Sejak perang Salib jilid baru dimulai, dengan dikumandangkannya “War on Terrorism” oleh George Wlaker Bush satu dasawarsa silam. Islam menjadi komoditas paling eksotik untuk diperjualbelikan dalam perdangan “politik” internasional, antara para pemimpin boneka di negeri-negeri Islam maupun kafir kepada para Tuan majikan, AS dan sekutunya.
Kini, tak ada lagi negara netral, yang ada hanya negara satelit pengikut AS dan sekutunya atau negara kuat berideologi selainnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pertentangan ideologi. Tak akan ada ideologi yang mau bertekuk lutut di bawah ideologi selainnya. Jelas, “War or Terorrism” adalah makar dari musuh Islam (baca: AS dan sekutunya) untuk menghancurkan Islam dari seluruh lini elemen masyarakat.
Maka makar demi makar pun berlalu, termasuk di negeri ini. Di mulai dari tragedi bom bali hingga bom buku, kemudian melabelkan para pejuang penegak syariah adalah musuh NKRI, karena berusaha memecah belah bangsa, bahkan terakhir pembesar-besaran kasus penculikan seorang muslimah oleh wanita bercadar yang tak jelas motif dan tujuannya, kecuali untuk semakin mendeskridetkan Islam dan kaum muslimin serta menjadikan aneka simbolnya (sorban, cadar, jenggot, dll) menjadi “simbol-simbol” ciri seorang “teroris”.
Kasus peledakan bom di Masjid Mapolres Cirebon kemarin, dengan korban satu orang tewas yang diidentifikasi sebagai pelaku serta mengakibatkan 25 anggota kepolisian lainnya luka-luka termasuk Kapolres Cirebon, menyisakan kembali berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Seperti halnya pertanyaan-pertanyaan yang sempat terhinggap pada kasus bom buku yang meledak di kantor JIL, utan kayu, dan serangkaian aksi bom berikutnya. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak kaum muslimin dan publik Indonesia mengenai apa, siapa dan bagaimana aksi-aksi bom ini terjadi sedemikian rupa, seolah hanya menjadi pertanyaan retoris, atau pertanyaan teka-teki, yang tak pernah terjawab.
Seharusnya aparat, pemerintah dan media tidak terburu-buru untuk mengeluarkan analisa atau wacana bahwa pelakunya dari kalangan Islam. Karena hal ini hanya akan menyebabkan kesesatkan berfikir masyarakat Indonesia serta menciptakan rasa curiga dan ketidak percayaan antar masyarakat yang memicu konflik horizontal. Stigma buruk dan pelabelan Islam sebagai dalang teroris sebenarnya sudah tidak layak untuk dijual dan dijadikan dagangan untuk proyek yang lebih besar yaitu mengebiri sikap kritis anak bangsa yang menginginkan perbaikan.
Tangkap dulu, mintai keterangannya agar jelas duduk permasalahannya, apa maunya dan kenapa melakukan hal tersebut. Ini pelaku bom belum ditangkap, namun semua elemen kuat sudah bersuara seperti paduan suara, kemudian di “soundingkan” oleh aneka media bahwa para pelaku teroris adalah dari kalangan umat Islam. Padahal terorisme bukan hanya milik satu ideologi atau suatu agama namun semua orang mempunyai bibit untuk melakukan tindakan teror. Hanya faktor kebetulan saja, bila ternyata pelakunya adalah seorang yang mengaku muslim.
Tak dapat kita pungkiri, bahwa memang sounding dari media inilah, yang berperan besar bagi lancarnya proses pelabelan tersebut. Sangat tidak fair, ketika pelaku terror adalah non-Islam, seperti tindakan terorisme beberapa waktu belakangan ini yang dilakukan oleh warga kristiani terhadap muslim Medan dengan membakar lima masjid. Namun karena pelakunya bukan umat Islam maka tidak ada yang menuduh aksi teror ini sebagai tindakan teroris dan ironisnya tak satupun orang ataupun media yang menjunjung hak asasi manusia, kebebasan dan persamaan untuk mengutuknya secara lantang seperti yang biasa terjadi, atau bahkan hanya sekedar memberi kecaman dan perhatian atas tindakan yang menyakiti hati umat Islam tersebut.
Inikah yang disebut dengan keadilan? Ya, mungkin, ini adalah keadilan. Keadilan yang berstandar ganda. Keadilan yang telah dirancang sedemikian rupa, untuk selalu memojokkan kaum muslimin. Bila umat Islam yang melakukan tindakan anarkis maka serentak seluruh suara-suara pengasong liberalisme menuduh Islam sebagai teroris. Namun bila orang-orang non-muslim yang melakukan tindakan teror dan aksi-aksi keji, mereka diam seribu bahasa dan tak bergeming. Alangkah lucunya negeri ini!!
Negara Harus Bertanggung Jawab
Seharusnya bila Indonesia memang sebuah negara yang mempunyai perangkat-perangkat dan pelaksana roda pemerintahan yang menjamin keberlangsungan hidup rakyatnya tidak menjadikan elemen bangsa sebagai musuh atau obyek untuk pengalihan isu. Ini tidak akan mendidik anak-anak bangsa untuk menjadi dewasa dalam mengatasi setiap permasalahan dan persoalan yang menimpanya. Malah cenderung menambah masalah baru yang tidak akan ada habisnya.Lambat-laun negara ini akan karam dan musnah bila hanya mengadu domba rakyat versus rakyat dengan menghadirkan hantu yang bernama terorisme. Tidak akan pernah selesai dan hanya menjadi lingkaran setan yang tak ada habisnya.
Kita seharusnya jujur bahwa sistem sekarang tidak pernah sekalipun mampu untuk menyelesaikan aneka permasalahan yang menimpa negeri ini. Dari era demokrasi terpimpin ala Sukarno, demokrasi pancasila ala Suharto dan hari ini demokrasi liberal ala koboy Amerika semuanya telah gagal untuk menjadikan negeri ini menuju seperti apa yang dicita-citakanya. Yang terjadi justru sebaliknya, negara ini terjun bebas ke dalam jurang kehancuran.
Sungguh, Kami nyatakan hanya Islam yang akan mampu menjawab semua permasalahan negeri ini dengan tuntas. Disana ada perangkat-perangkat untuk melaksanakan roda pemerintahan diatas sebuah wahyu Illahiyah. Hal yang sudah dibuktikan selama beberapa abad silam. Dimana hampir separuh bumi menikmati kesejahteraan dan ketenteraman di bawah naungannya. Sebuah sistem yang bebas dari campur tangan manusia yang serba lemah akalnya serta penuhdengan hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan pribadi.
Ironisnya hari-hari ini, Islam tidak pernah dilirik atau minimal diuji cobakan dalam penyelengaraan negara bahkan aspirasi umat Islam sering diabaikan dan justru dikambing hitamkan sebagai penyebab terjadinya terorisme yang sampai sekarang pelakunya tidak jelas. Bahkan Ustadz Abu Bakar Baasyir yang lantang menyuarakan penerapan Syariat Islam dituduh juga sebagai teroris. padahal tidak ada bukti yang mengindikasikan beliau sebagai pelaku teroris.
Semoga kedepannya masyarakat lebih cerdas dan negara lebih bijaksana dalam mengurus rakyatnya. Daripada bingung hendak memata-matai rakyat dan membungkam aspirasi mereka dengan penerapan UU Intelejen yang baru. Lebih baik negara mengoreksi kebijakan-kebijakan mereka yang tidak pernah pro rakyat, seperti pembangunan gedung DPR, kasus Bank Century, dan korupsi akut yang menjangkiti seluruh lini pemerintah dan mau legowo untuk menerima Islam dan kebenarnnya!
Dan percayalah tidak akan pernah ada sistem yang akan membawa sebuah negeri menjadi adil, makmur dan sejahtera kecuali sistem Islam.
Wallahu A’lam
profile penulis:
Hanif Abdullah;Redaktur Majalah Online http://ansharullah.com