Hari ini madrasah Ramadhan telah berakhir. Tentunya kita banyak berharap madrasah ini nantinya akan melahirkan para sarjana-sarjana bertitel “MUTTAQI”. Tidak hanya muttaqI dari segi ritual tetapi juga muttaqi dari segi sosial.
Layaknya sebuah lembaga pendidikan, madrasah Ramadhan juga mengadakan hari inaugurasi bagi para sarjananya. Hari penyematan itu biasa kita kenal dengan Hari Raya Idul Fitri. Hanya tinggal hitungan jam, kaum muslimin akan merasayakan hari kelulusannya. Fenomena di masyarakat kita, banyak para “siswa-siswi Ramadhan” mempersiapkan sandang pangan serta papan mereka untuk menyambut hari kelulusan tersebut. Tetapi pernahkah kita mengerti apa sejatinya Hari Raya Idul tersebut? Apa makna menjadi manusia Fitri? Dan apa yang sebenarnya kita harapkan dari 30 hari kita mengikuti pendidikan di madrasah Ramadhan ini?
“Fithrah”
Sebelum memahami terma “manusia fitri”, penulis mengajak pembaca untuk memahami terlebih dahulu makna kata “fitri”.
Fitri, atau fitrah, berasal dari kata basa Arab, fathara yang artinya mengoyak, merekah, atau mencipta. Bunga yang baru merekah, itu fathara. Gigi yang baru timbul, itu fathara. Kata fathara juga berarti mencipta. Tapi fathara bukan khalaqa. Karena khalaqa berarti mencipta dari bahan yang sudah ada, misalnya, membuat genting dari bahan tanah lihat, itu berarti khalaqa. Sedangkan fathara, berarti mencipta dari bahan yang belum pernah ada. Sebagaimana Allah menyebut diri-Nya fâthiru as-samâwât wa al-ardh, yang berarti Ialah pencipta langit dan bumi dari bahan yang belum pernah ada atau dalam bahasa lain, Allah Pencipta langit dan bumi untuk pertama kalinya.
Kata fathara juga mempunyai bentuk lain, yaitu fathara ‘ala (amrin) yang merupakan sinonim kata thaba’a ‘ala, yang berarti memberi tanda (cap) atau menciptakan dengan kecenderungan kepada sesuatu. Dari beberapa definisi diatas, kata fithrah berarti penciptaan; menyebabkan sesuatu ada untuk pertama kali; dan struktrur/ cirri umum alamiah yang mana dengannya seorang anak tercipta dari rahim ibunya.
Makna fithrah diatas selaras dengan hadits Rosulullah S.a.w yang menyebutkan bahwa “setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah). Kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Juga sesuai dengan ayat 30 dari surat ar-Rum yang berbunyi “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Kebanyakan dari para mufassirin dalam menafsirkan kata “fithrata Allah” dengan agama yang benar atau agama Islam. Maka dalam konteks ini, Allah telah menciptakan pada diri manusia suatu kekuatan untuk mengenali keberadaan dan ke-Esaan Tuhannya, tauhid. Berarti, Allah telah “menempelkan” fitrah ke dalam diri manusia sehingga manusia terlahir dalam keadaan dimana tauhid menyatu dengan fitrahnya. Oleh karena itu, diantara tugas para Nabi adalah mengenalkan mereka kepada fitrahnya dan mengajak mereka untuk kembali kepada tauhid.
Porsi Fitrah dan Potensi Penyelewengan Manusia dari fitrahnya.
Ayat 30 dari surat ar-Rum menyatakan bahwa tidak akan ada perubahan pada fitrah Allah. Sedangkan jelas dari sabda Rosulullah, bahwa orang tua “dapat” merubah fitrah ke-tauhid-an tersebut menjadi kepercayaan pada aliran agama Nasrani, Yahudi atau Majusi. Sintesis makna dari kedua pernyataan tersebut adalah bahwa meskipun fitrah merupakan suatu sifat universal yang tidak berubah dari struktur umum manusia, manusia mungkin, dengan unsur intelek (‘aql) dan unsur kehendak bebas (iradah) yang dianugrahkan kepadanya, memutuskan untuk mengambil jalan lain yang salah dan haram.
Hal ini juga menunjukkan bahwa seluruh bani Adam memiliki porsi fitrah yang sama. Dimana suatu generasi yang nenek moyangnya merupakan orang-orang musyrik, memiliki porsi fitrah yang sama dengan generasi yang nenek moyangnya merupakan orang-orang mukmin. Tetapi syirik merupakan antithesis dari fitrah itu sendiri. Yang berarti bahwa manusia yang tidak beriman kepada Allah, secara tidak langsung mengingkari jati dirinya sendiri.
Mengenai penyelewangan manusia dari fitrahnya, Jeff Crawford dalam bukunya “Image of God; From Who You Are to Who You can Become” mengatakan:
“Thomas Edison created the light bulb. Henry Ford created the Model T. Bil Gates created Windows. Steve Jobs created the iPod. These men al had one thing in common. They were not satisfied, so they created. As a result, life is better. This is the way God intended it to be. God gave us the world to rule. It is our laboratory whereby we can experiment. God said that this planet is ours and that we are to go and to subdue it and to have dominion over it. That is what we do when we create.
But there is a problem. The Image of God becomes corrupted, and so while we are still creators, the things we create tend to lead us away from God instead of toward Him. Man has become the master of using his creative gifts to corrupt self and others. When Paul was writing to the church in Rome, echoed this sentiment by describing those who have rejected God as "inventors of evil". As if there are not enough ways to reject and rebel against God already, human beings are experts at finding and creating new ways.”
Apa yang dikatakan oleh Jeff Crawford diatas menunjukkan bahwa menusia berpotensi menyeleweng dari jati dirinya. Dan penyelewengan tersebut terjadi dengan menggunakan “kreatifitas” yang diberikan Tuhan kepada mereka, yang seharusnya digunakan agar mendekatkan mereka kepada Tuhan.
Cakupan Etika pada Fitrah Manusia
Konsep ketauhidan manusia yang menyatu dalam fitrahnya, sejatinya adalah akar dari konsep-konsep kehidupan yang ada saat ini. Karena sesungguhnya makna tauhid tidak terbatas pada kepercayaan akan ke-Esa-an Allah, tetapi ia juga harus memberikan pancaran-pancaran cahaya dalam kehidupan keseharian manusia. Pancaran-pancaran ini, Yasien Mohamed -dalam bukunya “Fitra: The Islamic Concept of Human Nature”- menyebutnya sebagai implikasi-implikasi Fitrah. Atau al-Quran menyebutnya sebagai cabang dari pohon yang baik, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 24 surat Ibrahim : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”
Yasin Mohamed menyebutkan setidaknya ada 5 implikasi fitrah; implikasi metafisis, implikasi epistemologis, implikasi etis, implikasi psikologis dan implikasi hukum. Dalam hubungannya dengan kebahagiaan sejati, penulis hanya akan memfokuskan pembahasan pada implikasi etis dari fitrah manusia.
Secara alamiah, manusia cenderung untuk mengakui Penciptanya dan mengabdikan diri pada-Nya. Pengabdian ini melibatkan ketundukan terhadap segala titah-Nya yang mencakup perintah-perintah etis-Nya. Atau secara sederhana kita katakan, bahwasannya berperilaku baik adalah alamiah dan selaras dengan fitrah manusia. Imam al-Ghazali menyatakan dalam kitabnya Ihya Ulumudiin bahwasannya diantara sifat dasar manusia adalah mencintai kebaikan, walaupun kebaikan tersebut tidak ia rasakan. Beliau kemudian mencontohkan sebagai berikut; jika kita mendengar tentang seorang raja di negeri “A” yang baik hati, mengabdi pada rakyat, dan ta’at beribadah. Kemudian kita mendengar lagi tentang raja di negeri “B” yang lalim, menindas rakyatnya dan ingkar kepada Allah. Sesungguhnya fitrah kita akan menyenangi raja dari negeri A dan membenci raja di negeri B. Walaupun kita tidak pernah diperintah oleh salah satu dari dua raja tersebut.
Keluhuran moral adalah sifat dasar manusia. Islam sebagai agama yang luhur kemudian datang untuk mengembangkan sifat ini melalui syariat-syariatnya yang tersurat dalam ayat-ayat al-Quran dan sunnah-sunnah Nabinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat dan hadits-hadits di bawah ini:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”. (Q.S al-Fath 29)
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Q.S al-A’raf 199)
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S al-Furqan 72)
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya” (H.R Bukhari dan Muslim)
“Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling baik akhlaqnya” (shahih ibn Hibban, jilid 2, hal. 236, hadits no.486)
“Orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik dengan keluarganya” (H.R Aisyah)
Ayat-ayat dan hadits-hadits diatas menunjukkan betapa Islam sangatlah santun dan mengajarkan kesantunan moral pada umatnya. Sebagaimana ditegaskan oleh manusia paling berakhlaq, Muhammad S.a.w : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan keluhuran akhlaq (H.R HR. Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.45)
Kebahagiaan Sejati
Untuk memahami makna terma “kebahagiaan sejati” ini, mari kita melihat apa yang dikatakan para Filosof kita tentang kebahagiaan sejati. Al-Kindiy (185 H – 252 H) dalam bukunya Risalat al-Kindi al-Falsafiyyah mengatakan “السعادة طهارة النفس”, bahwa kebahagiaan adalah pensucian diri dan pensucian diri dari segala segala “penyakit diri” itulah kebahagiaan kebahagiaan sejati.
Al-Farabi (257 H – 339 H), seorang “guru kedua” setelah Aristoteles dalam ilmu Filsafat, dalam karyanya Ara’ Ahli al-Madînah al-Fadhilah membagi perilaku manusia menjadi dua; al-af’âl al-jamîlah, perilaku yang mendekatkan diri manusia kepada kebahagiaan dan asy-syurur, perilaku yang menjauhkan diri dari mendapatkan kebahagiaan. Maka kebahagiaan sejati tidak akan pernah didapatkan kecuali dengan ‘aql (intelektual), hikmah (kebijaksanaan), taammul (perenungan) dan menjauhi segala perbuatan yang berasal dari syahwat diri.
Abu Hamid al-Ghazali (450 H – 505 H), atau yang biasa kita kenal dengan Imam al-Ghazali, dalam bukunya Mîzân al-‘Amal mengatakan bahwa sesungguhnya kebahagiaan sejati dapat diraih dengan menyempurnakan pensucian diri, dan hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan akhlaq.
Defisini kebahagiaan sejati yang diusung oleh para Filosof diatas menunjukkan bahwasannya kebahagiaan sejati adalah suatu keadaan dimana jiwa kita bersih dari segala penyakit dunia dan keadaan itu hanya dapat dirasakan jika kita mengoptimalkan potensi akhlaq yang menyatu dalam fitrah kemanusiaan kita.
Manusia Fitri dan Kebahagiaan Sejati
Dari pemaparan panjang diatas, kita menemukan korelasi antara manusia fitri dan kebahagiaan sejati. Bahwasannya kebahagiaan sejati adalah hak para manusia fitri. Para manusia fitri yang mengoptimalkan potensi kebaikan dalam diri mereka, sesungguhnya dalam perjalanan menuju kebahagiaan sejati, karena kebahagiaan sejati tidak akan dapat diraih kecuali dengan kembali kepada fitrah.
Dalam konteks puasa Ramadhan, Allah menjanjikan kebahagiaan sejati dalam sabda Rosul-Nya “bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan; kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya”
Semoga kita termasuk mereka yang diterima amal ibadahnya selama bulan suci Ramadahan, sehingga kita tergolong dalam orang-orang yang mendapat nikmat kebahagiaan sejati yang tak ternilai dengan apapun yaitu pertemuan dengan Allah S.w.t di ar-Rayyan-Nya.
**
Selamat Hari Raya Raya Idul Fitri
taqabbala Allahu minnâwa minkum
Profil Penulis
Fazlul Rahman
Mahasiswa Pascasarjana UIN SYAHID Jakarta
[email protected]