya dan tanah tempat sujudnya yang menjadi masalah. Kening-kening yang berpikir bahwa tanah mereka masing-masing lebih mulia dari yang lainnya.
Negeri Islam sejatinya tidak mengenal kewarganegaraan tanah, melainkan hanya kewarganegaraan akidah. Mereka yang tidak ambil bagian dalam masalah yang dihadapi saudara-saudaranya di tanah seberang hanya menunjukkan bahwa antara makna akidah dan ukhuwah bagi mereka tanpa sadar sudah berseberangan pula.
Umat tidak akan pernah bersatu selama mereka tidak mengenal siapa kawan dan siapa musuh. Umat tidak mungkin bersatu selama mereka tidak menetapkan musuh bersama. Seorang muslim harus memiliki kesadaran bahwa hidupnya adalah di tengah-tengah peperangan antara yang hak dan yang bathil, perang antara ketauhidan dengan kemusyrikan dan kekafiran. Konsekuensi menjadi seorang muslim adalah memiliki musuh.
Konsekuensi mengumandangkan syahadat adalah menerima deklarasi permusuhan dari mereka yang anti syahadat. Bila seorang muslim tidak memiliki musuh dikarenakan keyakinan yang dipegangnya, berarti mungkin ia sedang merintis jalan untuk menjadi sosok yang lebih ‘baik’ dari seorang nabi. Ya, sosok yang hanya memiliki teman, tanpa musuh.
Menarik sosok ini, di depan batang hidungnya, orang lain menghinakan agamanya, menghancurkan tempat tinggal saudara-saudara mereka, menelantarkan keluarga saudara-saudara mereka, tetapi ketika orang lain itu menghidangkan menu yang menjamin keberlangsungan isi perut ia dan anggota seisi rumahnya, maka entah bagaimana mereka pun sudah duduk bersama menikmati makan bersama. Inilah umat yang tanpa sadar telah tertular penyakit dari musuhnya, yaitu standar ganda (nifaq).
Sungguh aneh bila setiap kejadian yang mengelilingi umat tidak juga menyadarkan bahwa ada dua ujung dari semua kejadian ini. Ujung yang pertama adalah terhapusnya kata jihad dari kamus Umat Islam, karena kata inilah yang bila telah merasuk ke hati umat, maka raksasa ini akan segera bangun dari tidurnya. Ujung yang lain adalah ketika tidak ada yang lain selain Jihad Fisabilillah yang menjadi pilihan.
Sebenarnya ketika musuh mencoba menggiring umat pada ujung yang pertama, mereka sedang mengambil risiko akan ada sebagian kecil dari umat ini yang malah tergiring pada ujung yang kedua. Tetapi kebanggaan musuh dalam hal jumlah akan membuat mereka mengabaikan jumlah yang kecil ini.
Beda antara generasi pengukir sejarah dan generasi yang hanya terus mempelajari sejarah adalah bila yang pertama mempelajarinya untuk menghadapi pengulangan kembali dari sejarah, maka yang kedua hanya mempelajari untuk menunggu sejarah didiktekan padanya. Zaman kini adalah zaman puncak dari segala fitnah. Kemusyrikan dan keingkaran yang pernah dilakukan oleh kaum-kaum sebelumnya terhadap nabi-nabi mereka bisa dibilang berkumpul pada umat manusia zaman ini. Tidaklah berlebihan bila Rasulullah SAW memuji-muji generasi akhir yang tidak pernah bertemu dengan dirinya, tetapi sikap hidup mereka menunjukkan seolah-olah mereka hidup bersama Sang Rasul tercinta.
Wahai muslim, belajarlah dari Badar ! Apakah bila engkau dihadapkan pada situasi itu, maka engkau akan memilih lari dan berpaling karena apa yang di hadapanmu tidak sesuai dengan perhitunganmu sebelumnya ? Lalu pelajaran apa yang diambil dari menangnya jumlah yang sedikit atas jumlah yang banyak beserta gemerlap aksesoris persenjataan mereka.
Wahai muslim, belajarlah dari Uhud dan Hunain ! Sejak kapan engkau bersandar pada jumlahmu yang banyak hingga melupakan bahwa bukan jumlah itu yang patut menjadi sumber pertolongan, tetapi ketika ALLAH, rasul-Nya, dan kebersamaan dalam keimanan lah yang menjadi penolong. Cukuplah ketika engkau begitu mementingkan jumlah, maka itu menunjukkan betapa matamu telah silau dengan materi.
Ya, hanya materi yang nilainya ditentukan dari seberapa banyak jumlahnya. Belum jelaskah pelajaran dari Rabbmu dalam surat Al Anfal ketika Ia menyebut 20 untuk menunjukkan kekuatan yang setara 10 kali lipat, dan kemudian menyebut 100 ketika menunjukkan kekuatan yang hanya setara 2 kali lipat. Kejayaan Islam adalah kisah kelompok yang sedikit dapat mengalahkan kelompok yang banyak. Bahkan Shalahuddin merebut kembali Yerusalem tatkala yang ikut besamanya hanya sebagian kecil dari umat, dan ketika kebanyakan dari umat hanya memberi nasihat pesimistis padanya.
Bukan tanpa alasan bila kisah yang rasanya paling banyak dalam Al Quran adalah kisah antara Nabi Musa as dan kaumnya. Sejarah itu insyaALLAH akan terulang, ketika ada sekelompok orang yang berkata, “Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” Sejarah itu juga insyaALLAH akan terulang ketika terlontar, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan ALLAH, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami ?”
Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan ALLAH Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. Sejarah itu juga insyaALLAH akan terulang ketika ada yang menyatakan hendak ikut berjihad tetapi karena mencicipi lezatnya terpenuhi dahaga mereka, maka seketika itu pula mereka mencabut kembali niat mereka, dan menyatakan menyerah, tidak ada lagi daya dan kekuatan.
Tetapi sejarah juga insyaALLAH akan berulang ketika ada sekelompok dari umat ini yang berseru, “Betapa banyak kelompok yang kecil mengalahkan kelompok yang besar dengan izin ALLAH. Dan ALLAH beserta orang-orang yang sabar.” Sejarah juga insyaALLAH akan berulang ketika masih ada sekelompok dari umat ini yang tidak meminta selain,“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kokohkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.“
Bila demikian, maka tidaklah berlebihan jika sejarah pun insyaALLAH akan kembali berulang ketika Bumi Para Nabi itu dibebaskan oleh mereka yang tidak bermukim di sana, tetapi oleh sekelompok manusia yang datang sebagai satu umat, satu bendera, kalimat tauhid.
Adakah saat yang lebih tepat selain saat ini bagi umat untuk merapatkan barisan dan bersiap dengan agenda jihad mereka. InsyaALLAH hanya inilah jalan yang kelak dapat mempersatukan umat, bersatu dalam generasi yang memiliki izzah bersumber dari kalimat-Nya. Perjelaslah siapa musuh dan ikutilah tuntunan ALLAH dan rasul-Nya dalam menghadapi musuh. Kenalilah mereka yang munafik dan ikutilah tuntunan ALLAH dan rasul-Nya ketika menghadapi orang-orang munafik. Gaungkan kembali ALLAH Tujuan Kami, Rasulullah SAW Teladan Kami, Al Quran Pegangan Kami, Jihad Jalan Kami, dan Syahid Cita-Cita Kami Tertinggi.
Bila mushaf sudah di tangan, maka tidak ada alasan untuk tidak mempersiapkan pedang di tangan lainnya. Tatap lurus ke depan, jangan lihat ke samping dan berbalik ke belakang. Pintu surga itu amatlah jelas bila sudah syahid yang menjadi alat penglihatan. Jihad adalah keniscayaan. Cepat atau lambat panggilan ini akan menghampiri kita. Sambutan layaknya Bani Israil yang hina atau layaknya Abu Dujanah yang menjadi pilihan kita ?
“Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada ALLAH dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai ALLAH memberikan keputusan-Nya.” Dan ALLAH tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Q.S. At-Taubah 24)
Profil singkat penulis
Ibnu Kahfi Bachtiar, akhir Maret 2009 menyelesaikan S2 bidang energi terbarukan di Universitas Oldenburg (Jerman). Saat ini ikut membantu salah satu organisasi energi terbarukan di tanah air, melanjutkan penelitian, dan sedang belajar berwirausaha.