Berita itu datang saat saya sedang makan siang di sebuah acara di Depok, Sabtu lalu, bersama pimpinan dan rekan kerja. Noordin M Top (NMT) tewas ditembak polisi di Temanggung, Jawa Tengah. Kegaduhan merebak. Berikutnya bisa ditebak: NMT menjadi ‘menu utama’ di makan siang kami, mengalahkan kenyalnya sop daging, lezatnya ayam opor dan pedasnya asinan.
Jujur, sedari awal, saya tak sepenuhnya percaya. Pertama, karena saya tak membaca beritanya secara langsung. Kedua, pengalaman mengajarkan: jangan pernah percaya pada sebuah kabar, apalagi jika menyangkut terorisme yang dikaitkan dengan Islam. Belakangan terbukti: bukan NMT yang tertembak, tapi Ibrohim—itu juga kalau benar.
Peristiwa ini membuat saya berkesimpulan: menjadi wartawan di negeri ini, apalagi jika memberitakan terorisme, sangatlah mudah. Tak sesulit teorinya. Lupakan kode etik; buang jauh-jauh etika Kovach.
Buktinya saat penyergapan di Temanggung. Bayangkan, tanpa melihat langsung sosok orang yang dikepung di sebuah rumah nan sederhana, seorang wartawan dengan yakinnya mengabarkan bahwa itu adalah NMT. Wow…Saat itu juga seluruh stasiun tv berlomba-lomba menyajikan tayangan seputar perburuan ini. TV One menayangkan penyergapan itu secara live—entah bagaimana caranya mereka bisa mendapat hak eksklusif tersebut. Masyarakat seolah dipaksa untuk menerima informasi mentah-mentah bahwa NMT telah tewas.
Prinsip check dan recheck diabaikan. Teori paling mendasar yang harus dimiliki seorang jurnalis. Tak hanya itu, mereka juga mengacuhkan kredo paling penting dalam sebuah pemuatan berita: Show it, don’t tell. Kebetulan saya pernah berguru selama beberapa tahun pada salah seorang asabiqunal awwalun Majalah Tempo: Yudhistira ANM Massardi. Penulis novel Arjuna Mencari Cinta ini kerap mengingatkan saya untuk memperhatikan itu. Tunjukkan, jangan ceritakan,” kata beliau berulang-ulang.
Tak satu pun pewarta yang melihat secara langsung bahwa orang yang ditembak itu adalah NMT. Mereka hanya menyandarkan pada sumber sepihak: kepolisian. Anehnya, mereka terus saja mengabarkan bahwa itu adalah NMT. Keesokan harinya, hampir seluruh media cetak dan elektronik menjadikan kematian NMT sebagai headline. Sebuah fakta yang coba dipaksakan secara massif dan sistematis tanpa bukti yang kuat.
Setelah yang dipastikan tewas adalah Ibrohim, tak ada satu pun media yang meminta maaf. Bahkan, tanpa ada rasa bersalah, mereka terus menjadikan isu terorisme sebagai kepala berita. Terorisme menjadi “sinetron” baru, menyaingi Cinta Fitri 4, Manohara dan lainnya. Berita terorisme telah mengepung kita. Pada akhirnya, ia menjadi teror baru, bahkan hingga ke ruang-ruang pribadi. Inilah yang saya namakan jurnalisme teror.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror adalah tindakan seseorang atau kelompok yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk menimbulkan rasa takut agar tujuannya tercapai. Secara etimologis, terorisme (terrorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford Paperback Dictionary, teror artinya extreme fear (rasa takut yang luar biasa), a terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik).
Sementara Encyclopedia Americana menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”.
Bagi saya, berita-berita seputar terorisme yang tak kenal henti: siang-malam, pagi-sore, adalah sebuah bentuk kekerasan visual (gambar) dan text (tulisan). Ketika berita ini secara massif terus ditayangkan, yang muncul kemudian adalah rasa takut yang luar biasa pada masyarakat. Inilah jurnalisme terror.
Saya tak dapat membayangkan, jika di saat tayangan teroris itu disaksikan oleh anak-anak kita. Bom yang meledak, tubuh yang bersimbah darah, penembakan yang bertubi-tubi dan sebagainya, akan diserap anak-anak kita. Tak ubahnya mereka menonton Power Rangers, Ben Ten ataupun Transformers. Mengerikan. Belum lagi jika mereka kemudian mendapat satu kosa kata baru: teroris.
Entah mengapa jika memberitakan terorisme, hampir seluruh media tak punya daya kritis,–sesuatu yang seharusnya dimiliki wartawan. Koran Tempo, dalam editorialnya, mengkritisi pernyataan Presiden SBY yang mengaitkan peledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton dengan pilpres. Kata Koran Tempo, tidak seharusnya SBY mengeluarkan statement itu karena sama saja dengan menutup kemungkinan motif lain.
Ini menggelikan. Mengapa logika yang sama tidak mereka pakai? Hanya sehari pasca peledakan, mereka gencar memberitakan pelakukanya adalah jaringan lama. Dan itu tak lain NMT, Jamaah Islamiyah dan ujung-ujungnya Al Qaeda. Pemberitaan mereka sama saja menutup kemungkinan adanya motif lain. Sumber-sumber yang mendukung itu pun diwawancarai. Salah satunya Sidney Jones.
Jika boleh saya menduga, semangat hampir seluruh media di negeri ini memberitakan teroris yang dikaitkan dengan Islam, merupakan agenda bersama. Sebuah agenda yang muaranya membentuk opini: Islam itu harus jauh dari politik; Muslim itu tidak perlu mendalami agama dengan baik; Muslim itu tidak boleh berjihad, dsb.
Saya sepakat dan sangat mendukungterorisme dalam segala bentuknya diberantas, dengan segala bentuk dan variannya. Mulai dari bom bunuh diri hingga jurnalisme teror. Tapi pemberantasan itu harus dengan cara yang jujur, bernurani dan tidak tendensius.
Mulai hari ini, kita berharap para pewarta berita lebih mengedepankan hati nurani dalam mengabarkan isu terorisme. Mereka harus ingat apa yang diucapkan seorang pembajak yang memakai perahu kecil saat berdialog dengan Kaisar Alexander.
“Apakah karena engkau menggunakan kapal besar sedangkan aku perahu kecil, maka aku disebut teroris. Bukankah engkau juga melakukan hal yang sama denganku? Kata Si Pembajak kepada Alexander The Great.
Jangan-jangan, jika terjadi dialog antara NMT dan para jurnalis, hal serupa juga akan terjadi. “Apakah karena engkau wartawan sedangkan aku pembom, maka aku disebut teroris? Bukankah engkau juga melakukan kekerasan dalam bentuk lain yang tak kalah dahsyatnya dengan aku?” ujar NMT kepada awak media negeri ini. Wallahua’lam.
Penulis :
Erwyn Kurniawan, S.Ip, Alumni FISIP Universitas Nasional dan sekarang sebagai Editor di Maghfirah Pustaka