Dalam sebuah buku yang berjudul “The Great Theft: Wrestling Islam From The Extremists” Khaled Abou el-Fadl, seorang Profesor di UCLA Amerika Serikat menulis;memilih terminologi yang tepat untuk menamai sehimpunan keyakinan dan pendirian senantiasa sulit, label-label tertentu tidak hanya mendeskripsikan, label-label juga menghakimi. Tulisan Khaled ini, agaknya singkron dengan konteks fluktuasi hubungan sosial keagamaan di Indonesia terakhir ini, dimana kisruh tentang terorisme seakan tidak pernah berujung.
Di negeri yang mayoritas muslim ini, label terorisme seolah menjadi sisi mata uang dengan penganut agama Islam. Label teroris seakan dengan sendirinya sepadan dengan identitas seorang muslim. Sehingga, terma terorisme terperangkap dalam terminologi label sehimpunan keyakinan dan pendirian yang selanjutnya dideskripsikan dan kemudian dihakimi sebagai dogma Islam.
Labelitas teroris yang alias muslim, seakan semakin menguatkan persepsi, ketika pelaku yang disangkakan teroris tersebut menganut dan berakidah Islam. Ditambah lagi dengan berbagai idiom dan simbol formal pelaku teror tersebut yang berkonotasi seorang muslim yang taat, rajin solat dan mengajar pengajian di masyarakat. Ujungnya, bisa dipastikan, mengarah pada justifikasi, bahwa memang, terorisme selalu bertalian dengan faham dogmatif keberagamaan Islam. Lantas, apakah benar asumsi prejudis seperti demikian terhadap Islam?
Stigma terorisme
Semenjak peristiwa Sabtu kelabu, 11 September 2001 yang menghancurkan WTC dan Pentagon, gedung simbol kedigdayaan Amerika Serikat itu, isu terorisme terus mengalir ke permukaan wacana. Ruang publik seakan tak hentinya dirasuki hidangan isu terorisme yang sampai saat ini belum jelas identitasnya. Sepertinya, wacana terorisme senantiasa menjadi ‘headline’ setiap berita di pentas global. Seolah, terorisme menjadi konco dinamika dunia yang tak boleh terlewatkan dalam pemberitaan.
Adalah Rif’at Said, yang menulis artikel berjudul "al-Irhab fi Alam al¬Aulamah" (teroris dalam dunia global) di harian al-Ahram Mesir (20/4/2007), dalam tulisan itu mengungkapkan, bahwa, ada sebuah perenungan dalam kerangka peta zaman baru yang disebut globalisasi. Semua ini terkadang menyuguhkan ragam penafsiran yang layak untuk diperhatikan, yaitu adanya dua kutub dunia yang berbeda, antara dunia maju dan dunia yang selalu identik dengan keterbelakangan. Disini difahami, golongan pertama adalah keberhasilan, kemajuan dan harus dilindungi, sedangkan golongan kedua adalah kemunduran, keterbelakangan yang selanjutnya selalu diposisikan sebagai ancaman.
Terorisme menjadi alat dan opini jitu untuk dijadikan kambing hitam sebagai pencitraan buruk terhadap golongan kedua yang `konon’ masih menjadikan agama sebagai nafas kehidupan. Sehingga, golongan pertama yang berbaju Barat seakan menjadi pejuang dan pahlawan terhadap pemberangusan terorisme. Walaupun sulit untuk menutup topeng, bahwa, iklan besar-besaran tentang terorisme yang disponsori oleh Barat memiliki hiden agenda, yaitu untuk kepentingan kapitalisme, dan bahkan tidak mustahil demi untuk agama (crused). Dengan demikian, yang tampak sekarang, Islam selalu menjadi pihak tertuduh yang ditempelkan dengan prilaku teroris. Lebih dari itu, norma Islam bahkan diidentifikasi sebagai ajaran yang memang akrab dan bahkan memang mengajarkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut.
Bagi penganut Islam, tuduhan dan persepsi seperti di atas jelas ditolak, karena memang sangat kontradiktif dengan nilai humanisme dogma Islam. Namun fakta waqi’nya,para pelaku yang dianggap teroris, sebagiannya berstatus sebagai muslim. Lantas, benarkah asumsi bahwa tindakan terorisme bermotif agama? dan apa sebenarnya "binatang" terorisme itu?.
Definisi terorisme
Mendefinisikan terma terorisme sacara harfiyah tidaklah begitu sulit. Namun, menerjemahkannya secara kully (konprehensif) dengan konkteks kekinian terasa amat akut. Mengingat, terma terorisme sudah dirasuki, ter-sibghah (diwarnai) oleh pelbagai kepentingan, baik ideologi maupun politik. Sehingga, ketika harus menuding seseorang dengan teroris, terasa sulit untuk meyakini kebenaran relevansinya antara stigma dan pelakunya. Hal ini, karena terma terorisme telah memasuki wilayah klaim masing-masing dengan beragam tafsiran, selaras agenda yang berkepentingan. Disinilah tepatnya ungkapan Fahmi Huwaidi dalam bukunya al-Maqalat al-Mahzurah (kumpulan artikel terlarang) yang menjelaskan, bahwa dekade terakhir ini, perbuatan baik dituding sebagai sebuah kejahatan, putih menjadi hitam, dan mujahid dianggap teroris.
Namun, di tengah subyektifitas dan kerancuan makna terorisme, tidak lantas istilah ini terisolir dan luput dari pengertian akademiknya. Menurut Vidari, kata terorisme merupakan istilah asing yang digunakan untuk menyebut seseorang dan atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan dan teror di tengah-tengah masyarakat. Jhon M Echols menyebut arti teroris sebagai penggetaran atau perusuh atau tindakan kekerasan yang disertai dengan sadisme yang dimaksudkan untuk menakut¬-nakuti lawan. Akan tetapi dalam kamus adikuasa, menurut Noam Avram Chomsky, terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok¬-kelompok kecil. Amir Thohiri dalam bukunya al-lrhab al-Muqaddas (terorisme suci) menulis,
semua tindakan kekerasan yang diluar undang-undang perang–seperti yang telah disepakati oleh seluruh negara di dunia–dengan tujuan memberi rasa tidak aman demi tercapainya tujuan politik.
Pengertian di atas, merupakan persepsi personal ilmuwan dalam mendefinisikan makna terorisme. Pada level kenegaraan, Mesir misalnya, pernah diadakan forum dialog antara ketua Asosiasi Keamanan Nasional Arab dengan ketua Dewan Syura (MPR) Mesir pada tanggal 20 Maret 1993 yang mengangkat tema "Menghadang Terorisme". Dalam dialog ini menelurkan pengertian terorisme, yaitu, segala praktek kekerasan atau ancaman dengan tujuan politis untuk mempengaruhi prestise negara atau untuk menguasai keamanan dengan obsesi menggoyang kepemimpinan nasional, yang bisa dilakukan dengan pelbagai cara, seperti menghancurkan perekonomian agar tercipta keresahan yang berujung kerusuhan. Juga, sebuah obsesi untuk merubah perundang-undangan yang telah
ditetapkan oleh negara dan telah diterima oleh masyarakat.
Jika berangkat dari pengertian terorisme secara leksikal seperti di atas, maka mafhum sederhana dapat disimpulkan bahwa terorisme itu selalu ada dalam realitas sejarah kehidupan manusia. Bahkan, ada semenjak manusia itu membentuk komunitas sosial seperti tragedi pada bani Adam, Habil dan Qabil. Namun pengertian terorisme dalam pemikiran modern mengkristal semenjak revolusi Prancis pada tanggal 10 Agustus 1792, ketika pihak oposisi revolusi melakukan pelbagai tindakan kekerasan dalam menantang revolusi tersebut.
Dalam perkembangannya, gerakan terorisme memang sangat sering dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini terlihat dari beberapa klasifikasi yang dirangkumkan oleh para ilmuwan. Setidaknya ada tiga. Pertama, terorisme kriminal seperti gerakan perompakan dan penodongan. Kedua, terorisme hegemonic seperti yang banyak dilakukan oleh banyak penguasa terhadap lawan politiknya dalam melanggengkan kekuasaan. Ketiga, terorisme pemikiran seperti pemaksaan opini dan pemahaman terhadap kelompok lain.
Apapun depenisi terorisme, yang jelas, selama entitas teroris tersebut selalu berkolaborasi dengan kekerasan, melakukan tindakan terror, apalagi membunuh manusia tanpa dosa, maka, semua it sudah pasti bertentangan dengan nilai dan dogma Islam. Karena, dari semenjak diserukannya, Islam selalu mengedepankan aspek kemanusiaan, bahkan aspek kemanusiaan menjadi bahasan sentral dalam kitab suci al-Qur’an yang menjadi pedoman dan rujukan keimanan setiap muslim.
Jika demikian, maka anggapan dan tuduhan terhadap Islam sebagai biang ideologi terorisme jelas merupakan fitnah. Sebab, menurut Abou Fadl, Islam yang tidak humanistik adalah Islam yang keliru, karena Islam adalah pesan kasih sayang, rahmat, cinta dan keindahan. Jadi, yang sebenarnya teroris itu siapa? Yang pasti, teroris adalah mereka yang selalu menebar fitnah terorisme terhadap Islam. Wallahu’alam
Hermanto Harun, Dosen Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Syafudin Jambi, Mahasiswa PhD National Univeristy of Malaysia.