Terlalu berlebihan menyikapi semakin tingginya gelombang globalisasi juga tidak baik. Sekiranya benarlah seperti apa yang dikatakan; "perbaruilah kapalmu sesungguhnya lautan itu sangat dalam." Inilah arus zaman yang dimaksud. Ia mengalir begitu deras. Kapal kehidupan akan tenggelam jika tidak diperhatikan dengan seksama. Sehingga Rasulullah Saw. dalam sabda beliau mengingatkan kepada Abdullah bin Umar yang juga pesan buat kita semua dengan menepuk kedua bahunya lalu berkata:"jadilah engkau didunia ini seakan-akan engkau anak dagang atau penyebrang jalan" (HR.Bukhari)
Gema kemajuan sepatutnyalah menjadi celah untuk suatu perbaikan. Meski ditengah-tengah kemajemukan, Islam harus tetap eksis dan mampu memegang komitmennya. Islam tak apa bergandeng dengan semua rupa, warna dan corak-ragam yang serba baru (selain akidah) selama pengaruh positifnya untuk Islam itu ada..
Tentu saja ada produk-produk mereka yang bisa kita ambil dan disinergikan dilaman Islam, tapi tidaklah semuanya untuk ditelan. Selama itu tidak bertolak-belakang dengan konsep yang telah kita miliki. Seperti hari-hari ini. Apa yang kita lihat selayaknya tidak perlu terjadi. Apalagi sebagai pelakunya adalah seorang pelajar yang notabene pendidikannya adalah Islam. Seperti aksi kekerasan berbentuk tawuran yang acap kali mewarnai layar TV. Itu bukan produk Islam. Selain mengesankan corak Islam yang tak beradab juga mendatangkan mudharat yang banyak, karena Islam cinta kedamaian dan musyawarah. Seperti yang telah diajarkan Rasulullah Saw.
Kalau dulu kita masih mendengar dan melihat TV yang isinya hanya satu atau dua canel, itupun sebatas dalam negeri, nah, sekarang kita dapat melihat berkali-kali lipat dari itu, bahkan, kita bisa melihat apa yang terjadi dibelahan dunia nun jauh disana ditambah lagi dengan keberadaan dunia maya, internet.
Suatu yang sangat spektakuler. Melalui tangan-tangan manusia yang telah gemilang menembus keterpurukan Allah Swt. tunjukkan kekuasaanNya. Tapi, sangat disayangkan hal ini disambut keliru oleh sebagian kalangan Muslim. Terkesan tidak bisa memfilterisasikan dan melahap apa yang ada, sehingga kecintaannya dengan ‘produk dalam negerinya’ berkurang dan beransur-ansur punah.
Diantara seabreg produk Barat yang sangat mendapat tempat di hati sebagian umat ini, terutama syababul ummah selain keberhasilan mereka me-mecahbelahkan persatuan umat dan mengoyak-moyakkan moralitas mereka adalah melenakan mereka melalui tayangan perfilman dan musik. Tentu saja yang saya maksud adalah tayangan dan nuansa-nuansa yang sudah jelas ke-Baratannya. Terlepas dari memperlebarkan kalam tentang silat lidah para ulama mengenai hukum mengenai musik dsb. Terlepas dari itu, ada yang perlu kita ingat yaitu budaya. Nuangsa. Kita punya syiar. Sebagaimana mereka juga punya.
Dari berabad-abad yang lampau Rasulullah Saw. telah mengingatkan. Agar umatnya tampil beda dari umat lainnya (bukan berarti nyeleneh). Seperti sabda beliau dalam hadis sahih:"Rapikan kumis kalian, tinggalkan(jangan dipotong)Jenggot kalian, tampillah beda dengan orang-orang Majusi." (HR: Muslim). Rasulullah Saw. menyeru umat ini menampilkan sosok-jati diri Islam. Syiar yang kita miliki. Demikian juga ketika beliau diajak bersepakat oleh kuffar Quraisy untuk bergantian menyembah Tuhan. Rasulullah Saw. ketika itu langsung dibimbing oleh Allah Swt. agar tidak menggubris ajakan mereka. Sebagaimana terrekam dalam Surah Al-Kaafirun. Jika kita telusuri makna surah tersebut, kita akan menemukan pada ayat;"…la a’budu ma ta’budun. Wala antum ‘aabidunama a’bud…" betapa tegas dan bijaknya agama ini.
Serta betapa santunnya. Disamping Allah Swt. menyeru hambanya untuk memeluk agama yang lurus ini Ia juga tidak menyuruhak memproklamerkana yang lurus ini Ia juga tidak memproklamerkan rasulNya agar menggunakan segala cara demi tujuan rasulNya agar menggunakan segala cara demi tujuan yang mulia itu.
Kembali ke produk Barat. Tidak sedikit diantara kita yang kegemarannya terhadap produk-produk Barat melebihi kecintaannya terhadap produk-produk yang islami (bisa juga berarti budaya). Yang lebih disayangkan lagi ketika keberadaan produk-produk itu mampu secuil-demi secuil menggeserkan sendi-sendi keislamannya, meskipun tampak kecil dan remeh. Seperti selalu mengakhirkan waktu shalat yang sudah jelas-jelasnya telah ditentukan waktunya, meskipun ada perluasan waktu, tapi tidakkah Islam telah mengajarkan untuk shalat tepat pada waktunya? Terus, apa layak sebagai gantian dari itu kita lebih memilih berjam-jam didepan monitor/TV dengan alasan yang terkadang tidak tepat?
Sebagian kita mungkin beralasan; kitakan hanya mengambil pelajaran dan nuangsa seni dari semua itu. Dari suatu segi kita benarkan, tapi disegi yang lain tidak. Karena seakan kita telah mengambil sesuatu yang kurang penting dan meninggalkan yang sangat penting. Itu sudah jelas menyalahi fiqh prioritas yang kita pahami. Itulah sekelumit diantara penomena yang berkembang ditengah-tengah alam globalisasi hari ini. Tanpa kita sadari itu semua terus subur. Atau mungkin kesadaran itu ada, tapi enggan itu berbenah.
kita punya ‘produk dalam negeri’ yang sepatutnya kita bangga dan merasa tren dengan keberadaannya; seperti film-film islami (termasuk akting aktor didalamnya), nasyid, teater islami dsb. Setidaknya karya-karya seperti ini mampu menandingi karya-karya seni seperti ini yang pantas kita nomersatukan, ketimbang ala Barat. Kalau tidak, percuma kita setengah mati membenci Amerika, membenci Israel dan sekutu mereka ‘alaihim la’natullah karena invasinya ke Palestina dan laman Islam lainnya, sementara kita tidak atau kurang mau berupaya melawan dengan sikap dan komitmen.
Diranah politik pun demikian. Kita punya siasah syar’iah. Ada aturan-aturan yang mengatur dilini ini. Untuk menjadi seorang pemimpin –pemimpin umat- pun tidak sembarang orang. Ada kriteria-kriteria yang harus dimiliki.. Seperti bersipat adil (silahkan merujuk ke kitab ahkam sulthaniyah punya Imam Al-Mawardi). Dan yang terpenting adalah mampu mengemban amanah. Kita masih ingatkan dengan kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Beliau meneteskan air mata setelah terpilih menjadi khalifah. Bukan tangis haru atau bahagia. Dengan berpesta dsb. Kezuhudan beliau juga terlihat ketika beliau minta dinasehati oleh Hasan al-Bashri sebagai seorang ulama terkemuka ketika itu. Itu mengindikasikan betapa besar tanggungjawab menjadi seorang pemimpin umat. Sesuai dengan ganjaran yang akan didapat juga besar.
Begitulah gambaran kepemimpinan dalam Islam. Kalaupun kita belum bisa membentuk sebuah negara Islam, setidaknya makanisme kepemerintahannya harus islami. Karena kita negara dominan Islam. Sehingga tidak lagi terdengar bahkan sangat memilukan; Indonesia tergolong negara terkorup. Padahal kita juga dikenal dunia sebagai negara Islam mayoritas. Karenanya, standarnya adalah Islam. Bukan Barat.
Ditambah lagi konsep JIL-Sekularisme. Yang mengusung Islam gaya baru. Hingga akhirnya
menyingkirkan Islam dari dunia politik. Lagi-lagi karena salah ‘kiblat’. Kalau ‘kiblat’ saja sudah tidak sama, bagaimana mengaku sebagai seorang Muslim. Mendingan jangan mengaku Islam deh daripada cuma mencoreng nama Islam. dalam politik juga lainnya.
Jadi, tak ada yang aib dilini ini. Politik adalah siasat atau cara. Tentunya yang positif, untuk suatu perubahan kearah tatanan masyarakat yang lebih baik dari segala aspek kehidupan yang didasarkan oleh maqoshidussayari’yyah.. Karenanya, selama pelakunya benar-benar menjalankannya sesuai dengan tuntunan Islam, bukan semata untuk kepentingan perut sendiri dan embel-embel lainnya, why not? Terutama menyangkut amanah dan janji. Sebagai seorang Muslim harus mampu memegangnya. Tidak hanya bermanis-manis ketika kampanye.
Terkadang kita salah menganggap bahwa attawalli kepada Barat itu hanya dengan mengikuti secara fisik budaya mereka, yang pada akhirnya juga mengarah kepada kehidupan pragmatisme, hedonisme hingga ke-materialistis. Namun, sebenarnya tidak sesempit itu, karena secara objektif kita dapat melihat bahwa ketika kita tenggelam dalam mengkonsumsi produk-produk mereka -dengan segala ragamnya- juga berakhir pada ending yang sama. Karena secara tidak langsung kita mendukung mereka, melariskan produk mereka. Bukankah sebaiknya kita mempromosikan produk kita?
Kenapa harus Barat? Ketika ulama diposisikan sebagai pewaris para nabi. Yang berfungsi sebagai suluh penerang. Kecendikiawan dan kepiawayannya terrekam dimata umat. Yang berarti juga segala sesuatu yang meluncur dari mulutnya, termanifestasi dalam gerak-langkahnya akan sangat diperhitungkan. Lalu, layakkah bagi mereka dengan sengaja menyalahgunakan amanah dan martabat ini? Sehingga ia sekehendak perutnya berfatwa terhadap suatu permasalahannapa harus Barat? ya)engkonsumsi produk-produk mereka makin menyalakan apinya, sudahkah kita cinta dengan budaya-budaya Islam umat yang sudah terang dan jelas keabsahan/kebatilannya? Terlebih lagi ketika ia menjadikan Barat sebagai pola pandang dan acuan. Sehingga lahirlah ulama-ulama yang mengkotak-kotakkan ajaran Islam. Seakan Islam beserta syariatnya hanya berlaku pada ruang dan waktu tertentu saja. Bukankah ajaran Islam telah mengatur semua sendi kehidupan manusia?
Jadi kenapa harus Barat? Tidakkah semuanya itu sudah ada didalam tubuh Islam?
Semoga tidak akan tumbuh lagi tipe-tipe ulama suu’ yang hanya berpotensi mencoreng hitam wajah Islam. Selevel cendikiawan yang mengaku muslim, tapi malah menjadi musuh Islam.
Sebagai pemuda Islam. Mari kita kembali introspeksi diri-diri kita. Sampai dimana kita telah memperjuangkan agama Allah? Sudahkah kita berusaha menjalankan apa yang sebenarnya patut dijalankan sebagai seorang muslim, atau kita masih belum mengenal dekat Islam itu sendiri, sehingga tindak-tanduk kita dalam keseharian masih banyak yang berada diluar garis-garis Islam berusaha menjalankan apa yang sebenarnya patut dijalankan sebagai seorang muslim?? Dan yang terpenting, ditengah samudra globalsasi yang gelombangnya semakin mengganas, sudahkah kita menempatkan tren teratas kita pada budaya-budaya Islam, atau malah ngetren dengan budaya-budaya Barat?
Ekhwati fillah. Tulisan ini tidak lebih dari sebuah kewajiban sesama Muslim..
Kewajiban saling tegur-sapa disaat kesalahan-kekhilapan itu terlihat jelas. Sebagai wujud dari konsep atta’aawun dan attawaashaw yang telah digariskan. Semoga..
KMJ, 28 Desember 2008
Tentang penulis;
Harmin; Alumni Ponpes As’ad Jambi. Sekarang, selain mahasiswa Al-Azhar
JugaMahasiswa S1 Universitas Al-Azhar-Kairo Fakultas Syariah Islamiyah, tahun akhir.
Peminat kajian Fiqh dan Ushulul fiqh