Belum selesai kasus penembakan kapal perang Korea Selatan oleh torpedo milik Korea utara, dunia kembali dikejutkan dengan isu terbaru yang lebih hangat dan panas.
Tidak tanggung, aksi pembajakan kapal Marvi Marmara yang melakukan misi kemanusian yang diikuti sejumlah relawan dan aktivis kemanusiaan dari 40 negara dunia jelas sangat mengundang perhatian dunia.
Setidaknya ini menunjukkan keangkuhan dan keberanian penjajah Israel dari ‘drama’ yang telah dilakukan diperairan internasional. Jelas para petinggi ‘negara’ Yahudi itu sudah memperhitungkan untung rugi dari aksi jagal itu.
Serupa dengan kasus penembakan kapal perang korsel yang menewaskan seluruh awak kapal oleh torpedo korut. Para analisis melihat kebijakan yang diambil Pyongyang itu tidak lepas dari perhitungan bahwa negeri komunis itu masih terlalu kuat militernya dibanding Korsel, terlebih dengan kepemilikan mereka terhadap senjata nuklir. Sehingga penguasa Seoul harus mikir dua kali untuk membalas dengan aksi serupa.
Ini barangkali yang terjadi dalam tubuh petinggi Tel Aviv. Di sisi militer, sudah menjadi rahasi umum bahwa israel merupakan kekuatan terbesar di ‘timur tengah’ setelah kekuatan Irak era Saddam Husein ‘babak belur’ ditekuk pasukan koalisi Amerika Serikat pada tahun 2003.
Sisi politik dan diplomasi, Israel punya lobi kuat dan besar di kongres Amerika dan badan eksekutif pemerintahan, dengan AIPAC sebagai kendaraannya.
Bidang ekonomi negeri Zionis tidak terlau ambil pusing mengingat paman Sam selalu ada dibelakang layar. Dengan kata lain, Israel masih bisa bernafas lega jika terjadi kemungkinan terburuk.
Bukankah menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton pernah melontarkan pernyataan bahwa Washington akan mengambil segala langkah untuk melindungi sekutunya (Israel) di Timur Tengah.
Dilema Mesir
Lagi-lagi Mesir kena getahnya dalam setiap kasus dan konflik yang terjadi di Palestina dan khususnya Gaza. Karena negeri lembah nil ini merupakan jantung Arab sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Abdul Halim Umar direktur Shalah kamil liliqtisad al-islami, dan merupakan tetangga dekat dengan Palestina. serta satu-satunya pintu perbatasan yang dimiliki dan di bawah kontrol Arab.
Logika sederhananya adalah bahwa tragedi kemanusiaan di Gaza maupun ‘drama’ pembajakan dan penyembelihan setidaknya bisa dihindari andai pemerintah Mesir mau membuka pintu gerbangnya di Rafah. Secara kedaulatan, memang Mesir tidak bisa disalahkan apalagi didikte oleh orang lain.
Mereka (penguasa mesir) bebas menentukan sikapnya dalam masalah perbatasan. Di sisi lain, pihak asing baik secara personal maupun kelembagaan tentu tidak punya hak untuk melakukan penetrasi bahkan secara hukum ini dianggap melanggar kedaulatan negara lain. Namun secara kemanusiaan apalagi keyakinan jelas ini menyedihkan.
Di sisi lain, media Mesir ramai mengangkat berbagai kecaman dan kutukan yang disampaikan pihak otoritas Mesir. Kecaman juga datang dari Syeikh Al-Azhar Dr. Ahmad Tayyeb. Tidak hanya itu, pintu gerbang Rafah mulai dibuka untuk keperluan kemanusiaan dan pengobatan. Keputusan Husni Mubarak (presiden Mesir) langsung mendapat pujian dari berbagai pihak dunia (al-masa’ 2/6/2010). Bagaimanapun ini merupakan langkah positif, walau hanya berlansung beberapa hari.
Posisi sulit Mesir ini tidak lepas dari ikatan perjanjian damai Cam David dengan Israel dan hubungan Mesir dengan negara-negara Arab dan muslim dalam melihat krisis Palestina dan ‘Timur Tengah’. Di pihak ke tiga ada Amerika di mana Mesir mendapat bantuan besar di bidang ekonomi dan militer dari ‘Uncle Sam’.
Walau banyak yang melihat bahwa bantuan ini merupakan cara Amerika untuk menekan Mesir. Namun hal itu ditampik oleh Dr. Usamah Al-Baz ( penasehat politik Presiden Mesir) dalam sebuah seminar, menyatakan bahwa segala bantuan dan hubungan dengan Amerika tidak mempengaruhi sikap Mesir dalam memandang sebuah masalah.
Siapa yang Mengadili Israel?
Siapa yang akan menghukum dan mengadili segala aksi ‘premanisme’ Israel, satu-satunya negara yang mendapat perlindungan khusus dari Amerika Serikat. di saat 189 negara dunia terikat dengan perjanjian Non- Proliferasi Nuklir (NPT) dan bersedia dilakukan pemeriksaan oleh Tim PBB (IAEA).
Namun Israel sama sekali tidak bersedia menandatangi Traktat NPT sehingga mereka dengan bebas melakukan aktifitas nuklirnya tanpa pantauan badan atom dunia. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa israel saat ini memiliki lebih 100 hulu ledak berkepala nuklir!
Kasus Pembantaian sipil dalam perang melawan Hizbullah di Lebanon selatan tahun 2006 dan Hamas di Gaza tahun 2008 jelas merupakan pelanggaran HAM. Padahal dalam konvensi Jenewa jelas disebutkan bahwa masyarakat sipil, orang sakit dan luka-luka mendapat hak perlindungan. Belum lagi aksi Genosida lain yang dilakukan di bumi palestina, mulai dari Sabra, shatila, Jenin dan lainnya.
Di tengah ‘kemandulan’ Lembaga dan hukum internasional, semua berakhir dengan deraian air mata para korban kebiadaban sang penjajah. Semua diam dan membisu.
Barangkali untuk saat ini kondisi tetap tidak ada perubahannya. Israel tetaplah israel yang hanya mengerti bahasa kekerasan.
‘PR’ Yang Harus Diselesaikan
Ada banyak yang harus diselesaikan oleh rakyat palestina. Langkah pertama yang paling penting dan mendesak adalah penyatuan dua gerakan yang sedang bersengkata ‘HAMAS dan FATAH’. Pun hal ini dianggap sulit dilakukan mengingat masing-masing gerakan memiliki cara pandang yang berbeda dalam misi perjuangan kemerdekan.
FATAH yang akhir-akhir ini lebih memilih sikap kompromi dan pro dengan Isarel jauh berbeda dengan HAMAS yang memilih perjuangan senjata untuk membebaskan palestina dari cengkraman Zionis. Langkah selanjutnya adalah pembentukan negara dan pemerintahan palestina bersatu, ini mungkin terjadi jika langkah pertama sukses dilakukan.
Dalam hal ini kolomnis surat kabar Al-Ahram Dr. Hasan Abu Thalib memberikan dua asumsi terhadap fenomena pemerintahan palestina. Pertama, akan adanya pemerintahan nasional palestina sesuai garis perbatasan tahun 1967 dan ini tentunya dibawah satu kepemimpinan yang akan menaungi seluruh wilayah palestina dan rakyaknya. Mencakup wilayah Gaza dan Tepi Barat. Kedua, pemerintahan palestina yang terbagi dalam dua pemerintahan.
Pemerintahan Tepi Barat di bawah kepemimpinan Fatah dan Gaza di bawah kepemimpinan Hamas. Dan ini jelas tidak mewakili seluruh rakyat palestina karena akan ada dua pemerintahan yang berbeda.
Apa Setelah Tragedi Marvi Marmara?
Banyak kemungkinan terjadi pasca ‘tragedi penyembelihan’ Marvi Marmara jika dunia tidak mengambil langkah tegas terhadap ‘perampok kemanusiaan’. Akan ada serangan dan pembajakan baru.
Hal ini jelas terlihat dari pernyataan Israel akan melakukan aksi sama jika ada kapal kemanusian yang mencoba menerobos blokade ‘haram’ yang diberlakukan Penjajah Israel terhadap rakyat Gaza.
Tidak hanya itu, kondisi tersebut akan menjadi negeri Zionis itu semakin berani dan lancang. ‘drama klasik’ yang selalu dilakoni Israel sepertinya akan terus berlanjut. Terutama negara maupun gerakan yang dianggap musuh oleh Israel. Akan ada Holocaust jilid II di Gaza maupun di Lebanon Selatan.
Atau krisis dataran tinggi golan yang sewaktu-waktu akan menjadi ‘bom waktu’ yang akan membuka perang baru dengan Suriah. Barangkali akan ada deretan kejadian dan korban lain yang dunia akan mengabadikannya sebagai tragedi kemanusiaan. Wallahu a’lam.
Husamuddin MZ,Mahasiswa Al-Azhar Kairo