Kenapa Harus Jadi Pegawai Negeri, Bukan pedagang

Penerimaan CPNS (calon pegawai negeri sipil) di buka. Setidaknya beberapa pekan lalu, pengumuman ini sering dibincangkan oleh sebagian besar kalangan yang sedang mecari pekerjaan. Mereka yang nota benenya tamatan sarjana, dengan aneka titel yang disandang, mencoba mengayunkan langkah untuk mengundi nasib.

Berbagai prasyarat mereka penuhi, walau rela menunggu di bawah terik matahari, antri berjam-jam, mereka tetap semangat. Dan tiba hari penyelisihannya, mereka serius duduk membaca dan mencermati satu persatu pertanyaan yang diajukan. Dengan antusuias para CPNS itu mengisi jawaban-jawaban. Mereka terlihat serius seperti anak sekolah yang mengikuti ujian. Tekun, fokus dan tidak bergerak sedikitpun, harap semua jawaban yang diisinya benar.

Seleksi penerimaan CPNS itu pun berlangsung hangat sekaligus menegangkan. Mereka di sana bagai duduk di kursi panas. Pasalnya, dari ratusan bahkan ribuan yang mendaftar, hanya beberapa saja yang terpilih. Ada yang satu kursi diperebutkan lima orang, ada juga yang sepuluh orang bahkan lebih.

Tatkala masa seleksi selesai, dan hari pengumumam itu tiba, tak sedikit dari mereka yang kecewa bahkan sangat kecewa. Kebanyakan yang kecewa karena mereka tidak lulus. Ada yang sangat kecewa karena pada dasarnya ada sebagian orang yang dinyatakan lulus, tapi dibebankan dengan uang pelicin.

Tak jarang bagi mereka yang tidak mampu harus tergeser sama orang yang berduit. Cukup dengan seratus juta rupiah untuk di kotamadya ataupun lima puluh juta rupiah di kabupaten. Semua bakal dijamin lulus.

Siapa yang tidak mau dapat profesi seperti ini. Gaji lumayan, tunjangan cukup, dan ada pensiunan. Kalau udah jadi pegawai baru bisa tenang di hari tua. Makanya orang berbondong-bondong mau jadi PNS. Kerja bisa seadanya, kalau mangkir sedikit nggak potong gaji, malahan banyak yang makan gaji buta. Intinya, kalau sudah jadi PNS, finansial bakal aman hingga hari tua.

Jadi PNS memang nggak salah. Bahkan sangat mulia jika didedikasikan dengan sikap yang proporsional serta profesional. Dan uang yang dihasilkan dari profesi ini pun halal. Namun, tidakkah lebih baik tradisi dan semangat jadi PNS ini dirubah.

Jadi Pegawai adalah warisan Kolonial

Dalam sebuah tulisan, saya pernah membaca bahwa konon katanya dahulu ketika Belanda menjajah negara kita, menjadi pegawai di pemerintahan adalah hal yang diidamkan. Soalnya, siapa yang bisa jadi pegawai maka setatus sosialnya pun berbeda dari kalangan masyarakat biasa. Oleh karena itulah tradisi pegawai ini turun temurun terlestarikan.

Jika sejenak mau melihat kebelekang, tiga misi utama penjajahan yang kita kenal dengan gold (kekayaan) glory (kemakmuran) dan gospel (penyebaran agama) adalah tujuan mereka untuk melemahkan masyarakat kita dari sisi ekonomi dan keyakinan.

Sejak Portugal pertama kali menancapkan kuku jajahan di tanah nusantara, dan Ingris, Perancis, serta negara barat lainnya menjajah benua Afrika yang mayoritas penduduknya muslim, sejak saat itulah kekuatan umat Islam di penjuru dunia melemah. Mereka tahu bahwa penjajahan akan membuat satu bangsa menjadi terbelakang. Dengan mengeruk sumber daya alam, sendi-sendi perekonomian menjadi rapuh. Dan pada akhirnya, misi kristenisasi pun dilancarkan.

Tanpa disadari bahwa masuknya Belanda yang mengeruk kekayaan alam negara kita dan diperkuat oleh VOC sebagai organisasi niaga bentukan mereka telah melemahkan semangat dagang masyarakat Indonesia. Ini berlangsung berabad-abad lamanya. Setelah mereka berhasil melumpuhkan beberapa kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia, dari sabang sampai merauke, keutuhan masyarakat Indonesia dan tradisinya sebagai pedagang kian pupus tak sanggup melawan hegemoni penjajah.

Maka pantas di awal abad dua puluh, Sarikat Dagang Islam (SDI) hadir sebagai pembela hak-hak pribumi dalam perniagaan melawan kekuatan VOC. Disadarkan oleh jiwa dagang masyarakat inilah kemudian SDI berusaha tetap eksist. Dan menganggap perlu masuk ke dalam jajaran pemerintahan, hingga mereka bermetamorfosis menjadi Sarikat Islam (SI)

Wirausaha adalah solusi kreatif

Di tengah zaman yang penuh persaingan seperti sekarang ini, di mana ketersediaan lapangan kerja sangat terbatas dan orang di usia kerja terus bertambah, maka solusi tepat adalah menjadi pribadi-pribadi kreatif. Menggantungkan nasib pada orang lain dalam mencari sesuap nasi adalah bukan jalan yang mudah. Malah yang lebih mudah adalah bagaimana seseorang, dengan kemampuan yang dimilikinya, ia mampu tampil ke depan untuk menukar waktu yang dimilikinya dengan uang yang bisa diperoleh.

Banyak cara-cara yang bisa dilakukan untuk menghasilkan uang. Jika kita berfikir sejenak, dan merenungkan mana lebih mudah bekerja dengan orang lain, atau bekerja sendiri. Tentu ini bergantung pada setiap individu. Kalau individu tersebut memiliki bakat dagang, pasti setiap apa yang ia lihat bisa dijadikan duit. Namun sebaliknya, bagi individu kebanyakan, ia hanya bisa menggantungkan harapan pada orang lain. Baginya bekerja di sebuah perusahaan ataupun tempat kerja yang lain, apalagi bisa menjamin kelangsungan hidupnya dengan gaji yang diterima, itu lebih baik menurutnya dari pada harus mencari-cari ide apa dan bagaimana cara berjualan. Karena ia berfikir, finansial aman lebih baik dari pada finansial cerdas.

Setidaknya, kebanyakan orang yang menempuh jenjang pendidikan hingga sarjana pun berfikir demikian. Banyak orang mengira pendidikan tinggi menjamin pekerjaan yang bagus. Oleh karenanya orang tua beruasah menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi dengan harapan kalau sudah selesai bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Akan tetapi, sayang harapan itu terkadang tak sesuai dengan kenyataan. Bahkan di lapangan, jumlah pengangguran terdidik lebih banyak.

Ini semua dikarenakan jiwa-jiwa kreatif yang ada pada diri seorang mahasiswa tidak muncul. Bahkan terkadang terjadi missoriented yang menyebabkan kegamangan pada diri mahasiswa itu sendiri. Ini berdampak pada perolehan hasil dari apa yang didapat bangku kuliahnya tidak optimal. Kalau belajar kelak ingin jadi pegawai dan dapat kerja yang bagus, jesteru jadinya serba nanggung.

Namun kita lebih acungkan jempol bagi mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi namun bisa berpenghasilan yang lumayan. Mereka belajar dari alam dan masyarakat. Bahwa kebutuhan menuntut mereka untuk siap jadi pemain baru dalam mencari nafkah, walau harus meras otak dan keringat. Dengan tangan sendiri dan modal keberanian tidak jarang di antara mereka yang menjadi sukses. Dan itu lebih baik.

Pintu dagang lebih banyak daripada yang lain

Hadis tentang sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu ada pada berdagang sudah seharusnya menjadi acuan bagi setiap masyarakat muslim. Cukup logis memang, bagi siapa yang mau berusaha maka dia akan mendapat yang diinginkan. Semakn besar usahanya maka semakin besar peluang hasil yang akan diperlehnya. Begitu juga dengan berdagang, tentu seorang pedagang jauh lebih besar usahanya dikerahkan ketimbang seorang pegawai. Maka wajar peluang rezeki itu lebih besar bagi mereka yang berdagang.

Islam mengajarkan konsep rezeki. Bahwa rezeki itu datangnya dari Allah adalah benar. Allah telah menyediakan rezeki masing-masing hambanya. Sampai binatang yang melatah sekalipun ada rezekinya. Namun yang tak harus dilupakan juga bahwa setiap sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat. Dalam hal ini rezeki juga demikian.sehingga satu ketika Umar Radhiallahu anhu pernah memarahi seseorang yang berpangku tangan, terus berdoa tanpa berusaha. Dan ia berkata tidaklah mungkin langit akan menurunkan hujan emas. Maka bekerjalah.

Dalam banyak hadis, rasulullah Saw pun memuji orang-orang yang mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya, kemudian hasilnya dinafkahkan untuk keluarganya, lebih baik dari pada meminta-minta. Dan rasulullah Saw sendiri adalah seorang pedangang. Bukan hanya itu nabi-nabi lain juga adalah pekerja yang ulet.

“Maka katakanlah (hai muhammad) kepada umatmu,Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat perkerjaanmu itu” (Qs At taubah:105)

Wallahu a’lam bisshawab

Profil penulis

Fery Ramadhansyah, asal Medan, Alumnus Universitas Al azhar Cairo-Mesir .

Email: [email protected]