Ramadhan kembali hadir dengan suasana baru, walau setahun sudah Ramadhan berpisah. Kehadirannya kini kembali menyapa kesadaran, mengingatkan betapa pentingnya mendekat diri kepada sang Maha Pencipta. Gulir waktu seoalah tanpa sadar bahwa Ramadhan telah kembali hadir di hadapan mata, dengan menghamparkan bonus pahala yang penuh pesona dan menggoda.
Gema Ramadhan selalu menggema seperti tahun-tahun sebelumnya, meskipun nuansa tarhib tahun ini, khususnya di tanah air, mengurai cerita duka yang berbeda. Beberapa persoalan krisis moralitas menerpa para selebriti dan pemangku kekuasaan negara. Seakan menjadi masalah yang mengalir tanpa muara, hingga menggenang di tepian-tepian perilaku yang miris, berujung krisis multi dimensi yang diwariskan ke temurun generasi.
Sehingga,beragam firnah dan bencana yang menimpa bangsa seolah menjadi kabut nestapa yang berujung murka. Suara nurani seolah mati oleh kilauan duniawi. Mata hati terkunci oleh godaan-godaan kenikmatan dan kelezatan kehidupan yang tidak akan pernah mengatakan cukup dan berhenti. Jika demikian, jadilah manusia laiknya makhluk lata yang cenderung meraja, menjarah dan memangsa antar sesama.
Kini Ramadhan kembali hadir dengan janjinya, bahwa puasa Ramadhan menyimpan jutaan makna kebaikan bagi manusia. Kalimat syukur dan tarhib Ramadhan sungguh sangat laik diucapkan, karena ia masih `bermurah hati’ kepada pencintanya untuk bersua.
Bulan yang penuh berkah ini selalu menghadirkan suasana cinta bagi perindunya. Sapaan akrab Ramadhan senantiasa hangat menghidupkan jiwa. Bahkan, menyinari ruang kalbu yang sebelas bulan lalu digelapkan nuktah-nuktah dosa. Hamparan permadani Ramadhan terbentang dengan melipatgandakan ganjaran bagi hamba yang beramal-ibadah. Setiap waktu dalam bulan ini selalu menyediakan hadiah yang tak terhitung harganya.
Hadiah itu sudah tersedia dan teruntuk bagi kaum muslimin yang menjalankan ibadah tersebut dengan seksama, penuh perhitungan dan keimanan. Harga hadiah Ramadhan tak mampu diperincikan dengan angka, tak mungkin dieja ucapan huruf, karena semua terangkum dalam ampunan, rahmat dan pembebasan dari neraka. (awwaluhu rahmah, wa aushathuhu maghfirah wa akhiruhu `itq min al-nar).
Riuh kehadiran Ramadhan senantiasa menggetarkan jiwa. Sambutan hangat atas kedatangannya menjadi warna tersendiri bagi hati yang hidup. Ramadhan tidak seperti bulan-bulan yang lain, karena bulan istimewa ini memiliki nilai ‘sakral’ yang tak dijumpai dalam bulan hijriyah selainnya.
Kesakralan Ramadhan selain karena termaktub dalam kitab suci al-Quran, juga nilai ibadah yang terkandung di dalamnya memiliki efek yang multiguna. Tidak hanya untuk hubungan vertikal, tapi juga sosial. Dengan demikian, sangatlah wajar jika bginda Nabi saw pernah bersabda ‘Siapa saja yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah swt akan mengharamkan jasadnya dari api neraka.
Jika ditilik dari pengertian etimologinya, Ramadhan berasal dari kata ra-mi-dha. Dalam berbagai kamus, ramidha atau ramdha memiliki makna syadid al-har (sangat panas, terik). Tampaknya, keagungan Ramadhan tidak digemakan dari makna etimologinya saja, akan tetapi juga pada makna substantifnya. Nama Ramadhan selain menunjukkan kondisi alam yang ada di lingkungan sahara Arab yang terbiasa berhias terik dan panas, juga melambangkan sebuah tantangan dahsyat bagi para pelaksana ibadah puasa (al-shaimun).
Gempita keagungan Ramadhan membahana di seluruh penjuru dunia, karena di dalamnya terdapat ibadah puasa. Suatu ibadah yang berlandaskan legitimitas kitab suci yang pernah ada bagi seluruh umat beragama. Dalam Islam, ibadah puasa telah diperintahkan oleh Allah swt dalam kitab suci-Nya. Allah berfirman yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa seperti juga yang telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah, 183).
Awalnya, perintah puasa Ramadhan ‘terinspirasi’ dan ibadah puasa ‘asyura yang dilakukan oleh kaum Yahudi Madinah. Menurut Abd Fatah Husni al-Syeikh dalam bukunya Fiqh al-Ibadat, ketika Rasulullah saw datang ke kota Madinah, beliau menyaksikan kaum Yahudi berpuasa asyura. Beliau bergeming dan menyatakan bahwa kaum Muslimin lebih awla (berhak) atas puasa itu, lalu diwajibkanlah bagi umat Muhammad saw untuk melaksanakannya. Namun, pada tahun berikutnya, tepatnya pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban tahun kedua hijriah, puasa Ramadhan diwajibkan kepada umat Islam menggantikan puasa asyura yang mereka kerjakan.
Dan, di sinilah perintah puasa Ramadhan bertolak. Suatu titah Ilahiyah untuk menyucikan diri, penempa kader militan dalam memperjuangkan agama suci. Bulan penaklukan ego yang selalu menghegemoni syahwat dan birahi. Bulan kemenangan dalam segala bentuk perjuangan. Bulan yang akan memberi sebuah gelar kehormatan ‘taqwa’ bagi pencintanya. Gelar tertinggi yang berhak diraih oleh siapa pun. Sebuah anugerah yang membuka kesempatan bagi setiap hamba untuk merebutnya.
Sayyid Qutb dalam tafsir monumentalnya Fi Zilal Alquran, menuliskan bahwa orientasi agung dari puasa itu adalah taqwa. Ketakwaanlah yang membangkitkan hati sehingga bisa dan mampu melaksanakan kewajiban puasa. Taqwa juga yang menjaga hati dari kemaksiatan yang merusak puasa. Taqwa manjadi tujuan akhir dari jiwa dan puasa merupakan jalan menujunya. Inilah ungkapan indah al-Quran dengan kalimat la allakum tattaqun (agar kamu menjadi orang yang bertakwa).
Ibadah puasa menjadi titian menuju dermaga takwa. Ketakwaan merupakan jelmaan dari bentuk pengakuan akan status kehambaan seorang manusia kepada Tuhan. Ketakwaan merupakan pakaian dan keimanan, karena iman tidak akan memiliki nilai, bobot, dan makna apa pun jika tidak ditutupi dengan busana taqwa. Di sinilah tepatnya ungkapan al-iman uryan walibasuhu al-taqwa (iman itu telanjang dan busananya adalah takwa). Dengan demikian, para ulama mendefinisikan takwa menjadi kepatuhan, dalam menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Puasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari takwa yang terakumulasi dari terjemahan titah transendental Tuhan. Secara etimologi (lughawi), puasa (al-shaum) memiliki arti al-imsak (menahan). Pengertian spesifiknya (istilah) adalah menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa, dari mulai terbit fajar hingga tenggelamnya mentari. Ini artinya, berpuasa adalah usaha menahan diri dari perilaku konsumtif yang terlambangkan oleh perut dan tenggorokan.
Puasa adalah pengendalian diri sikap hedonistis dan berlebihan, yang tersimbol dari keinginan nafsu yang tidak bermuara. Adalah maklum bahwa segala keinginan perut jelas tak mungkin untuk dibatasi, karena Rasul sendiri sudah menganalogikan perut dengan bumi. Jika bumi menerima segala apa pun yang tertumpah di atasnya, perut juga menampung apa saja yang dimasukkan ke dalamnya.
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Minhaj al-Abidin menulis, perumpamaan yang indah tentang urgensi mengendalikan perut. al-Ghazali mengulas ungkapan teks hadits yang disabdakan Rasul, ”Jangan matikan hatimu dengan banyak mengkonsumsi makanan dan minuman, karena hati akan mati seperti tanaman yang mati karena kebanyakan air siraman”.
Dari sabda Rasul ini, para shalihin (orang-orang saleh) mengumpamakan lambung seperti kuali yang berada di bawah hati. Kuali itu selalu mendidih dan asapnya menerpa hati. Jika kebanyakan asap yang menyelimuti hati, ia akan mengeruh dan menghitam. Jika hati selalu keruh dan hitam, kejahatan menjadi kawan sejolinya. Syahwat duniawi menutupi gumpalan hati hingga mematikan nurani. Duhai Ramadhan, selamat datang, kau datang dengan bonus dengan ampunan! Wallahu’alam.
Hermanto Harun, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Kebangsaan Malaysia, Dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi