Desakan penggolan Amandemen UU Perkawinan kembali menghangat. Kali ini dipicu oleh pemberitaan mengenai munculnya Klub Poligami beberapa waktu lalu yang tak urung memunculkan kontroversi. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya, isu poligami memang menjadi jalan yang paling mudah untuk menggiring masyarakat ‘berpikir’ bahwa (seolah) ada masalah dengan aturan perkawinan di negeri ini.
Masih terngiang di telinga kita tentang poligami yang dilakukan da’i kondang Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym) beberapa waktu yang lalu. Poligami Aa Gym ternyata tak hanya mengundang gejolak publik. Bahkan SMS ke ponsel Presiden saat itupun mengalir deras. Akhirnya, Presiden Yudhoyono secara khusus memanggil Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Dirjen Binmas Islam Nazzarudin Umar meminta revisi agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 (yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami) diperluas, tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga pada pejabat negara dan pejabat pemerintah.
Poligami adalah termasuk masalah serius yang selalu ditatap tajam oleh kalangan penggiat feminisme. Menurut mereka legalitas poligami dalam agama hanya akan mendorong martabat kaum hawa semakin terperosok kebelakang. Bahkan, menurut mereka, merebaknya poligami semakin menguatkan asumsi publik bahwa wanita hanya selalu dijadikan alat pelampiasan nafsu belaka oleh kaum adam.
Seolah mendapat restu dari pemerintah, para aktivis yang mengklaim sebagai pejuang hak perempuan ini berbunga-bunga. Betapa tidak, upaya amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang juga memuat pasal tentang poligami seolah menemukan momennya. Amandemen UU Perkawinan yang telah lama digagas para aktivis yang mengklaim pembela hak perempuan, menemukan cahaya cerah. Minimal berpeluang besar untuk kembali dilirik, dengan harapan kemudian dibahas dan dapat digolkan.
Kritisi Draft Amandemen UUP
Kerangka amandemen UU Perkawinan telah lama disusun oleh para aktivis perempuan, pasca kegagalan mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang dimotori Feminis Musdah Mulia. CLDKHI memang secara terang-terangan dan frontal menyerang Islam, karena itu langsung dianulir.
Namun, para penggagas CLDKHI tak kurang akal. Mereka berupaya memasukkan substansi-substansi CLDKHI dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Diantaranya berhasil digolkan menjadi hukum positif, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang berhasil memotivasi kaum perempuan untuk berani melawan suami dan berani bercerai; UU Perlindungan Anak (UU PA) yang meliberalkan anak-anak sejak dini dan menegasikan peran orang tua dalam mendidik anak; serta UU Kewarganegaraan yang semakin melegalkan pernikahan campuran beda agama (yang dalam agama tertentu (baca: Islam) dilarang) dan memudahkan pelegalan anak hasil perzinaan.
Dalam hal pelarangan poligami sebagaimana dikehendaki CLDKHI, mereka membidik UU Perkawinan. Poligami ditentang habis-habisan dan diupayakan untuk dihapuskan sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari draft amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 versi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menghendaki dihapuskannya pasal 3, 4 dan 5 tentang poligami dalam UU Perkawinan.
Sederet argumen dikemukakan. Antara lain, poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami hanya untuk kepentingan biologis, menempatkan perempuan sebagai sex provider. Argumen-argumen yang seolah masuk akal, padahal sejatinya hanya dibangun berdasarkan asumsi dan justifikasi subjectif.
Selain pasal poligami, pasal 7 berbunyi “Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” diganti dengan “Perkawinan hanya diizinkan jika kedua belah pihak berumur di atas 18 tahun”. Alasannya, pembedaan usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bias gender. Hal ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun.
Bila ditelaah, penetapan angka 18 tahun ini mengandung maksud, yakni untuk meninggikan usia pernikahan dengan harapan usia reproduksi perempuan akan semakin pendek. Bagaimana tidak, dengan kampanye 4T yang mereka gembar-gemborkan, maka peluang lahirnya generasi dari kaum wanita semakin sempit.
4T tersebut adalah (1) Tidak terlalu dini (maksudnya jangan nikah muda, dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); (2) Tidak terlalu banyak (maksudnya dua anak cukup, selaras dengan program KB dengan dalih demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup); (3) Tidak terlalu dekat (maksudnya jarak kelahiran anak jangan terlalu dekat dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); dan (4) Tidak terlalu tua (maksudnya, jangan melahirkan anak lebih dari usia 34 tahun, dengan dalih risiko tinggi).
Selain pasal di atas, pasal 11 berisi masa iddah bagi wanita bercerai, dikehendaki untuk diberlakukan juga bagi laki-laki. Massa iddah yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah mantan istri itu hamil atau tidak, diberlakukan pada laki-laki yang tak mungkin hamil.
Pukul rata atas perjuangan menuju gender equality lebih jelas lagi dalam pasal 34. Pasal berisi pembagian peran antara suami dan istri itu, mereka obrak-abrik dengan menghendaki peran dan tanggungjawab yang sama antara suami dan istri. Dengan demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa diambil-alih oleh istri. Demikian pula sebaliknya, peran istri sebagai pengatur rumah tangga harus pula dibebankan kepada suami.
Atas dasar ini, istri tidak boleh dilarang bekerja agar memiliki bargaining power sebagai pengambil kebijakan dalam rumah tangga, karena memiliki sumber penghasilan. Jika suami melarang istri bekerja, akan dikenai delik kekerasan versi UU PKDRT. Dengan demikian, relasi suami-istri benar-benar disamaratakan. Disinilah letak pintu masuk bagi kehancuran institusi keluarga.
Amandemen UUP Menghancurkan Pernikahan dan Masa depan Umat
Draft amandemen UU Perkawinan versi Feminis yang nota bene derivat dari ideologi sekular-kapitalisme, jelas sangat berbahaya. Pertama, Draft UU Perkawinan yang dibangun atas landasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) itu berupaya mereduksi ajaran Islam tentang pernikahan. Seperti penentangan atas poligami, perombakan hukum tentang massa iddah dalam kasus perceraian dan relasi yang mengatur hubungan suami dan istri.
Kedua, menggiring masyarakat menuju liberalisasi. Larangan menikah di bawah usia 18 tahun, sekalipun pelaku sudah matang secara fisik, mental dan ekonomi, sama saja dengan menggiring masyarakat untuk menuju pintu seks bebas. Apalagi kehidupan sosial saat ini sudah didominasi budaya sekuler liberal, dimana pergaulan bebas dan rangsangan-rangsangan seksual melalui pornografi dan pornoaksi, sudah demikian merebak tak terkecuali di kalangan ABG dan remaja di bawah usia 18 tahun.
Ketiga, menghancurkan institusi pernikahan dan keluarga. Penyamarataan peran antara suami dan istri, berpeluang besar menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perceraian. Juga, melemahkan peran pendidikan anak dan kelahiran generasi-generasi berkualitas dari sebuah keluarga.
Motif Ideologis Di Balik Amandemen UUP
Amandemen UUP adalah salah satu upaya sistematis untuk meliberalkan hukum Islam khususnya terkait keluarga dan perkawinan. Ini merupakan upaya terselubung liberalisasi keluarga yang berujung pada liberalisasi bangsa. Tatanan keluarga terus digoyang yang merupakan bagian dari penjajahan global oleh musuh-musuh Islam (AS) yang menginginkan hancurnya tatanan kehidupan keluarga muslim. Skenario global ini secara sistematis dan struktural masuk melalui lembaga internasional (PBB) yang menekan negeri-negeri muslim jajahan untuk meratifikasi konvensi-konvensi yang sarat agenda liberal seperti CEDAW dll.
Merunut perjalanan panjang proses liberalisasi keluarga-keluarga Muslim di dunia, termasuk di Indonesia, kita akan menemukan suatu strategi politik yang sangat terencana. Amerika dan sekutunya sesama negara Barat berperan sebagai dalang di balik strategi ini. PBB dan lembaga-lembaga dunia menjadi semacam ‘event organizer’ perpanjangan tangan untuk mengglobalkannya, agar segera diratifikasi (untuk dilaksanakan) oleh negara-negara di dunia. Sementara itu, LSM-LSM menjadi agen pelaksana di tingkat negara (sampai tataran akar rumputnya).
Selanjutnya negara menekan masyarakat dengan UU liberal yang dibuat dan diimplementasikan dalam bentuk program melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) hingga level masyarakat bawah yaitu posyandu. Liberalisasi keluarga pun dilakukan secara kultural melalui program aksi LSM gender yang menggiring masyarakat seolah mereka menginginkan perubahan-perubahan hukum. Kalangan LSM pun saat ini gencar melakukan liberalisasi kepada para para ulama, mengingat posisi strategis ulama di tengah masyarakat. Klop! Semua sisi, disetting seolah menginginkan perubahan hukum. Dan liberalisasi keluargapun dilegalisasi atasnama hukum.
Bahwa liberalisasi keluarga merupakan proyek global kaum liberal nampak dari penyelenggaraan “MUSAWAH” yang merupakan pertemuan internasional kalangan gender beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 13-17 Februari 2009 di Malaysia. Agenda utama Musawah adalah menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga muslim. Kaum gender yang hadir adalah perwakilan dari 48 negara, termasuk Indonesia yang diwakili Musdah Mulia, Husein Muhammad, dan Nur Rofiah. Mereka menggugat hukum-hukum Allah, terutama hukum tentang keluarga diantaranya waris, poligami, izin perkawinan.
Belum lagi adanya agen pro liberal. Merekalah yang memantapkan langkah siapapun yang menginginkan berprilaku bebas. Mulai dari kebebasan beragama hingga bebas bertingkah laku. ”Semua agama sama, semua menuju pada jalan kebenaran. Jadi Islam bukan agama yang paling benar.” tegas Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL .
”Seorang muslim ”berhak” menjadi pencuri, bahkan seorang muslimah berhak menjadi pelacur,”tulis Muhidin M. Dahlan dari IAIN Yogyakarta, lewat bukunya Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pencuri dan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Bahkan dalam kumpulan Artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25 tahun 2004, ia menghina institusi perkawinan, dengan mengatakan bahwa perkawinan hanyalah sebagai lembaga pembirokrasian seks, lembaga tong sampah penampung sperma, yang akhirnya karena adanya perkawinan ditetapkanlah klaim bahwa pelacuran itu salah.
Bahkan ia tega manyamakan status istri dengan pelacur, karena sama-sama penikmat dan pelayan seks bagi laki-laki. Zainun Kamal, seorang dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyatakan bahwa pindah-pindah agama tidak masalah. Mereka para ”cendikiawan” kebablasan inilah yang mempunyai kontribusi besar terhadap kebebasan berprilaku yang diusung generasi muda sekarang, karena mereka sudah berhasil melemahkan aqidah dan keimanan yang merupakan pondasi seorang Muslim.
Bagaimanapun musuh-musuh Islam telah menyadari bahwa jika mereka ingin menyempurnakan penghancuran umat Islam, maka dua hal yang mereka lakukan: Pertama, dengan membatasi jumlah penduduk muslim dengan program ICPD nya yaitu terkait dengan upaya menghentikan proses regenerasi. Alasannya adalah jumlah kaum muslimin yang banyak, yang bisa menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi sekular-kapitalis. Untuk itu, di negeri-negeri muslim perlu direkayasa upaya menekan proses regenerasi ini. Padahal di negeri-negeri Barat sendiri, penduduknya justru didorong untuk memiliki anak banyak karena saat ini di sana dilanda penuaan penduduk dan terancam loss generation. Kedua, mereka juga akan menghancurkan model "Keluarga Muslim" dan menggantinya dengan model "Keluarga Barat".
Semua itu tidak akan sempurna kecuali disertai dengan upaya mempromosikan—bahkan memaksakan—ideologi kebebasan dan sikap hidup hedonis kepada masyarakat Dunia Ketiga yang mayoritas Muslim. Karena erat kaitannya dengan aspek reproduktif, maka jelas kaum perempuanlah yang menjadi sasaran tembaknya, di samping institusi keluarga dan perkawinan.
Jika demikian kenyataannya, memaksakan konsep ‘Keluarga Barat’ dalam rencana aksi yang diistilahkan sebagai "Gender And Development (GAD)" ini bagi negara-negara berpenduduk Muslim hanya akan mengubah para Muslimah mereka menjadi individualistis, liberalis, dan materialis; tak ubahnya langkah untuk menggerogoti bahkan menghancurkan bangunan keluarga.
Di negeri-negeri Barat, dimana perempuannya mandiri secara ekonomi, justru meluas perceraian. Institusi keluarga tak lagi dihormati sebagai wadah terkecil tempat para stkaholders di dalamnya harus berbagi peran. Keluarga tercerai-berai dan anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi bermasalah. Fakta seperti inilah yang dikehendaki oleh para penyokong aktivis perempuan, yakni para pengusung ideologi sekular Barat.
Dengan demikian, liberalisasi adalah bagian dari upaya musuh-musuh Islam yang bergerak secara internasional untuk merusak identitas keislaman kaum muslimin, menghapus militansi ideologis mereka dan melemahkan daya juang umat Islam. Dengan cara ini, target besar mereka akan terwujud, yakni menghambat gerakan mengembalikan Khilafah Islamiyah yang memang sudah menggejala di seluruh dunia.
Arus liberalisasi masuk secara struktural dan kultural maka upaya membendungnya pun harus dilakukan secara struktural dan kultural tentunya hanya mampu dilakukan oleh negara adidaya kaum muslimin yaitu Khilafah Islamiyah.
Khatimah
UU Perkawinan merupakan target paling strategis dalam upaya penghancuran keluarga-keluarga muslim. Inilah konspirasi keji yang direncanakan Barat yang tak ingin umat Islam di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Poligami, hanyalah salah satu senjata untuk menstigmatisasi ajaran Islam demi mulusnya rencana jahat mereka. Maka, yang harus dilakukan adalah menangkal amandemen UU Perkawinan ini dengan mengeksiskan syariat Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dengan mengokohkan institusi pernikahan.