Sebuah kampung di pojok timur Kota Bekasi tiba-tiba saja menjadi sorotan dunia. Warga setempat kerap menyingkatnya menjadi “Cikeas”. Kepanjangan dari Ciketing Asem yang terletak di Kecamatan Mustika Jaya, yang kebetulan berdekatan dengan kediaman saya. Di tempat itu, dua orang jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tertusuk oleh beberapa orang tepat di hari ketiga Idul Fitri.
Peristiwa ini seakan menjadi puncak kulminasi ketegangan yang terjadi antar warga “Cikeas” dan jemaat HKBP selama ini.
Episode selanjutnya sangat mudah diduga. Berbagai media (cetak dan elektronik), baik dalam maupun luar negeri, kompak mengangkat peristiwa itu dengan satu angel yang seragam: kebebasan beribadah. Judul kemudian dibuat beragam. Beberapa di antaranya: Pemkot Bekasi Diminta Berikan Izin Ibadah untuk jemaat HKBP (www.detik.com), Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan (www.detik.com), Indonesia, Belajarlah Toleransi (www.kompas.com), Kebebasan Beragama Belum Terjamin (www.kompas.com), Ada Pertemuan sebelum Penusukan (www.kompas.com), Kebebasan Beribadah Terancam (Media Indonesia), KWI: Gejala Intoleransi Terjadi (www.kompas.com), Sukur Nababan: Ini Tindakan Biadab, (www.kompas.com), Jemaat HKBP Ditusuk saat akan Beribadah (Koran Tempo), Christian Worshippers Attacked in Indonesia (New York Times/Associated Press)
Secara umum, media massa berlakon seperti paduan suara yang menyanyikan lagu Kebebasan Beragama dengan syair yang menyudutkan umat Islam. Jika kita masih ingat dengan tragedi Monas 1 Juni 2008, begitulah kira-kira nada yang mereka nyanyikan. Sama persis.
Pola pemberitaan media memang cenderung homogen saat terjadi peristiwa semacam Monas dan “Cikeas.” Juga terorisme. Benang merahnya: mereka kompak memberitakan setiap kejadian yang berpotensi menyudutkan umat Islam; tentang keberagamaan (pluralitas), kebebasan, radikalisme, dsb.
Biasanya, mereka selalu menutupi akar masalah; kerap memblow up akibat, bukan sebab. Insiden Monas, misalnya, diberitakan sebagai aksi kekerasan umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Islam pun diopinikan sebagai antikebhinekaan, mengingat saat peristiwa terjadi bertepatan dengan Hari Pancasila. Padahal, bentrokan antara FPI dan AAKBB disebabkan oleh provokasi AKKBB. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka sisihkan, dan hanya memberitakan aksi kekerasan FPI.
Keesokan harinya, Koran Tempo menampilkan foto headline saat Munarman, tokoh FPI, sedang “mencekik” seorang laki-laki –yang ditulis mereka sebagai anggota AKKBB–, untuk memberikan efek dramatis aksi kekerasan FPI. Ternyata, fakta yang sesungguhnya tidak demikian. Munarman justru sedang berusaha mencegah anggota FPI melakukan serangan kepada anggota AKKBB.
Begitu pula dengan kasus “Cikeas”. Padahal, fakta sesungguhnya tidaklah demikian. Tertusuknya jemaat HKBP akibat provokasi mereka yang berjalan kaki sejauh 2-3 Km untuk beribadah, dengan melewati rumah-rumah penduduk sambil bernyanyi kidung rohani.
Benturan tak terhindarkan. Tak cuma jemaat HKBP yang jadi korban, warga “Cikeas” pun terluka. Jika menelusuri lebih jauh akar masalahnya, insiden “Cikeas” terjadi karena bandelnya jemaat HKBP yang tidak mematuhi instruksi pemkot Bekasi untuk tidak beribadah di “Cikeas”. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka endapkan. Yang ditampilkan hanya akibat. Maka muncullah berita-berita yang memojokkan umat Islam.
Kita tentu tak lupa dengan kejadian di Berlin, Juli 2006 saat Final Piala Dunia digelar antara Italia dan Prancis. Tiba-tiba saja menjelang akhir pertandingan, Zinedine Zidane menanduk perut pemain bertahan Italia, Marco Mattarezzi. Apa yang terjadi sesungguhnya? Mungkinkah Zidane bertindak kasar tanpa ada sebab? Ternyata, setelah beberapa hari, barulah terungkap jika Materazzi terlebih dulu memprovokasi Zidane dengan kata-kata tak sopan, yang diduga menghina ibunya. Siapa yang tak marah jika mendapat perlakuan serupa?
Analogi kasus tandukan Zidane sangat tepat dengan insiden “Cikeas” atapun Monas. Tandukan Zidane adalah akibat, bukan sebab. Penusukan terhadap dua jemaat HKBP adalah akibat, bukan sebab. Bentokan antara umat Islam dan AKKBB adalah akibat, bukan sebab.
Fakta sebenarnya adalah pelanggaran hukum yang dilakukan jemaat HKBP atas pendirian rumah ibadah. Namun, dipelintir menjadi ancaman kebebasan dan intoleransi. Berita semacam ini tak cuma fitnah, tapi membuat kita salah menganalisa akar masalah. Ibaratnya: kepala yang gatal, tapi media menyuruh kita untuk menggaruk kaki. Tak akan pernah sembuh gatal di kepala kita.
Mengapa media bertindak tidak adil? Itu karena tubuh media massa terdiri dari beragam irisan: pemilik modal (kapital), ideologi, kepentingan kelompok atau perorangan, pasar, dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia publik jika kebanyakan media kita—yang menjadi mainstream (arus utama)—dimiliki oleh pemodal yang beridelogi pluralisme, sekularisme dan liberalism. Karenanya jangan kaget jika berita yang diangkat pun bertujuan untuk memuluskan penyebaran ideologi tersebut.
Berkelindan dengan itu, jargon independensi media; media sebagai pilar demokrasi keempat; netralitas media dan sebagainya hanyalah pepesan kosong. Hanya janji-janji manis yang sangat sulit diejawantahkan. Media tak bisa bertindak obyektif.
Ya, pada kasus “Cikeas”, Monas, teroris, dan peristiwa-peristiwa lain yang melibatkan umat Islam, media kerap melanggar 2 (dua) elemen obyektivitas, yaitu: faktualitas dan impartialitas (Mursito, 2006:176). Faktualitas menyangkut kebenaran dan relevansi; sedangkan impartialitas berkenaan dengan keseimbangan dan netralitas.
Kebenaran dan akurasi dapat dicapai apabila wartawan di dalam menggali nformasi berusaha untuk melakukan verifikasi (pengujian) terhadap fakta yang ditemuinya. Istilah yang seringkali digunakan adalah melakukan check dan recheck, artinya menggali berbagai sumber untuk memperoleh satu informasi.
Untuk impartialitas, dimensi pertamanya adalah keseimbangan, atau sering juga disebut dengan istilah: cover both sides. Di dalam pemberitaannya, pers dituntut untuk memberikan porsi yang sama kepada semua pihak yang terlibat di dalam suatu peristiwa.
Impartialitas juga memiliki sisi yang lain, yaitu: netralitas. Di dalam pemberitaan, pers tidak boleh berdiri di salah satu pihak atau pendapat/pandangan atas suatu peristiwa. Pers hanya boleh berdiri di satu pihak saja, yaitu: kebenaran. Atau meminjam istilah Karni lyas, wartawan senior: ukurannya adalah nurani.
Sayang, nurani itu roboh. Tak hanya satu kali, tapi berulang kali. Dan umat Islam selalu saja menjadi korban dari reruntuhan robohnya benteng nurani media massa. Bilakah itu berakhir? Wallahu a’lam bishshowab.
Erwyn Kurniawan, S.IP, Editor Maghfirah Pustaka