Sejarah emas Indonesia pada hakikatnya adalah sejarah umat Islam. Bukan bermaksud menafikan kiprah umat lainnya, tetapi realitas sejarahnya memang demikian. Lebih spesifik lagi, sejarah umat Islam Indonesia lebih didominasi oleh perjuangan pesantren dengan para kiyai dan kaum santri sebagai aktor utama di dalamnya.
Pada masa pra kemerdekaan, oleh para kiyai, kaum santri dididik menjadi pejuang melawan segala bentuk kolonialisme. Di dalam dada mereka ditanamkan kecintaan membela tanah air dan mempertahankannya. Jangan harap menemukan kata kompromi dan kooperatif dalam kamus mereka, yang ada adalah jihad dan resistensi terhadap Kolonialis.
Untuk menghindari pantauan musuh sekaligus melanggengkan kegiatan tafaqquh fiddin (menuntut ilmu agama), banyak pesantren berdiri di desa-desa. Tujuannya. menjadikan desa sebagai basis kekuatan dengan pesantren sebagai sentral pergerakan.
Perjuangan kalangan pesantren yang pada awalnya berdiri sendiri-sendiri mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945. Peristiwa yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Itupun tidak lepas dari resolusi Jihad yang difatwakan oleh para ulama se-Jawa dan Madura pada tanggal 23 Oktober 1945. Resolusi yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari ini merupakan bukti komitmen dunia pesantren dalam membela negeri.
Atas dasar itulah, Bung Tomo membakar semangat warga Surabaya dan sekitarnya dengan pekikan takbir untuk mengusir tentara NICA yang dibonceng oleh Belanda.
Pasca kemerdekaan, TGKH M. Zainuddin Abdul Majid menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Kedua tempat tersebut digunakan untuk menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah. Bahkan, secara khusus beliau bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama Gerakan Al-Mujahidin.
Bersama masyarakat setempat dan wilayah NTB, Gerakan Al-Mujahidin bahu-membahu untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan bangsa Indonesia. Pada 7 Juli 1946, adik kandung Bapak Maulana, yakni TGH Muhammad Faizal Abdul Majid, memimpin penyerbuan tank militer NICA di Selong. Dalam penyerbuan ini, sang adik gugur sebagai syuhada bersama dengan dua santri NWDI.
Pesantren dengan keterbatasan dan kekurangannya telah memberikan apa yang ia miliki. Para kiyai, Tuan guru, dan kaum santri dengan sigap berada di garda terdepan dalam memperjuangkan eksistensi Negeri ini. Heroisme dan patriotisme para kiyai dan kaum santri sungguh telah menciutkan nyali kaum kolonial, walaupun hanya berbekal senjata seadanya.
Mengingat kontribusi pesantren yang amat besar, lewat tulisan ini penulis mencoba memberikan korelasi antara mengelola pesantren dan negara lalu menganalogikan keduanya secara sederhana. Nantinya akan lahir pertanyaan, apakah kita bisa mengelola negara ala pesantren? Diharapkan setidaknya kita bisa mengadopsi beberapa hal positif yang terdapat di dunia pesantren untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bernegara.
Pertama, pesantren yang tujuan asasi pendiriannya adalah tarbiyah (pendidikan), menurut DR. Hamid Fahmi Zarkasi, hakikat pendidikan pesantren tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia.
lasannya sangat sederhana, Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia telah berlangsung sejak ratusan tahun melalui dunia pesantren.
Pendidikan yang diajarkan pesantren adalah pendidikan universal, tidak dibatasi belajar secara periodik saja tetapi at-tarbiyah mada al-hayat (pendidikan seumur hidup). Juga belajar dari alam, peristiwa, dan pengalaman. Dari sana para santri dituntut melakukan perbaikan terus-menerus. Motivasi utamanya “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”
Pendidikan dengan konsep inilah yang amat perlu diadopsi oleh negara. Para pemimpin harus memberi sugesti kepada rakyat untuk terus belajar. Tidak ada kata “tamat” dalam belajar. Toh, bila terpaksa putus sekolah, tidak boleh menjadi alasan berhenti menuntut ilmu. Alam yang luas adalah sekolah yang sesungguhnya. Yang terpenting bagaimana segenap warga negara selalu melakukan hal yang terbaik hari demi hari.
Kedua, kiyai atau tuan guru adalah tokoh sentral dalam pesantren. Kiyai/tuan guru bukan saja pemimpin pesantren, tetapi qudwah (teladan) bagi jamaah dan masyarakatnya.
Dalam mengurus pesantren, ia mengedepankan keteladanan berupa amal nyata sebelum memerintahkan sesuatu. “Izh an-naas bi fi’lika wala ta’izhhum bi qaulika!” (nasihati manusia dengan amalmu bukan dengan perkataanmu), kata Imam Al-Hasan Al-Basri.
Pantang bagi tokoh agama meengatakan apa yang tidak dikerjakannya karena mendatangkan kemurkaan dari Allah. (Qs As-Shaff 3)
Seharusnya para pemimpin dan pemegang kekuasaan menjadikan diri mereka layaknya kiyai. Artinya sebelum mengintruksikan sesuatu, mereka terlebih dahulu menjalankannya. Mereka adalah teladan bagi rakyatnya layaknya kiyai bagi santri dan jamaahnya.
Takutnya mereka kepada murka Allah seperti takutnya kiyai, bahkan lebih. Sebab, otoritas mereka lebih besar. Tentu tanggung jawab mereka di akhirat lebih berat.
Ketiga, kiyai, tuan guru atau ulama adalah ulul amri fi at-tabligh wa al-bayan
(bertanggungjawab dalam penyampaian dan penjelasan) sebagaimana pemimpin atau umara adalah ulul amri fi at-tanfizh wa as-sulthan (pelaksana dan penguasa). Demikian penuturan syaikh Utsaimin dalam Sarh Riyadh As-Shalihin. Masing-masing memiki tugas dan peran yang signifikan bagi rakyat. Sehingga antara kiyai dan pemimpin harus bersinergi dalam visi dan misi.
Tidak boleh ada garis demarkasi antara keduanya. Kiyai bertugas mengayomi rakyat dengan tausiyahnya. Pemimpin menjamin ketentraman rakyat dengan kekuasaannya. Sebaik-baik umara adalah yang dekat dengan ulama dan sejelek-jelek umara yang jauh dari ulama.
Keempat, kata santri berasal dari bahasa sanskerta, yaitu san artinya orang baik; tra berarti suka menolong. Lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau “pesantren”. Kaum santri dididik tidak hanya agar mereka berpendidikan saja, tetapi berbudi pekerti dan gemar menolong. Mereka dituntut harus bisa berkontribusi di mana pun mereka berada. Orientasi mereka adaah bermamfaat bagi sesama tanpa memelas upah atau pamrih.
Para penyelenggara negara wajib mengadopsi hal positif ini. Jadikanlah jiwa anda jiwa santri yang banyak memberi dan sedikit meminta. Layaknya santri yang dituntut berkontribusi, para pemimpin pun harus demikian. Mereka harus berjuang menyejahterakan rakyat bukan menyengsarakannya. Mereka bekerja keras untuk rakyat bukan mempekerjakannya. Mereka memberi rakyat makan bukan malah memerasnya.
Kelima, sebagian besar pesantren mewajibkan para santrinya tinggal di asrama. Ini dalam rangka tarbiyah full day. Para santri dikenai berbagai peraturan yang wajib ditaati. Bila mereka melanggar, akan dikenai sanksi. Pesantren ingin membentuk mereka tidak saja menjadi generasi unggul intlektual, tapi juga berakhlakul karimah. Bisa juga diistilahkan, pesantren mensinergikan antara ilmu dan amal.
Sebuah negara akan tetap tegak bila memiliki aturan yang ketat. Imam Ali pernah berkata, “Kebenaran dengan menejerial buruk akan kalah oleh kebatilan yang memiliki manajerial baik.” sebagai negara hukum, penyimpangan dalam bidang apapun terutama menyangkut agama, sosial, dan moral tidak boleh ditoleransi. Semua sama di mata hukum. Jangan sampai tidak adil alias tebang pilih. Hukum kebal bagi para elit, tapi tegas bagi yang tak berada.
Keenam, pesantren hingga kini bisa tetap eksis mengingat kiprahnya hampir ratusan tahun, jauh sebelum republik ini berdiri. Rahasianya adalah karena pesantren dibangun atas dasar keikhlasan yang berbuah keringat. Para kiyai mendidik santrinya dengan nilai-nilai tadhiah (pengorbanan) dan khidmah (pelayanan). Orientasi utamanya adalah menyelamatkan umat dari penghambaan kepada manusia dan materi menuju penghambaan yang tulus kepada Allah SWT saja (Tauhid).
Kiyai juga berhasil memobilisasi masyarakat sehingga mereka turut andil dalam memajukan pesantren.
Seandainya para pemimpin kita menganut nilai-nilai positif di atas, niscaya mereka akan tahu diri. Amanah kekuasaan itu adalah sarana untuk bertadhiah dan berkhidmah kepada rakyat, sehingga tidak pantas mereka menilep uang rakyat lalu memperkaya diri. Tidak layak mereka menyembah materi dan kursi. Tidak patut mereka menuntut gaji lebih sebelum kinerjanya terbukti.
Bila pemimpin dan jajarannya menjalankan amanah dengan baik, otomatis masyarakat akan bahu membahu membangun bangsa ini. sayang pemimpin sekarang hanya bisa menggiring rakyat ikut pemilu saja. Selepas itu mereka kembali dikhianati. Wajar saja bila rakyat sudah muak dan tak mau tahu dengan kondisi bangsanya.
Terakhir, pesantren mengajarkan kemandirian. Sampai saat ini mayoritas pesantren bisa hidup atas hasil keringat mereka sendiri. Mengingat bantuan dari pemerintah amat terbatas, hal itu bukan problem akut. Pesantren semakin giat mendirikan badan-badan usaha untuk melanjutkan eksistensi mereka. Meminta bantuan pemerintah bisa jadi dianggap opsi terakhir, itu pun harus melalui pemotongan dana di sana-sini.
Pemerintah kita seharusnya bisa belajar dari kemandirian pesantren. Sehingga bangsa kita bisa berdiri tegak dengan kaki kita sendiri tanpa perlu menengadahkan tangan mengemis hutang luar negeri. Pemerintah seharusnya malu pada pesantren yang hingga kini masih tetap eksis dan survive dalam berkiprah. Bila Pesantren pada masa lalu memilih non kooperatif terhadap kepentingan colonial, Pemerintah pun kini harus bersikap sama terhadap monopoli asing. Bila pesantren menyerukan berjihad menentang kolonialisme, kini pemerintah harus berani berjihad menentang neoliberalisme.
Tujuh poin di atas adalah potret pesantren dengan kesederhanannnya. Kesederhanaan yang melahirkan para pembesar negeri ini. Agus Salim sebagai diplomat ulung. Muhammad Natsir sebagai perdana menteri. Jendral Sudirman sebagai panglima TNI. Wahid Hasyim sebagai menteri, dan masih banyak lagi. Mereka adalah pemimpin sederhana berjiwa santri. Melalui rahimnya, pesantren tidak akan lelah melahirkan calon pemimpin yang dibutuhkan negeri ini.
Sudah berbagai macam teori dan konsep yang diikhtiarkan demi menyelamatkan negara ini, tetapi hasilnya tetap gagal. Kenapa kita tidak kembali kepada konsep kita sendiri. Konsep yang relevan dengan kultur rakyat kita. Konsep yang tidak njelimet dan terjaga orisinalitasnya. Yaitu konsep pesantren yang telah teruji keberhasilannya. Wallohu A’lam
H. Habib Ziadi, S.PdI
Pengajar Di Ponpes Darul Muhibbin NW Mispalah Praya