Kemerdekaan bukan kata-kata. Kemerdekaan harus dirasakan pada lubuk hati yang paling dalam pada seorang manusia bahwa memang ia sudah terlepas dari penghambaan manusia pada manusia lainnya.
Manusia yang menyebut dirinya merdeka padahal secara sembunyi-sembunyi ia menghamba pada manusia lainnya, meletakkan kuasa atas dirinya pada manusia lainnya, menyerahkan perihal baik dan buruk dirinya pada manusia lainnya, menggantungkan harapan dan menaruh rasa takut pada manusia lainnya, maka sampaikanlah pada manusia yang seperti ini bahwa bila ia mengaku seorang muslim, maka ia telah mempermalukan Umat Muhammad !
Hanya karena memproklamirkan kemerdekaannya, keluarga Yasir harus menjadi sasaran siksaan musyrik Mekkah. Hanya karena masalah kalimat syahadat. Hanya karena mengakui dengan jiwa dan raganya bahwa hanya ALLAH Satu-satunya Ilah dan pengakuan ini diikuti dengan mengikuti Rasul-Nya, mereka harus membayar proklamasi kemerdekaan mereka. Jasad mereka ditawan.
Tubuh manusia yang tidak lebih dari sekedar kulit dan daging yang disangga tulang itu dibiarkan di tengah terik padang pasir seolah memaksa segala cairan dari tubuh itu menguap ke udara, tidak menyisakan untuk sang pemilik tubuh. Tenggorokan kering, kulit terkelupas, entah bagaimana rasanya kepala yang tersengat panas itu. Jasad boleh ditawan tetapi tidak dengan keimanan. Frustasi melihat keteguhan keluarga Yasir, maka darah syuhada pun mengalir pertama kali dari Umat Muhammad. Tombak Abu Jahal menembus punggung Sumayyah. Jiwa yang tenang karena mendapat kabar menenangkan yang tidak ada bandingannya, surga. Yasir pun menyusul istrinya menjadi pengantin syuhada pertama di surga dari umat ini.
Lagi-lagi hanya karena kalimat syahadat, Bilal harus membayar proklamasi kemerdekaannya. Tubuh yang hitam itu sudah cukup menunjukkan bahwa ia sudah biasa terpapar panas. Tetapi kali ini musyrik Mekkah ingin membeli syahadat Bilal dengan menantang keimanan Bilal, masihkah ia mampu bertahan dengan panas yang lebih dari yang biasa ia terima. Sederhana yang diminta orang-orang musyrik itu, kembali kepada ajaran nenek moyang mereka, kembali pada milah mereka lazimnya, dan biarkanlah ada sekutu-sekutu di samping ALLAH. Tubuh tanpa penutup itu diletakkan di atas padang pasir yang menggelegak. Pasir gurun tak ubahnya panci pemanggangan.
Batu yang diletakkan di atas badan itu begitu sesak menghimpit dan tidaklah kurang panasnya dibandingkan besi yang dibakar. Berharap Bilal menjual syahadatnya, yang keluar dari mulutnya hanya, “Ahad…Ahad…”, terlalu rendah bagi Bilal bila syahadatnya ditukar dengan segala siksaan orang-orang musyrik yang hendak memalingkannya. Di kemudian hari Bilal pun mengetahui harga sesungguhnya dari kalimat syahadat dan penderitaan yang pernah ia bayarkan untuk mempertahankan syahadatnya. Suara terompahnya terdengar di surga. Adakah terompah yang berjalan tanpa sosok yang memakainya ?
Bila seorang muslim tidak rela mendapatkan kemerdekaan sejati layaknya Bilal dan keluarga Yasir, maka patut dipertanyakan sejauh mana kalimat syahadat itu masuk ke dalam hatinya, ataukah ia hanya sebatas di tenggorokan yang kadang masuk dan kadang keluar. Bila demikian hendaklah ia waspada bila akhir hayatnya dalam keadaan kalimat syahadat yang mampat di tenggorokannya, tidak sempat meresap ke hati untuk menggerakkan seluruh jiwa raganya. Layakkah ia berharap akhir hayat yang lebih baik ketimbang Fir’aun yang syahadatnya pun sebatas tenggorokannya ?
Dahulu pendiri bangsa ini sudah mewanti-wanti bahwa proklamasi kemerdekaan mereka hanyalah sebatas jembatan penghubung dari tanah penghambaan sebelumnya kepada tanah kemerdekaan sebenarnya. Dan mereka juga sudah harap-harap cemas bila ternyata tanah baru yang tadinya diharapkan menjadi tanah kemerdekaan ternyata tidak lebih menjadi tanah penghambaan baru yang menggunakan proklamasi sebagai kedok, terlebih bila dilakukan oleh sesama bangsanya sendiri.
Sebagian manusia hanya memanfaatkan manusia lainnya. Sebagian manusia minta untuk dipatuhi tanpa syarat oleh manusia lainnya. Sebagian manusia berkuasa untuk menentukan apa yang baik dan buruk bagi manusia lainnya. Sebagian manusia tidak berdaya atas nasibnya sendiri karena segalanya sudah digantungkan pada manusia lainnya seluruhnya. Sungguh, penghambaan model baru. Penghambaan yang membuat yang dihamba tidak berani sekedar berpikir merubah posisinya. Penghambaan yang membuat yang dihamba lebih rela untuk terus sebagai hamba ketimbang melawan yang memperhambakan.
Selama kemerdekaan itu bersumber dari manusia, maka beginilah jadinya. Adakah negeri di muka bumi ini yang betul-betul merdeka. Adakah warga negara suatu bangsa yang ketika ditanya apa buktinya ia merdeka, maka ia memberikan jawaban tidak dari kertas piagam kemerdekaan bangsanya, tetapi jawabannya adalah dirinya sendiri yang sudah cukup menjadi bukti bagaimana seorang manusia merdeka itu, layaknya Rub’i bin Amir menjawab pertanyaan Rustum dari Persia.
Bahkan negeri yang saat ini dikira masih menguasai dunia, sebenarnya sedang menunjukkan betapa mereka sebenarnya haus dengan kemerdekaan sejati. Rakyat mereka diperhambakan melalui senjata baru abad modern yang lebih berbahaya ketimbang reaksi nuklir sekalipun, yaitu rasa takut. Rakyat mencari perlindungan hanya dari negara padahal penguasa mereka pun juga tidaklah kurang rasa takutnya dari rakyatnya.
Lalu mereka mencari cara untuk setidaknya menipu diri mereka sendiri bahwa mereka telah merdeka. Yaitu menyebarkan rasa takut itu ke seluruh pelosok dunia dan berharap seluruh pelosok dunia dari Timur ke Barat, Utara ke Selatan, mencari perlindungan kepada mereka, meminta tolong kepada mereka. Anehnya rasa takut mereka hanya dikarenakan satu hal, yaitu bila kalimat syahadat mewujud menjadi manusia-manusia tanpa rasa takut pada manusia lain, manusia-manusia yang tidak bersedia diatur selain dengan aturan yang bersumber dari-Nya. Mereka takut bila manusia-manusia seperti ini berkumpul, maka pastilah terlepas tabir penjajahan mereka selama ini. Tamat riwayat predikat mereka sebagai penjajah oleh manusia-manusia yang membawa panji tauhid ini.
Jadi strategi usang mereka adalah menjadikan setiap pejuang penegak kalimat tauhid di muka bumi ini sebagai musuh bersama, menjadikan setiap manusia yang dalam darahnya mengalir tekad untuk menjadikan kalimat syahadat itu mewujud menjadi nafas semesta ini menjadi musuh bersama, musuh semesta. Hanya ada dua pilihan, ikut menghamba pada kaum penjajah atau menjadi musuh penjajah.
Lalu inikah yang disebut dengan kemerdekaan yang tidak lebih penuh tipuan ? Kemerdekaan sebenarnya bagi seorang muslim adalah ketika ia merelakan dirinya untuk diatur oleh ALLAH, tidak oleh selain-Nya. Ia tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk mengakui ada aturan yang lebih tinggi dari aturan-Nya, terlebih bila aturan itu dibuat oleh makhluk yang lemah dan sedikit pengetahuan seperti dirinya, manusia. Ia rela dengan hukum ALLAH hingga tidak rela jika manusia membuat-buat hukum sendiri untuk dirinya. Ia rela dengan yang halal dan haram dari ALLAH hingga tidak berani untuk mengikuti pemuka mereka yang mengubah halal-haram yang sudah diatur-Nya.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani mempersekutukan ALLAH dengan menyembah pemuka-pemuka mereka. Cukuplah disebut menyembah ketika mereka mengikuti kemauan pemuka-pemuka mereka yang mengubah apa yang telah ALLAH haramkan menjadi halal dan begitu pula sebaliknya.
Penjajahan yang berbahaya adalah ketika yang dijajah tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya dalam penjajahan, walaupun dalam bentuk baru. Tetapi yang jauh lebih berbahaya dari itu adalah ketika yang dijajah menyadarinya tetapi mereka juga tidak melakukan apa-apa kecuali sengaja ikut membiarkannya. Rasa tidak berdaya, tidak ada yang bisa dijadikan penolong, tidak rela melepaskan ketergantungan, kecanduan menjadi hamba, dan rasa takut yang membuat lupa bahwa sebenarnya hanya ALLAH Yang Menggenggam setiap nyawa, dijadikan alasan atas pembiaran ini. Begitukah seorang muslim memberi harga atas kalimat syahadat mereka ?
Memang sulit mengikhlaskan penghambaan hanya kepada ALLAH hingga ia tidak tercampur dengan penghambaan kepada sesama makhluk, tetapi sepadan dengan ganjarannya, keselamatan dan naungan di Hari ketika tidaklah ada pertolongan dan naungan melainkan tergantung dari sejauh mana kita memegang teguh syahadat kita, kalimat yang membuat ‘Arsy bergetar. Begitulah, mencampur selalu lebih ringan ketimbang memurnikan. Bahkan sekali mencampur, kecenderungan untuk menambah kadar campuran semakin tinggi. Rasa takut kita kepada-Nya kita campur dengan rasa takut kita pada manusia.
Pengharapan atas pertolongan yang selayaknya hanya pada-Nya kita campur dengan merasa sudah ditolong bila manusia yang mengulurkan tangannya. Kerelaan atas aturan-Nya kita campur dengan kaburnya antara kerelaan dan keterpaksaan untuk membiarkan diri dalam aturan manusia. Kerelaan atas Islam sebagai Din kita campur dengan menyibukkan diri melanggengkan ideologi, metoda, dan sistem hidup lain yang sampai Hari Kiamat pun tidak akan ada ikatan darahnya dengan Islam.
Pengakuan akan Dia sebagai Satu-satunya Ilah kita campur dengan pengakuan bahwa ada kebutuhan atas selain-Nya untuk menjadi ‘ilah harian’ kita. Pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya dan hanya dia lah yang paling tahu bagaimana mengimplementasikan ketauhidan itu kita campur dengan secara perlahan-lahan melemparkan sunnahnya ke belakang dan bermanhaj pada ‘ijtihad modern’ kita.
Sayang, ALLAH tidak pernah mengobral harga surganya. Harga surga tidak berubah. Ia bukanlah layaknya barang dagangan manusia yang kadang ditinggikan dan diturunkan semata-mata untuk memuaskan nafsu keuntungan materi semata. Harga yang dibayar oleh Sumayyah, Yasir, dan Bilal adalah harga yang tetap sejak dulu hingga saat ini dan akhir zaman. Wahai muslim, dengan apa engkau membayar kalimat syahadatmu ?
Profil singkat penulis
Ibnu Kahfi Bachtiar, akhir Maret 2009 menyelesaikan S2 bidang energi terbarukan di Universitas Oldenburg (Jerman). Saat ini ikut membantu salah satu organisasi energi terbarukan di tanah air, melanjutkan penelitian, dan sedang belajar berwirausaha.