Kartini tak pernah lenyap dari pembicaraan. Perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879, ini seolah-olah menjadi perempuan luar biasa yang diperebutkan pelbagai pihak. Keuntungan didapatkan Kartini ketika hari kelahirannya dijadikan hari nasional. Tak ada tokoh selain Kartini yang namanya dikhususkan sebagai hari peringatan di negeri ini. Bulan April seakan-akan menjadi bulan Kartini, perempuan ¼ abad itu.
Keuntungan Kartini telah terjadi ketika surat-suratnya dikumpulkan dan dibukukan oleh J.H. Abendanon pada 1911. Kumpulan surat ini yang menjadikan Kartini bisa terus “mengada” sampai detik ini. Ada sumber mengatakan bahwa surat-surat Kartini yang diberi judul Door Duisternis Tot Licht dimaksudkan untuk menjaring dana bagi pendirian sekolah Kartini. Alasan J.H Abendanon itu patut dipertanyakan. Bukankah sebelum ada sekolah Kartini telah berdiri sekolah untuk perempuan di negeri ini? Mengapa menjaring dana harus dengan membukukan dan menerbitkan surat-surat Kartini?
Surat-surat yang dikirimkan Kartini bersifat pribadi. Kartini menulis surat kepada sahabat-sahabat penanya tentu tak bermaksud untuk dipublikasikan. Apakah dibenarkan secara etika menerbitkan surat-surat Kartini tanpa sepengetahuan Kartini? Sebagaimana diketahui, Kartini tidak hanya menulis surat, tapi juga menulis untuk pelbagai majalah terbitan Belanda. Jika ingin mengabadikan pemikiran Kartini, tulisan-tulisan yang dimuat di majalah itulah yang selayaknya dikumpulkan dan dibukukan, bukan surat-suratnya!
Ketika J.H Abendanon menjalankan proyek membukukan surat-surat Kartini, surat-surat yang ditulis Kartini memang tak seluruhnya dipublikasikan. Ada beberapa sahabat pena Kartini yang tak sudi menyerahkan surat kepada J.H. Abendanon. Sahabat pena Kartini yang bersedia menyerahkan surat pun tak menyerahkan seluruhnya. Ada surat yang diserahkan kepada J.H. Abendanon, ada yang tetap dipegang erat-erat. Pun, surat-surat yang diserahkan tentu tak bisa menghindari proses editing J.H. Abendanon yang memiliki kepentingan.
Dari kumpulan surat-surat Kartini itulah, kita bisa membaca Kartini. Kita bisa membaca kehidupan dan dunia Kartini, membaca ide dan pemikiran Kartini. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Kartini, kita bisa menelusuri dan membaca surat-surat Kartini. Kita pun bisa membaca “wajah agama” Kartini
Door Duisternis Tot Licht, Minazh-Zhulumati ilan-Nur?
Pada dasarnya, membaca Kartini hanya dari surat-suratnya tidaklah bisa tepat menggambarkan Kartini yang sesungguhnya. Sisi psikologis Kartini ketika menulis surat menjadi pertimbangan yang tak mungkin diabaikan. Ada keterbatasan dalam tulisan surat untuk bisa menjelaskan kehidupan Kartini secara keseluruhan.
Lewat surat-suratnya, Kartini akhirnya memang menjadi sosok multi tafsir. Memahami Kartini, kita tak bisa asal-asalan membaca surat-suratnya. Selain dituntut membaca surat-surat Kartini tidak sepotong-potong, kita juga harus melihat periode waktu penulisan surat. Ada perkembangan intelektualitas-emosional Kartini yang tentu mempengaruhi penulisan surat-suratnya.
Dalam hal ini, ada pertanyaan yang menuntut kejernihan, benarkah maksud dari Door Duisternis Tot Licht adalah Minazh-Zhulumati ilan-Nur? Entah siapa yang mula menafsirkannya. Terdapat pendapat yang lama berkembang di kalangan umat Islam bahwa Kartini terpesona dengan kalimat dalam surat Al-Baqarah ayat 257. Kalimat itulah yang dikatakan menginspirasi Kartini sehingga kerap menyebutnya dalam penulisan surat.
Pemilihan judul Door Duisternis Tot Licht untuk kumpulan surat Kartini disebabkan seringnya ungkapan itu muncul. Membaca surat-surat Kartini, ungkapan dari gelap menuju terang atau sejenisnya memang banyak terpapar. Lalu, di mana letak kalimat itu? Buku yang digunakan dalam kajian dan telaah ini adalah Surat-Surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya, diterjemahkan dari Door Duisternis Tot Licht oleh Sulastin Sutrisno diterbitkan Penerbit Djambatan, cetakan ke-2, 1981.
Dalam surat Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon tertanggal 17 Agustus 1902, Kartini menulis, “Kami berpegang teguh-teguh pada tangan-Nya. Dan di situ gelap gulita menjadi terang, dan angin ribut menjadi angin sepoi-sepoi.”(hlm. 246)
Ungkapan yang serupa pernah ditulis Kartini dalam suratnya kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer tertanggal Oktober 1900, “Tetapi sekarang kami berpegang teguh pada tangan-Nya. Kepada Dia tiada putus-putusnya kami arahkan pandangan kami. Dia akan mengemudikan kami, mempertimbangkan dengan penuh kasih sayang. Dan di situlah gelap menjadi terang, angin ribut menjadi angin sepoi-sepoi.”(hlm. 84)
Membaca dua kutipan isi surat di atas terasa merupakan ungkapan indah. Namun, kita bisa membaca kalimat serupa yang disebutkan Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902:
Dan dengan sangat sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan: “Berpuasalah satu hari satu malam dan jangan tidur selama itu, juga harus mengasingkan diri di tempat yang sunyi sepi.”
“Habis malam datanglah cahaya,
Habis topan datanglah reda
Habis juang datanglah mulia,
Habislah duka datanglah suka.”
berdesau-desau dalam telinga saya sebagai rekuiem.
Itulah maksud dan buah pikiran yang terdapat dalam kata-kata perempuan tua itu. Berpuasa dan tidak tidur itu lambang pandangan berikut: “Dengan berkekurangan, menderita dan tafakur akan diperoleh nur cahaya!” Tidak ada cahaya, yang tidak didahului oleh gelap. Bagus bukan? Menahan lapar dan nafsu adalah kemenangan rohani atas jasmani. Dalam menyepi orang dapat belajar berpikir.(hlm.241)
Apa maksud “berdesau-desau dalam telinga saya sebagai rekuiem”? Kita lihat kalimat serupa dalam surat Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya tertanggal 4 Oktober 1902, “Tidak ada sesuatu yang terang-benderang, yang tidak didahului gelap gulita: itu pelajaran dari hari ke hari, dari malam ke malam. Pelajaran siang dan malam!” (hlm.276).
Ungkapan-ungkapan yang menyebut “gelap ke terang” dalam surat Kartini begitu banyaknya. Dimanakah minazh-zhulumati ilannur? Apakah Kartini terinspirasi dari surat Al-Baqarah ayat 256?
Kita dituntut membaca surat Kartini tidak sepotong-potong. Perhatikan kelanjutan kalimat “gelap gulita menjadi terang” pada surat Kartini tertanggal 17 Agustus 1902, “Kami berpegang teguh-teguh pada tangan-Nya. Dan di situ gelap gulita menjadi terang, dan angin ribut menjadi angin sepoi-sepoi.
Kami tidak takut, sungguh tidak takut. Di mana pun kami berada, di situ ada seorang Bapak, yang menjaga kami, yang mengawasi kami, yang mempertimbangkan sesuatu tentang kami dengan kasih sayang.”
Jika kita cermati surat Kartini tertanggal 15 Agustus 1902, maka dimungkinkan syair itu yang justru menginspirasi Kartini suka menyebut “dari gelap ke terang”. Syair “perempuan tua” yang berbunyi Habis malam datanglah cahaya,//Habis topan datanglah reda//Habis juang datanglah mulia,//Habislah duka datanglah suka, dikatakan Kartini berdesau-desau dalam telinganya. Apa pelajaran yang diterima siang dan malam yang dungkapkan Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya dalam suratnya tertanggal 4 Oktober 1902? Pelajaran dari “perempuan tua”-kah dengan syairnya? Ataukah pelajaran dari surat Al-Baqarah ayat 257?
Apakah Kebaikan adalah Agama?
Untuk bisa memastikan apakah yang dimaksud Kartini adalah minazh-zhulumati ilannur, kita bisa melihat naskah aslinya. Dimana saja sebenarnya kalimat Door Duisternis Tot Licht itu tertera? Lalu, apakah Kartini menulis minazh-zhulumati ilannur dalam suratnya? Mana naskah aslinya jika benar-benar tertera minazh-zhulumati ilannur Ataukah kita sekadar menafsirkan bahwa Door Duisternis Tot Licht maksudnya adalah minazh-zhulumati ilannur tanpa pengetahuan secara jelas?
Kartini seolah-olah menjadi sosok yang diperebutkan pelbagai pihak sesuai kepentingan masing-masing, bahkan oleh umat Islam sendiri. Fatalnya, mengutip kalimat dalam surat Kartini hanya sepenggal-penggal. Kalimat yang juga sering dikutip kalangan umat Islam secara utuh adalah bunyi surat Kartini kepada Nyonya N. Van Kol tertanggal 21 Juli 1902, “….moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Mari kita lihat teks suratnya setelah kalimat di atas:
“Selamanya kami maklum dan mengerti, bahwa inti semua agama ialah Kebaikan, bahwa semua agama itu baik dan bagus. Tetapi, aduhai! Manusia, apa yang kau perbuat dengan agama itu!”(hlm. 230)
Ada sikap tidak jelas Kartini terkait keyakinan/’aqidahnya. Membuat agama Islam patut disukai dalam konteks apa? Kaum liberal pun akan mengatakan siap membuat Islam patut disukai di mata pemeluk agama lain.
Kalimat serupa juga tampak 5 bulan sesudahnya dalam surat Kartini kepada Nyonya R.M Abendanon-Mandri tertanggal 12 Desember 1902, “Lambat laun barulah kami tahu, bukan agama yang tiada kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. Sepanjang hemat kami agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seseorang mutlak menjadi Kristen? Orang Budha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat juga hidup dengan kasih sayang yang murni.”(hlm. 293).
Berdasarkah isi surat tersebut, Kasih Sayang adalah agama menurut Kartini. Terserah memeluk agama apa, Kasih Sayang adalah agama yang paling indah dan paling suci. Dalam suratnya kepada E.C. Abendanon, Kartini berkata, “Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa, ajarlah dia mengenal Tuhan yang esa, mengenal Bapak Pengasih dan Penyayang, Bapak semua makhluk, Bapak orang Kristen, orang Islam dan lain-lain.”(hlm. 311)
Lihat juga dalam surat Kartini kepada Tuan Dr. N. Adriani tertanggal 5 Juli 1903, ”Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, di tengah-tengah tiap bangsa.”(hlm. 333).
Dalam notanya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan! tertanggal Januari 1903, Kartini mengemukakan gagasan dan pemikiran terkait dengan dunia pendidikan. Kartini memandang persoalan agama tak diikutsertakan dalam pendidikan alias bersifat netral. Kartini membiarkan siapa pun bebas dalam pilihan agamanya, bahkan tak masalah jika orang ingin tetap menganut kepercayaan nenek moyangnya
Dari keterbatasan kemampuan pikir dan analisis penulis, Kartini tak memiliki spirit agama (baca: Islam) dalam perjuangannya. Jika pun Kartini konsisten berbicara akhlak ataupun budi pekerti, akhlak yang dipahami Kartini adalah menurut versi Kartini. Perhatikan makna peradaban menurut Kartini berikut:
“Peradaban yang sesungguhnya bukan terletak dalam warna kulit, bukan dalam bahasa yang dipakai, juga tidak dalam nama kepercayaan yang dianut. Peradaban yang sesungguhnya terletak dalam hati sendiri. Peradaban yang sesungguhnya ialah akhlak dan keagungan jiwa! Keduanya itu harus dikembangkan di antara semua bangsa yang menganut berbagai kepercayaan untuk mengagungkan Tuhan, Tuhan Yang Esa dan Yang Benar, Bapak semua makhluk.”(Kartini dalam Berilah Orang Jawa Pendidikan!, 3 Januari 1903).
Dari pemaparan di atas, kita perlu merenungkan sejenak. Perlu kajian mendalam terkait pemikiran Kartini secara utuh. Wallahu a’lam.
Profil penulis:
Hendra Sugiantoro; Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta&Kontributor PROGRESS UKKI Jama’ah Al-Mujahidin UNY; Email: [email protected] HP: 085228438047