Pesta demokrasi hanya menunggu hari. Tanggal 9 April mendatang semua rakyat Indonesia menggunakan hak pilih untuk memilih wakilnya yang akan menjadi representatif mereka di parlemen.
Bagaimanapun, pemilu merupakan ajang penentuan nasib bangsa untuk lima tahun ke depan. Barangkali sebagaian masyarakat sudah tidak memperdulikan akan pesta rakyat ini. Toh, nyoblos atau tidak tetap tidak merubah hidupnya. Anggapan klasik masih saja tetap mendominasi pemikiran masyarakat. Para anggota dewan hanya pandai bermanis ketika hendak pemilu, setelah terpilih mereka pada umumnya lupa daratan, mungkin seperti itu apologis yang dilontarkan masyarakat. logika seperti ini sebenarnya tidak salah.
Karena logika tersebut dibangun atas dasar kenyataan dan realita di lapangan. Masyarakat sudah muak dengan para hipokrit yang bersembunyi dibalik janji-janji manis. Namun, apakah kita boleh mengeneralisir dan memvonis semua partai maupun wakil rakyat dengan logika tadi? Diantara sekian puluh partai dan ratusan wakil rakyat yang ada di parlemen, apakah tidak ada lagi yang bisa dipercaya dan diharapkan? Begitu parahkah kerusakan moral dan akhlak melanda anak bangsa, sehingga tidak ada lagi suara yang berani melantangkan kebenaran dan keadilan? apakah krisis kepercayaan sedang terjadi di negeri kita?
Memilih; Antara Suara Hati Dan Nafsu
Politik uang dan iming-iming materi merupakan cara klasik yang dianggap mampu memobilisasi dan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dari para pemilih. Tidak penting berapa ratus juta yang dikeluarkan dari kantong pribadi untuk meyakinkan para calon pemilih. Karena tampuk jabatan dan kursi ‘panas’ akan menggantikan segalanya, kelak ketika dia terpilih. Cara seperti ini mungkin masih ampuh digunakan terhadap sebagian masyarakat awam yang melihat pemilu hanya sebatas uang maupun materi. Di sinilah peran aktif kita untuk memberi pemahaman dan pembelajaran politik kepada mereka, agar janji para perampok negara yang bersembunyi dibalik topeng kedermawaan tidak terulang sekian kalinya.
Menjadi pemilih cerdas, inilah yang kita harapkan. Karena suara pemilih dalam pemilu tidak cukup dihargai dan dibeli dengan seratus ribu rupiah atau dengan satu sak semen. Pun lebih dari itu, dia akan menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan, yang tidak senilai dengan uang ratusan ribu. Mari kita memilih dengan nurani. Yakin, bahwa hati nurani senantiasa berbicara pada kebenaran.
Golput; Sebuah Solusi?
Diantara keputus-asaan dan sikap pesimis yang dilakoni sebagian masyarakat adalah dengan melakukan absent di hari pemungutan suara atau dikenal dengan golput. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi orang memilih sikap golput. Diantaranya, informasi yang kurang, Sehingga banyak masyarakat yang tidak memilih karena tidak tahu dan tidak mendapatkan informasi tentang pemilu. Hal ini bisa terjadi karena letak daerah yang mungkin sangat jauh dan tidak terjamah dengan arus informasi.
Kedua; pesimisme terhadap hasil pemilu. Wacana dan opini yang beredar bahwa ikut dan tidak ikut pemilu sama saja dan tidak akan membawa perubahan apa-apa di masyarakat. Yang miskin masih tetap miskin dan yang kaya semakin menumpuk kekayaanya. Sikap pesimis dibangun dari pengalaman bangsa ini dalam menjalankan pesta demokrasi yang menghasilkan tikus-tikus berdasi yang tidak pernah ada endingnya.
Ketiga; sebagai manhaj dan falsafah hidup. Kelompok ini menganggap pemilu masuk dalam kalkulasi halal dan haram. Karena ikut mencoblos sama saja memilih para penjahat yang akan melakukan aksinya ketika mereka meraih kursi panas tersebut. Ibarat memilih ‘pencuri’ untuk melakukan aksi pencuriannya, maka mencoblos sama saja dengan memilih para pencuri untuk duduk di parlemen yang siap mengganyang uang negara dan rakyat.
Bagaimanapun golput bukanlah solusi akhir dari segala permasalahan yang ada. Andai saja orang sekaliber Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz, ulama besar sekaligus tokoh salafi dunia pernah menfatwakan untuk memilih, dan Dr.Yusuf Qardhawi; ketua perhimpunan ulama sedunia juga memberikan statemen yang sama, maka kenapa kita harus masih bergelut dengan paradigma lama yang senantiasa menjadikan sikap apatis dan pesimis menjadi watak yang tidak akan mampu menyelesaikan masalah tapi justru menambah masalah.
Aroma Perubahan
Dr. Muhammad Imarah; pemikir Islam dari Mesir dalam bukunya ‘Manilladzi Yughayyibu Al-Munkar Wa Kaifa,’ (siapa dan bagaimana menghapus kemungkaran), menganalogikan pemimpin dengan seorang dokter. Jika kesalahan fatal yang dilakukan dokter bisa mengakibatkan salah satu atau lebih dari pasiennya meninggal, maka kesalahan yang dilakukan pemimpin bukan hanya satu atau dua, tapi seluruh bangsa dan masyarakat menjadi korban.
Kebijakan yang dikeluarkan pemimpin maupun wakil rakyat menjadi harga mahal bagi masyarakat. Fakta membuktikan, pembalakan hutan secara ilegal tanpa ada tindak hukum yang tegas menjadi tragedi yang suatu saat bisa mengancam kelangsungan hidup manusia. Penjualan aset dan kekayaan negara yang dilakukan para pejabat dan birokrat berjiwa korporat menyisakan nestapa bagi bangsa. Pencurian uang rakyat milyaran rupiah meninggalkan benih dendam di hati masyarakat. Dan ratusan kasus lainnya yang tidak mungkin dihentikan dengan kutukan atau kecaman belaka.
Jangan pernah menyerah dengan realita. Karena arus perubahan senantiasa dikobarkan walau dengan tertatih-tatih. Jika Turki yang telah berubah menjadi negara paling sekuler sekalipun mampu membawa angin perubahan, kenapa kita tidak. Jika turki mampu menjadi negara yang bersih di Eropa dan mampu mengikis korupsi ketika partai Islam berkuasa di sana, kenapa kita tidak mencoba dan menirunya. Saya yakin masih ada orang yang mau berusaha untuk memperbaiki bangsa ini.
Realita telah berbicara, berapa banyak uang negara yang telah diselamatkan oleh mereka. Betapa banyak usaha dan kebijakan yang dilakukan selama ini menyangkut moralitas bangsa. Karena perubahan bukanlah suatu yang utopis, Allah SWT., Telah memberi sinyal kepada kita dalam firman-Nya surat Ar-Ra’du ayat 11 ”sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib sebuah bangsa sehingga mereka merubah nasibnya sendiri”. wallahu ‘alam.
Profil Penulis :
Husamuddin MZ; Mahasiswa Syariah dan Qanun tingkat IV, Al-Azhar University, cairo-Mesir.
Aktivis SINAI (Studi Informasi Alam Islami), berdomisili di Bld. 17/D/4 Islamic Mission City-El Abbasea Cairo-Egypt.