Tulisan ini menanggapi tulisan sebelumnya yang berjudul “Masih Layakkah LDK Untuk Diharapkan?” Semoga dapat menjadi pencerahan kita bersama. Tidak ada maksud lain dalam tulisan ini, selain untuk menjernihkan apa-apa yang tidak pada tempatnya. Semoga dapat menguatkan bagi mereka yang rela terjun ke dalam aktivitas dakwah kampus.
Dakwah kampus yang telah berjalan seperempat abad lebih telah banyak menorehkan sejarah luar biasa. Rekam jejak sejarah dakwah kampus, meskipun masih berserakan di berbagai tempat—di catatan-catatan kecil, ingatan para penggiat, dan buku-buku tandon—terus lestari hingga kini.
Eksistensi LDK (Lembaga Dakwah Kampus) menjadi eviden kuat hadirnya dakwah di medan ‘laga’ kampus. Walau secara eksplisit memang tidak ada yang mengklaim, menuliskan, atau mematenkan berbagai plot sejarah bangsa yang telah ditorehkan oleh para penggiat dakwah kampus. Pada dasarnya memang para pemain utama, justru tidak ingin nama, eksistensi, atau peran dakwah kampus dipolitisir menjadi bekingan utama konstelasi perjalanan bangsa—sebut saja reformasi.
Semenjak kehadirannya di kampus-kampus besar ternama di negeri ini, kemudian disusul oleh kampus-kampus lain, dakwah telah menunjukkan performa terbaiknya. Bahwa kampuslah yang menyambut hangat penuh semangat seruan dakwah. Bahwa kampuslah yang—mungkin—selalu menjadi inisiator dari berbagai kejadian yang mewarnai sejarah bangsa. Bahwa anak-anak kampuslah yang lebih mudah menerima perubahan dan menginginkan perubahan.
Bahwa kampuslah ladang subur yang menumbuhkan benih-benih afiliator Islam. Posisi tawar yang sangat potensial ini jelas menjadi alasan utama mengapa kampus menjadi primadona dakwah untuk beberapa generasi, bahkan insyaallah hingga detik ini.
Pada akhirnya, terbentuknya LDK-LDK di berbagai kampus menjadi titik kulminasi membuncahnya dakwah. Dakwah membutuhkan inang untuk bernaung, serta identitas untuk terus eksis. Yang kemudian kita mengenal terminologi “LDK sebagai wajah dakwah kampus.”
Selama penulis aktif di dakwah kampus—lebih fokusnya di lembaga dakwah kampus—rasa-rasanya tidak ada satupun dari para pengusungnya yang menyia-nyiakan keberadaan LDK, pun harapan yang dibangun oleh para pendahulu. Salah besar jika ada anggapan LDK menyia-nyiakan harapan umat. Justru mereka yang berada di LDK begitu semangat merealisasikan harapan-harapan tersebut. Semangat yang sama juga penulis temukan saat berkunjung ke beberapa LDK di berbagai daerah di negeri ini.
Tak satu pun dari mereka yang penulis lihat ‘menyia-nyiakan’ potensi LDK atau harapan umat. Sedih rasanya jika masih ada yang mengatakan hal demikian. Meskipun masih banyak kekurangan, bukan berarti LDK menyia-nyiakan harapan tersebut.
Penulis pernah ke Padang, Bandung, Banten, Surabaya, Hingga Mataram, tak satu pun LDK-LDK yang berada di propinsi tersebut menyia-nyiakan kesempatan emas berdakwah di kampus. Tak menyia-nyiakan harapan umat—paling tidak sivitas kampus. Justru pandangan yang jauh berbeda dari sekadar anggapan sia-sia tadi yang mereka tunjukkan, yaitu semangat yang begitu besar, pemahaman yang sangat kuat, dan keberjamaahan yang sangat mengakar. Lalu LDK mana yang dimaksud menyia-nyiakan harapan perbaikan umat?
Tidak ada yang salah dengan berkutat pada permasalahan internal, bahkan hal itu menjadi sebuah taklif yang absolut harus dituntaskan sebelum mengurusi permasalahan eksternal. Logika sederhana, bagaimana mungkin LDK dapat memperbaiki kondisi di luar, sedangkan di dalamnya saja masih carut-marut? Bagaimana mungkin sebuah LDK menjadi mandiri, jika dalam hal kesekretariatan saja masih level mula?
Penulis sampaikan di sini pesan syaikhul jihad Abdullah Azzam. Ia—rahimahullah—berkata: “…sebuah jamaah yang ingin eksis di muka bumi hendaklah memberikan perhatian yang penuh terhadap urusan mencegah kemungkaran yang ada di dalam tubuh jamaah, melebihi perhatiannya terhadap urusan mencegah kemungkaran yang ada di masyarakat tempat jamaah ini berada. Sungguh jika sebuah jamaah telah sukses untuk menyelesaikan yang pertama, niscaya ia akan lebih sukses lagi untuk menyelesaikan yang kedua. Dan saya tegaskan, sekali-kali sebuah jamaah tidak akan sukses untuk menyelesaikan yang kedua kecuali jika telah sukses menyelesaikan yang pertama.” (Azzam, Dr. Abdullah. Nasehat-nasehat Rasulullah: Penawar Lelah Pengemban Dakwah. Yogyakarta: Uswah. 1419H. 163)
Jadi tidak ada yang salah jika ada sebuah LDK mencoba membenahi barisan internalnya. Toh, mereka tetap melakukan fungsi lembaga dakwah dengan melakukan berbagai bentuk kegiatan, dengan kata lain aktivitas eksternal. Sampai detik ini LDK-LDK di berbagai kampus di Indonesia masih melakukan apa yang telah digariskan oleh para pendahulu, bahkan dengan capaian yang jauh dari bayangan sejarah klasik mereka.
Seperti contoh, apakah para pendahulu dahulu kala terbayangkan bahwa saat ini FSLDK (Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus) misalnya, akan segera go international? Atau bagaimana legalisasi mentoring di seluruh kampus di negeri ini, yang mungkin saja dahulu belum terpikirkan, namun sekarang telah menjadi aksi nyata? Apakah itu semua terjawab?
Berbicara mengenai FSLDK, juga menjawab pernyataan “LDK hanya berkutat pada permasalahan internalnya saja…” Asal tau saja, tidak satu pun kegiatan FSLDK yang berbicara mengenai kondisi satu kampus. Di situ, tidak juga ada LDK yang membawa-bawa permasalahan internalnya—kecuali untuk konsultasi, yang biasa dilakukan oleh LDK mula-madya ke LDK mandiri.
FSLDK all out berbicara sisi eksternal LDK, keterlibatan dalam aksi-aksi kepedulian umat, advokasi, dan pembangunan wacana. Jangan lupa, UU Pornografi dikawal oleh sebuah LDK di bilangan Depok disertai FSLDK. Parlemen Palestina memberikan penghargaan kepada LDK di bilangan yang sama juga disertai dengan FSLDK. Apakah peran ini kerdil? Apakah tidak signifikan? Tahun-tahun belakangan kampus diramaikan oleh legalisasi mentoring. Siapakah yang berada di balik kegiatan tersebut? Apakah tidak layak kalau LDK punya andil di situ? Dan yang tergabung dalam FSLDK hingga detik ini sudah hampir 700-an LDK.
Hampir 50% lebih dari mereka aktif di FSLDK. Lalu, bagaimana mungkin mereka disebut “berkutat dalam permasalahan internal,” sedangkan sebagian dari mereka aktif di FSLDK? Kalau yang mengatakan demikian tidak mengenal FSLDK, penulis mafhum.
Kemudian disebutkan banyak kalangan yang menilai saat ini LDK semakin kerdil, di tingkat lokal maupun nasional perannya sudah tidak signifikan, tidak akomodatif, bahkan disebutkan ada dan tiadanya sama saja! Masyaallah! Kalangan mana yang dimaksud? Tolong sebutkan contoh dari penilaian tersebut? LDK makin kerdil itu seperti apa? Peran yang sudah tidak signifikan contohnya apa? Yang akomodatif itu seperti apa? Siapakah orang yang memandang skeptis lembaga dakwah kampus?
Ini bukan bentuk defensive atau tidak mau dikritik, justru penulis sangat menganjurkan agar LDK ‘memelihara’ para pengkritik. Di kampus penulis, justru para elit LDK-lah yang melahirkan para kritikus positif, terutama otokritikus. Karena dengan kritikan itulah LDK dapat bertumbuh kembang menuju idealisme yang dicita-citakan. Tetapi permasalahannya adalah apabila ada kritikan yang salah alamat atau tanpa hujjah yang jelas. Kontan hanya menjadi omdo, meskipun dibumbui dengan penilaian yang terkesan menjadi solusi. Janganlah seperti itu ikhwatifillah! Kita harus proporsional dan profesional dalam menilai.
Untuk analisa pertama disebutkan bahwa overall “…mayoritas LDK saat ini (atau bahkan semua) memiliki pandangan yang cenderung pendek. Bahasa sederhananya, LDK saat ini masih belum memiliki rencana stategis (renstra) yang jelas….” Penulis sangat heran dengan pernyataan seperti ini, dari mana analisa ini didapat? Dikatakan sebagai “analisa mendalam” lagi! LDK penulis punya rencana strategis yang tertuang dalam Renstra 2005-2010 (tergabung dalam renstra Dakwah Kampus), sebuah LDK di Bandung memiliki Renstra 2008-2010, dan beberapa LDK mempunyai hal yang sejenis. FSLDK sendiri memiliki Renstra hingga 2014. Lalu, LDK mana yang dimaksud?
Kalau memang LDKnya sendiri, ya mbo jangan bawa-bawa LDK yang lain. Kasihan LDK lain yang sudah susah payah mencoba memenuhi harapan umat, tetapi dibilang menyia-nyiakannya. Mungkin justru pandangan skeptis seperti ini yang menjadikan bangunan peradaban Islam kampus mengalami stagnasi. Bagaimana tidak, ma’rifatul LDK-nya saja belum sempurna.
Analisa yang kedua justru menjadi bumerang bagi pernyataan sebelumnya. Disebutkan bahwa “…Sebuah LDK dituntut untuk mampu memanajemen itu semua secara efektif dan efisien…dibutuhkanlah sebuah pembinaan yang mengarah padanya. Jika ini berhasil maka tidak ada lagi kasus-kasus ketidakprofesionalan kerja, syiar yang tak efektif, kaderisasi yang gagal, dan sebagainya…” Bukankah di awal hal ini dipermasalahkan? Bukankah LDK yang hanya berkutat pada permasalahan internal disebut sebagai penyia-nyia harapan? Lalu mengapa sekarang memberikan solusi membenahi internal dahulu? Bahkan disebut dengan syarat jika ini berhasil maka tidak ada lagi masalah-masalah di belakangnya? Lalu letak masalah LDK di mana?
Tidakkah ini anomali? Penulis pikir kritikan tersebut memang sangat tidak layak ditujukan untuk LDK, terlebih untuk LDK-LDK.
Dalam analisa ketiga disebutkan kultur LDK yang masih buruk. 1. Hal ini kembali menegaskan bahwa LDK harus memulai membenahi dari internal dahulu, baru setelah itu keluar. Pernyataan ini sangat kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya. Ini bukti bahwa argumentasi yang diberikan tidak layak ditujukan untuk LDK. 2. Kultur LDK masih buruk, masyaallah! Dapat diambil konklusi dari premis tersebut bahwa selama ini kultur LDK buruk, dan hingga detik ini masih buruk. Luar biasa analisa yang sangat mendalam ini…
Terakhir ditutup dengan pertanyaan retoris, “…masih layakkah LDK untuk diharapkan?” Retorika ini sebenarnya menjuruskan pembaca agar sepakat bahwa memang LDK sudah tidak layak menjadi tumpuan harapan umat. Ini dibenarkan dengan pilihan jawaban yang sangat unik sekaligus lucu, yaitu: 1. Melakukan transformasi total, 2. Membubarkan LDK dengan tangan sendiri, 3. Diam sembari menunggu kehancurannya secara pasti. Kalau penulis sih no comment, tafadhol kepada pembaca untuk menjawabnya secara jernih.
Sebenarnya kalau diikuti sejak beberapa tahun belakangan, gelagat arus pemikiran tajdid terhadap LDK sudah tercium. Di beberapa kampus—termasuk kampus penulis sendiri—menyebar dengan penuh harapan ghirah gerakan tajdid yang kemudian dikenal sebagai ‘renovasi dakwah kampus’. Tetapi bukan semangat negasi, semisal membubarkan, tanpa harap, dan memojokkan keajegan yang telah ada. Karena solusi tidak hadir dari emosi tendensius.
Sebagai penutup dari tulisan ini penulis hanya ingin berpesan agar jangan sampai aktivis dakwah mengkritik tanpa hujjah yang jelas lagi kokoh. Jangan dibiasakan untuk mengedepankan asumsi dalam berbicara, apalagi mengkritik. Para aktivis lembaga dakwah kampus, tidak ada satu pun dari mereka yang tersirat untuk menyia-nyiakan harapan umat. Tidak sedetik pun terpikir dalam akal mereka untuk mengkhianati amanah dakwah, bahkan membubarkannya.
Dan tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan LDK sudah tidak layak menjadi harapan umat! Satu yang hal yang penulis tahu tentang mereka, bahwa mereka sangat menghayati bait-bait kalimat berikut: “…Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia; tidak mengharap harta benda atau imbalan yang lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekadar ucapan terima kasih. Yang kami harap hanyalah pahala dari Allah, Dzat yang telah menciptakan kami.
Betapa inginnya kami agar umat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehoramatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami, mengusai perasaan kami, memeras habis air mata kami, dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami. Betapa berat rasa di hati ketika kami menyaksikan bencana yang mencabik-cabik umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan.
Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian….”
Wallahul musta’an. Salam hangat untuk ikhwan dan akhwat FSLDK 2007-2010. Akhukum fillah.
Herriy Cahyadi, ST., Penulis adalah mahasiswa Dept. Metalurgi dan Material Universitas Indonesia yang saat ini sedang menunggu wisuda 27 Agustus 2009. Sekjen LDK Nasional SALAM UI 1D 2008, BP Puskomnas FSLDK wil. Banten dan Jadebek 2008. 021-92151126 / [email protected]