Lensa sejarah tidak hentinya menyorot laku kekuasaan. Bahkan, lajur kekuasaan selalu dipenuhi oleh rangkaian cerita yang akhirnya menjadi catatan-catatan yang memenuhi arsip sejarah. Dari itu, tamsilan perilaku penguasa tidak hanya cukup dibukukan dalam sejarah bangsa, namun lebih dari itu, dalam pelbagai kitab suci-pun, acapkali nama dan perilaku penguasa menjadi lakon yang diilustrasikan untuk dijadikan bahan renungan.
Apa pasal, karena suatu kenyataan yang sampai saat ini masih menjustfikasi, bahwa magnetisme kekuasaan masih berdayatarik tinggi dalam menggait peminatnya. Kekuasaan seaolah menyihir semua manusia, sehingga terhipnotis oleh kilau singgasana yang begitu menjanjikan. Inilah sebuah kenyataan ambisius manusia, sehingga laik untuk “dilegendakan” Tuhan dalam titah kitab suci-Nya.
Jika harus ‘bersemedi’ di atas ranah realitas umat kekinian, kadang terasa sangat miris, karena idelitas kekuasaan yang semestinya berstatus “pelayan” sangat antagonis dengan fakta pemangku kekuasaan. Seolah, singgasana kekuasaan menjadi hak milik personal, sehingga antara pemangku kekuasaan dan umat yang notabene memberi kekuasaan, terdapat batas, bahkan jarak yang sangat menganga.
Kekuasaan seolah menjadi pagar sekaligus tembok pemisah dari umatnya. Kekuasaan menjadi elitis dan borjuis yang hanya teruntuk bagi kaum atas, ningrat dan berdarah biru. Bagi mereka, kekuasaan seolah berbentuk harta yang harus diwariskan kepada keturunan dan atau kroni yang bisa menyelamatkan segala “kepentingan” di masa mendatang.
Beginilah realitas kekuasaan kekinian. Pragmatisme kekuasaan seringkali menjarak atau manjadi tabir dengan masyarakatnya. Kekuasaan berubah wujud, dari pelayan menjadi raja, dari pembantu menjadi majikan. Ungkapan sayyid al-ummah khodimuhum (pemimpin adalah pembantu umatnya) hanya slogan normatif yang tidak lagi memiliki makna dalam kenyataan. Ungkapaan tersebut hanya tinggal dalam kajian normatifitas dan etika kekuasaan an sic, namun sangat mahal dalam penerjemahannya secara faktual.
Dari krisis inilah barangkali sistem negara integralistik yang pernah di anjurkan oleh Spinoza, Adam Muller dan Hegel berangkat. Mereka menganggap bahwa negara bukan untuk melindungi kepentingan pribadi atau golongan dan kelas tertentu, melainkan untuk melindungi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Paul Tillich dalam bukunya yang berjudul Love, Power And Justice menggambarkan secara konprehensif tentang makna filosofis dan etis kekuasaan. Tillich, melalui bukunya tersebut, mencoba memberi penyadaran bahwa kekuasaan memiliki nilai luhur dan bermakna etis. Artinya, kekuasaan bukan untuk digunakan sebagai alat kepentingan pribadi dalam memperkaya diri, apalagi dengan kesewengan-wenangan menindas yang dikuasai, melainkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Dengan kata lain, kekuasaan sangat berkaiatan dengan norma-norma moral. Karena, eksistensi kekuasaan itu bersifat sosial dan personal.
Letak sksistensi social kekuasaan itu terdapat dalam kebutuhannya kepada orang lain (masyarakat). Kekuasaan tidak mungkin bertengger sindirian tanpa ada eksistensi masyarakat, dan keabsahan sebuah kekuasaan sangat tergantung pada pengakuan masyarakat. Sedangkan sifat personalitas kekuasaan itu terdapat dalam diri penguasa itu sendiri. Yakni, dalam mengejewantahkan nilai-nilai luhur yang berdiam dalam diri sang pemimpin. Dengan demikian, kekuasaan sangat jauh dari upaya untuk menwujudkan nafsu kebinatangan yang otoritarianik yang sering terlihat sekarang ini, melainkan pengungkapan norma dan nilai personalitas seperti yang berdetak dalam nuraninya.
Pada saat ini, konsep teoritik kekuasaan yang berlandaskan norma dan etika, bahkan agama, tergolong menjadi barang antik dan sungguh mewah di ranah empiris. Syahwat kekuasaan begitu menggoda untuk membuang jauh-jauh kejujuran, kebijkasanaan dan kebenaran. Sebagai akibatnya, dalam kamus kekuasaan sekarang, yang benar itu pendusta, yang cerdas itu hipokrit dan yang selamat itu oportunis. Jika berpegang pada agama, maka jauhi kekuasaan dan politik, dan agama cukup sebatas persoalan individual antara manusia dan Tuhan semata. Dengan demikian, kebenaran dalam kebijakan penguasa bukan bertolak ukur dari maslahat agama, namun berangkat dari kepentingan penguasa dan kroninya.
Wacana etik dalam kekuasaan hanya diperagakan ketika memberi sambutan acara keagamaan, sebelum pemilihan (baik Pemilu/pilkada) dan suasana lain yang lebih terkesan serimonik. Etika agama hanya mampu diterjemahkan pada retorika dan dalam ruang yang sempit, seperti rumah ibadah, majlis taklim dan ritualitas keagamaan lainnya. Etika tidak mampu menjamah uang dan kekuasaan. Biasnya, etika yang bernafaskan agama, hanya menjadi lipstick dan alat propaganda angin sorga belaka.
Hal ini terlihat, ketika mencalonkan diri sebagai penguasa, sejuta janji terucap, penuh basa-basi, mengunjungi rakyat kecil, terjun langsung ke bawah dan seabrek pekerjaan mulia dipublikasikan. Tapi ketika kekuasaan sudah dalam genggaman, semua janji terlupakan, berdiam dalam istana kekuasaan, rakyat kecil hanya menjadi tumbal politik dan kebijakan hanya berpihak kepada kaum elit dan konco kekuasaan.
Jika demikian, maka kekuasaan seirama dengan teori kedaulatan yang dikemukakan oleh Jean Bodin pada abad ke-16. Menurut Bodin, kedaulatan itu adalah kekuasaan yang mutlak dan kekal dalam suatu republik. Kedaualatan—masih menurut Bodin—meski sudah mengalami bermacam-macam perubahan tafsiran, tapi semua tafsiran itu bertujuan untuk membenarkan kekuasaan politik dari orang-orang atau golongan yang memangku kekuasaan.
Dalam konteks kedisinian, genderang irama kekuasaan barangkali masih mendayu. Potret kekuasaan seringkali tergambar dalam kebijakan yang tidak populis. Kekuasaan seringkali beralibi dengan kebijakan yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat.
Namun kenyataan menjawab, angka kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, kualitas pendidikan menurun dan angka kriminalitas semakin menjulang.
Para pemangku kekuasaan selalu menari di atas kata pengabdian kepada rakyat. Secara tekstual sangat sarat dengan nilai etik dan norma kekuasaan. Akan tetapi, dalam perjalanannya sangat sulit untuk dipertanggug jawabkan. Ungkapan bijak tersebut seolah hanya klise dan fantasi untuk menghibur kegalauan, kegundahan dan kecemasan masyarakat. Masyarakat menunggu karya nyata penguasanya dalam mensejahterakan mereka. Rakyat selalu menagih dan menunggu bukti konkrit realisasi program kerakyatan yang senantiasa didengungkan. Sudahkah program yang bersampul rakyat tersebut menyentuh nadi kesejahteraan kaum marginal nan jelata, atau hanya menjadikan rakyat sebagai penonton dari proyek yang ditenderkan untuk membalas jasa politik, atau imbal budi dari kekuasaan yang telah digenggam? Sudahkah semua level kekuasaan di negeri ini berpihak kepada titah Tuhan? Atau hanya berdialetika dengan sumpah atas nama Tuhan ketika awal memangku jawabatan?
Kita berharap, mereka yang mengucapkan syahadat ketika disumpah untuk menduduki singgasana, tidak melupakan sumpah mereka. Karena, jika sumapah itu dilupakan, maka Tuhan akan menyampaikan teguran pesan kepada hamba-Nya berupa teguran-teguran dengan bahasa alam, yang kebanyakan meninggalkan kesan mengenaskan.
Kita semua berharap, kabut awan tebal yang menaungi lingkungan kekuasaan pada pemerintahan periode yang lalu, mencair menjadi tetesan kepedulian rakyat pada periode mendatang. Sehingga, megnetisme kekuasaan melahirkan secercah cerah yang menyinari setiap sudut kebijakan kepada rakyat. Karena, orang-orang kecil nan pinggiran sudah jenuh dengan slogan pengabdian, yang padahal sedang menutupi muka bringas penindasan berjangka, terstruktur dan berjamaah.
Semoga ungkapan tulus penguasa yang selalu tertulis dan terucap dalam lembaran pidato dan sambutan menjadi kenyataan bagi rakyat yang kadang bosan menyimaknya. Wallahu’alam
Hermanto Harun, Dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, Mahasiswa Program Doktor National University of Malaysia