Barangkali, bagi komunitas muslim sejagad, khususnya muslim nusantara, suatu yang tidak terlewatkan dalam setiap bulan Rajab adalah peringatan momen Isra’ Mi’raj.
Peristiwa besar yang direkam oleh kitab suci al- Qur’an itu seolah telah berakulturasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan ‘ritualitas’ keberagamaan muslim Indonesia. Sehingga, riuh bulan Rajab selalu sejoli dengan momentum perayaan Isra’ Mi’raj yang diyakini terjadi pada tanggal 27 Rajab.
Walaupun, tidak semua pendapat menyatakan peristiwa Isra dan Mi’rajnya Rasulullah Muhammad saw itu jatuh pada waktu tersebut, karena Ibn Ishaq al-Harbiy berpendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabi al-Akhir, setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah.
Ada banyak varian persepsi tentang kapan tepatnya kejadian peristiwa mujizat Rasul yang maha dahsyat itu, apakah pada tahun kesepuluh ke-nabian ataukah sesudahnya?
Menurut riwayat Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya, peristiwa ini terjadi delapan belas bulan sebelum Hijrah. Banyaknya pendapat tentang kapan tahun kejadian Isra’ Mi’raj ini disebabkan oleh ragam pandangan tentang waktu meninggalnya istri Rasullah pertama, Siti Khadijah. Ada yang menyatakan, meninggalnya Khadijah dua tahun, tiga tahun atau empat tahun sebelum Hijrah ke Madinah. Sedangkan menurut Abu Bakr Muhammad bin Ali bin al-Qasim al-Zahabiy, peristiwa Isra Miraj terjadi delapan belas bulan setelah masa kenabian.
Lain lagi menurut seorang ulama hadist abad ke tujuh, Abu al-khitab Umar bin Dahyan,
dalam kitabnya ’Ada’ Ma Wajaba Fi Bayan Wadl’i al-Wadldla’ain Fi Syahri Rajab” mengatakan bahwa terjadinya peristiwa Isra’ pada Rajab adalah pendustaan publik. Pendapat ini diamini oleh Ibn Hajar ’Asqalany, seorang ulama yang menulis syarh (penjelasan) Shahih al-Bukhari. Menurut al-Qaradhawi, tidak ada satu hadist sahih-pun yang menjelaskan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Pendapat ini hanya masyhur dikalngan umat, yang dinisbatkan kepada Imam Nawawi dalam fatwanya.
Apapun pendapat tentang tepatnya waktu kejadian Isra’ Mi’raj, yang jelas, bahwa perjalanan Rasulullah saw dari Masji al-Haram (Saudi Arabia) ke Bait al-Maqdis (Palestina) pada malam hari (asra) dan kemudian naik ke langit menuju Sidratul Muntaha (mi’raj) terjadi setelah meninggalnya Siti Khadijah dan setelah penitahan kenabian oleh Allah kepada RasulNya (bi’tsah).
Perbincangan dalam perbedaan perspektif tentang kapan tepat waktu terjadinya peristiwa Isra dan Mi’raj tersebut, menunjukkan akan kayanya argumentasi sejarah tentang kejadian peristiwa maha agung itu. Juga, mengindikasikan bahwa kejadian dalam sejarah tidak sangat memprioritaskan pada tepat waktu kejadiannya, namun yang lebih penting adalah, apa hikmah dan pelajaran yang mampu dijadikan ketauladanan dalam sikap perilaku keseharian. Inilah agaknya rahasia besar, mengapa kitab suci al-Qur’an tidak menyebut secara jelas waktu tepat kejadiannya berbagai peristiwa yang dikisahkan dalam al-Qur’an, khususnya peristiwa Isra’ Mi’raj.
Tersembunyinya waktu tepat kejadian beragam peristiwa itu, khusunya Isra’ Mi’raj, merupakan ibrah, bahwa urgensitas (awlawiyat) peristiwa ini bukan pada kapan waktu kejadiannya, yang kemudian cenderung diperingati dan dirayakan secara seremonial.
Karena faktanya, seremonialisasi peristiwa keagamaan cenderung mengarah kepada legenda dan cerita tanpa mampu mentranspormasikan pesan profetik kejadian tersebut ke ranah realitas kehidupan, baik individu maupun kehidupan kolektif.
Seremonialisasi berbagai peristiwa sejarah keagamaan, khusunya Isra’ Mi’raj, akhirnya hanya sebatas ritual budaya yang seolah terjebak oleh kungkungan cerita waktu tepat kejadian suatu peristiwa itu semata. Akibatnya, penterjemahan peristiwa sejarah tersebut terjebak dalam rutinitas yang tidak jarang lari dari maksud dan tujuan sebenarnya mengapa peristiwa itu diciptakan dan dicatat oleh Allah di dalam kitab suci-Nya.
Penterjemahan perintiwa Isra’ Mi’raj semacam itu, akhinrya juga terperangkap dalam pola keberagamaan yang formalistik, yang cenderung abai terhadap substansi dan orientasi ajaran agama itu sendiri. Sehingga seolah-olah, bulan Rajab hanya sebatas ruang pengulangan cerita tentang apa yang dialami dan ditemukan oleh Rasulullah dalam perjalanan mu’jizat besarnya itu. Jeratan formalisme keberagamaan inilah kemudian menjadi anomalik dan bahkan simalakama, yang membuat kualitas beragama umat tidak pernah terukur dengan baik. Bahkan, formalisme keberagamaan cenderung menjadi senjata yang memangsa umatnya sendiri.
Dari itu sangatlah relevan, jika dipertanyakan, sejauhmanakan kualitas keberaagamaan
umat dengan rutinnya perayaaan hari besar keagamaan itu? adakah peringatan dan perayaan hari besar tersebut memberi kontribusi terhadap pemahaman umat terhadap
ajaran agamanya, sehingga mampu direalisasikan dalam semua lini kehidupan? Atau,
perayaan Isra’ Mi’raj telah terperangkap dalam kubangan ritual kapitalisme, yang
cenderung menghitung kuantitas perayaan dan biaya perhelatannya. Bahkan, yang sungguh miris, perayaan Isra’ mi’raj menjadi panggung selebritas penceramah dengan mengunggulkan gaya ”srimulat” dengan menkomedikan cerita sejarah mu’jizat agung Nabi terakhir tersebut.
Disinilah kemudian pertanyaan besar pantas didengungkan, apa setelah Isra’ Mi’raj? mengingat peristiwa Isra’ mi’raj selalu up to date untuk diterjemahkan ke dalam konteks realitas keummatan. Sejauh manakah setiap individu muslim mampu mengartikulasikan ajaran yang terkandung dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut?
Sudahkah para eksekutor negara, wakil rakyat, kaum intlektual, ekonom, tenaga pendidik dan profesional dan rakyat sekalipun, menjadikan kandungan hikmah peristiwa Isra dan Mi’raj sebagai standar evaluasi keberagamaan, baik personal maupun secara kolektif?
Segala pertanyaan tadi terasa sangat serius, mengingat, jebakan formalisme perayaan hari besar keagamaan Islam, khususnya Isra’ Mi’raj, tidak akan mengantarkan umat kepada izzahnya sesuai cita sejarah. Dengan demikian, semua peristiwa agung itu
hanya sebatas cerita rutin yang miskin misi, menguras energi dan krisis orientasi.
Jika itu yang terjadi, maka perayaan tahun berikutnya hanya pesta umat di atas nisan kuburan kemajuan peradaban mereka sendiri. Na’uzubillah. Wallahu’allam
Hermanto Harun; Anggota MUI Prov Jambi & Pembina Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Jambi.