Pekan lalu, Saya sangat terusik saat membaca Koran Tempo. Dalam editorialnya terbitan 28 September, koran tersebut menulis judul: Netralitas Siaran Televisi yang menyoroti dua stasiun televisi: TV One dan Metro TV karena dianggap tidak netral dalam pemberitaannya. Koran Tempo menduga keduanya ditunggangi kepentingan pemilik dalam memberitakan masalah lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dalam berbagai kesempatan, TV One kerap menayangkan kisah sukses para korban lumpur Lapindo dalam membangun kehidupan baru. Sebaliknya, Metro TV selalu menayangkan soal penduduk yang belum mendapat ganti rugi dari perusahaan eksplorasi minyak dan gas milik keluarga Aburizal Bakrie. Keduanya bertolak belakang.
Siaran yang aneh ini, tulis Koran Tempo, diduga merupakan dampak persaingan antara Surya Paloh, pemilik Metro TV, dan Aburizal Bakrie, yang menguasai saham TV One. Keduanya kini sedang bersaing memperebutkan kursi ketua umum Partai Golkar lewat musyawarah nasional yang akan digelar di Pekanbaru, Riau, 4-7 Oktober.
Tak cukup sampai disitu, Koran Tempo kemudian meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak tegas. Sebab–tulis koran yang paling getol memberitakan teroris itu–Undang-Undang No. 2/2002 tentang Penyiaran secara jelas mengatur prinsip, antara lain, memberikan informasi yang benar dan seimbang. Bahkan, dalam pasal 36 ayat 4 dengan jelas tertulis: isi siaran wajib dijaga netralitasnya. Mengapa wajib? Saya akan kutip secara utuh alasan Koran Tempo.
”Menegakkan prinsip penyiaran yang adil, netral, dan seimbang amatlah penting demi melindungi publik dari informasi yang menyesatkan. Bayangkan jika semua informasi yang disajikan televisi dibiarkan penuh dengan muatan kepentingan pemilik atau kelompok tertentu. Ini tak hanya akan menjadi beban masyarakat karena mereka harus lebih kritis mengunyahnya, tapi juga menyesatkan.”
Lalu, mengapa saya sangat terusik? Ini terjadi bukan karena saya pendukung Surya Paloh atau Aburizal Bakrie. Tapi, mempertanyakan –sekaligus menyesalkan—mengapa Koran Tempo tak sekritis itu saat hampir seluruh stasiun televisi selalu memberitakan terorisme yang dikaitkan dengan Islam. Secara telanjang, bahkan hingga kini, seluruh stasiun televisi hanya menyandarkan beritanya pada sumber sepihak: kepolisian. (Lihat tulisan saya tentang Jurnalisme Teror: Dari NMT menjadi Ibrohim di www.eramuslim.com)
Tak ada satu pun yang netral. Tak ada satu pun media televisi yang kritis terhadap informasi yang didapat dari kepolisian. Tak ada yang adil dan netral. Mereka mengunyahnya mentah-mentah. Publik pun pada akhirnya memiliki opini: : teroris adalah Islam dan Islam adalah teroris. Opini semacam ini jelas sangat menyesatkan. Bukankah ini yang tak diinginkan Koran Tempo. Namun, mengapa mereka tak meminta KPI menindak tegas stasiun televisi?
Mudah diduga mengapa Koran Tempo tak memilki daya kritis yang sama. Karena koran tersebut pun tak memiliki netralitas. Seperti sudah saya katakan, mereka adalah koran yang paling bersemangat mengaitkan Islam dengan teroris. Sepanjang informasi yang didapat mampu menggiring opini publik bahwa Islam adalah teroris, koran ini akan dengan senang hati memberitakannya. Tak peduli informasi itu bersifat sepihak, bahkan sampah sekalipun.
Bercermin dari fenomena ini, pada akhirnya saya kian yakin bahwa netralitas itu, terutama dalam konteks pemberitaan, adalah sesuatu yang absurd. Di dalam tubuh media massa, terdapat berbagai irisan: ideologi, kepentingan kelompok, pemilik modal, market dan sebagainya. Tak ada media massa yang lepas jeratan ini. Hingga pada akhirnya, berita-berita yang ditampilkan harus mengakomodasi berbagai irisan tersebut.
Pada titik ini, seorang jurnalis harus menuliskan sebuah isu sesuai dengan ideologi yang dimiliki media tempatnya bekerja, kepentingan kelompoknya dan pemilik modal serta mampu menarik minat publik untuk membacanya. Seorang jurnalis– seberapapun idealisnya—tak akan mampu keluar dari “kerangkeng” ini. Ia tak akan bisa netral karena saat menulis, ia telah melakukan self cencorship terhadap apa yang hendak ditulisnya. Ia akan memilih judul, kata, kalimat dengan cermat sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki media tempatnya mencari nafkah.
Karenanya, tak perlu heran jika sebuah isu akan muncul dalam bentuk yang berbeda saat menjadi berita. Republika, Eramuslim, Radio Dakta tentu saja akan memilih angle (sudut pemberitaan) yang berbeda dengan Kompas atau Koran Tempo saat mengangkat isu terorisme. Begitu pula ketika memuat berita tentang UU Pornografi. Koran Tempo dan Kompas—yang menganut ideologi pluralisme dan liberalisme—jelas akan mati-matian menolaknya. Sebaliknya dengan Republika, Eramuslim dan media Islam lainnya yang menjadikan Islam sebagai ideologi. Apakah kemudian, karena kita sebagai wartawan, lalu harus netral meski agama kita mengatakan pornografi itu haram dan merusak moral? Absurd bukan?
Maka dari itu, jangan pernah percaya pada mereka yang berteriak-teriak bahwa medianya telah menjaga netralitas dan independensi. Semakin mereka berteriak lantang, kian jelas bahwa mereka bukanlah media yang netral.
Bagi saya netralitas pada ujungnya tak beda dengan demokrasi: sebuah kata yang indah namun sesungguhnya pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat bagi sekelompok orang untuk memaksakan kehendaknya. Bukankah itu yang terjadi pada demokrasi, yang sukses dijadikan senjata oleh negara-negara Barat untuk menjajah negara, menyiksa dan membunuh kelompok atau orang yang dianggap tidak demokratis. Meski, sesungguhnya mereka sendiri tak pernah bisa mempraktekkan demokrasi.
Tak beda dengan netralitas. Apa yang dilakukan Koran Tempo menjadi bukti tak terbantahkan. Netralitas menjadi standar ganda: diteriakkan jika sesuai dengan kepentingannya dan tak akan digemakan ketika menyudutkan Islam. Saya khawatir andai ke depannya, ini betul-betul terjadi. Tentunya, semua orang akan sangat terusik, bukan hanya saya.
Erwyn Kurniawan, S.Ip, Alumni FISIP Universitas Nasional dan sekarang sebagai Editor di Maghfirah Pustaka